Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20: Kamu Mengakui Kami Sebagai Pasangan
Lampu yang padam, suara bisikan dari para tamu mulai terdengar mempertanyakan apa yang tengah terjadi.
Olivia mengambil langkah mundur untuk melepaskan pelukan Paul. Memanfaatkan keadaan yang gelap, ia buru-buru menghapus air matanya.
"Olivia? Kamu ada di sana?" tanya Paul. Penglihatan semua orang benar-benar hitam pekat karena pemadam setiap cahaya yang ada di ballroom.
Olivia masih sibuk menghapus jejak tangisan di wajahnya dengan tangan kosong yang tentu saja membuatnya kesusahan.
"Olivia?" panggil Paul sekali lagi.
Olivia yang berada beberapa langkah dari pria itu hendak menjawabnya, namun kehadiran seseorang tepat di belakangnya membuat tubuh serasa membeku.
"Olivia..." bisik Simon tepat di telinganya. Sensasi udara hangat yang menyapu lembut sisi wajahnya membuat Olivia refleks menoleh.
Sungguh sebuah kesalahan karena gerakannya itu membuat bibir Simon menyentuh ujung hidungnya. Ia memudahkan rencana sang duke dengan membuat pria itu tidak sengaja mencium hidungnya.
Seakan terkena sengatan listrik, Olivia merasakan tubuhnya menjadi gemetar, dan jarak yang setipis helai rambut itu membuatnya dapat merasakan helaan napas Simon saat pria itu menarik bibirnya tuk tersenyum.
Masih dalam keadaan gelap gulita, dan Olivia pun tidak dapat melihat dengan jelas, namun entah bagaimana ia bisa membayangkan bagaimana wajah dan raut sang duke.
Dadanya naik turun dengan penuh antisipasi akan tindakan gila lain yang bisa saja dilakukan Simon.
Namun, setelah beberapa saat ia malah merasakan sosok pria itu meninggalkannya.
Tidak berselang lama dari itu, lampu-lampu pun kembali menyala. Ballroom yang sangat luas mulai terang kembali.
"Olivia! Aku kira kamu ke mana tadi." Paul bergegas menghampiri Olivia.
"Ah, benarkah?" tanya Olivia tergagap. Paul yang masih mengkhawatirkan dirinya berada tepat di hadapannya, namun tatapannya tertuju pada punggung tegap yang berjalan melewati para tamu yang memberi hormat dan salam padanya.
Ini sangat tidak adil. Dia telah menciumku, membuat waktuku seakan berhenti saat itu. Tapi, hatinya bukan milikku. Dia tidak akan pernah bisa menjadi milikku.
Olivia menghela samar. "Sudahlah, lupakan saja semuanya."
"Apa?" tanya Paul akibat suara gadis itu sangat kecil bak sebuah bisikan dari kejauhan.
Olivia menggeleng kecil dan tersenyum. "Memangnya aku bilang apa? Eh, ayo cari tempat strategis di depan, pestanya akan segera dimulai."
♧♧♧
Lantunan musik indah dari band orkestra yang biasa menjadi musik latar di setiap pesta yang keluarga Ainsworth gelar, kini berganti dengan band biasa.
Charlotte yang membuatnya begitu. Namun, band itu masih memiliki beberapa alat musik untuk melantunkan lagu-lagu klasik untuk berdansa.
Cara sang empunya pesta, yang berulang tahun, yang menyandang gelar wanita tunangan sang Duke of Ainsworth sangatlah meriah.
Sejak wanita cantik itu pertama kali menunjukkan dirinya ke pesta, gaun yang ia kenakan adalah pencuri perhatian yang paling hangat dibicarakan oleh para tamu.
"Charlotte, selamat ulang tahun, ya! Kamu cantik sekali, terutama gaunmu ini. Seksi tapi tetap berkelas, loh." Pujian lainnya dari salah seorang tamu yang datang menyapa.
Charlotte memberikan senyuman cantiknya pada orang itu dan membalas pujiannya dengan ucapan terima kasih.
Mini dress yang ia gunakan akan terlalu seksi untuk kalangan bangsawan, terutama karena tunangannya adalah salah seorang duke di Inggris.
Maka Charlotte pun meminta para desainer untuk menambahkan kain tule putih yang diatur sedemikian rupa untuk menutupi tubuhnya dengan tetap memiliki kesan transparan.
Charlotte berbalik dan menoleh pada sosok Simon yang tengah berbincang dengan seorang pimpinan salah salah satu perusahaan merek jam tangan termewah, ia menarik kedua sudut bibirnya tersenyum tipis dan berjalan menghampiri pria itu.
"Permisi, Tuan-Tuan. Saya pinjam tunangan saya sebentar, ya." Charlotte tersenyum pada ketiga orang yang juga bersama sang duke.
Mereka lantas tertawa dan mengatakan bahwa Simon memanglah miliknya jadi tidak perlu permisi.
Simon tertawa kecil dan berpamitan dengan ketiganya untuk mengikuti langkah Charlotte sedikit memisahkan diri dari para tamu.
"Kamu akan terus begini sepanjang malam?" tanya Charlotte serius.
Simon hanya menaikkan alisnya sebagai sebuah respons. Hal itu hanya membuat Charlotte emosi. Ia meraih kerah kemeja pria itu sehingga tampak oleh para tamu bahwa mereka tengah bermesraan, padahal sebaliknya.
Charlotte menatap Simon dengan tekad di kedua mata birunya. "Jadilah sebagaimana kamu biasanya, Simon. Bersikap profesional. Pertunangan kita memang hanya sebatas kesepakatan, tapi tidak seorang pun boleh mengetahuinya."
Simon menghela samar. "Baiklah. Kamu ingin saya melakukan apa?" tanyanya lembut.
"Entahlah. Kamu yang lebih tahu apa yang akan dilakukan pria yang dimabuk cinta." Suara Charlotte sedikit bergetar karena tersipu. "Pokoknya jangan mempermalukanku. Apalagi di pesta ulang tahunku sendiri."
Charlotte lantas berbalik dan berjalan pergi untuk kembali ke tengah ballroom dan melanjutkan rancangan pesta lainnya.
Simon mengikuti sang tunangan dan ketika mereka hampir berada di tengah-tengah sorotan utama lampu, ia menahan pergelangan tangan wanita itu dan menariknya mendekat.
Ia mencium bibir Charlotte di hadapan ratusan tamu undangan.
Hanya sebuah ciuman singkat namun berhasil membuat para tamu bersorak bahagia.
"Wah... mereka berdua terlihat mesra," komentar Paul. "Kapan kita bisa menyapa Charlotte kalau mereka akan terus bermesraan begitu?"
"Tunggu saja. Sebentar lagi kita sudah bisa menghadap mereka."
Paul menoleh pada Olivia sedikit kebingungan. "Begitu?"
"Hn. Nah, itu, mereka sudah tidak berdekatan lagi." Olivia menunjuk ke arah mereka dengan gerakan kecil dari dagunya.
Paul diam sebentar lalu mengangguk kecil. "Hm, ayo." Ia menawarkan lengannya untuk digandeng Olivia. Gadis itu menerimanya dan mereka berjalan dengan senyuman di wajah masing-masing.
Charlotte menyadari kedatangan keduanya. Ia menyeringai untuk saat yang sangat singkat sebelum tersenyum lebar. "Wah, Paul Song! Aku tidak menyangka kamu benar-benar datang."
Paul tersenyum pada teman satu almamaternya itu. "Sebenarnya aku juga tidak menyangka bakal datang ke sini, sih. Tapi, apapun itu, selamat ya."
Charlotte tertawa. "Selamat untuk apa nih?"
Paul menggerakkan bahunya pelan, ia melirik ke arah Simon yang berada satu langkah di belakang Charlotte. "Untuk ulang tahun juga pertunanganmu tentu saja."
"Terima kasih, Paul." Charlotte berucap namun tatapannya tertuju pada Olivia yang hanya tersenyum canggung meski tengah bergandengan dengan Paul.
"Olivia?" panggil Charlotte.
Simon menaikkan alisnya, merasa tertarik akan perbincangan begitu nama gadis itu dipanggil oleh tunangannya.
"Iya?" tanya Olivia sedikit kebingungan.
Charlotte mengernyit. "Bukankah kamu akan memberi selamat padaku juga? Ini tujuan kamu datang ke sini, kan? Kamu mengakui bahwa aku dan Simon adalah pasangan yang akan melanjutkan sampai jenjang pernikahan."
...♧♧♧...
Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
ga peduli guwaa!!!
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/