NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rapat Berempat

Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Di atas sana langit malam nampak bersih. Paling selapis awan berarak lambat mengikuti angin yang berhembus santai.

Gunung dan Ayu belum lama pergi meninggalkan gerbang depan yang segera ditutup oleh Suryani. Asisten rumah tangga sekaligus penghuni paling sepuh di rumah itu perlahan menyalakan lampu teras dan halaman depan rumah. Setelah memastikan semua lampu yang diperlukan sudah menyala, ia pun pergi masuk ke rumah, terus menuju teras belakang. Di sanalah keempat anak Gunung dan Ayu biasa berkumpul. Seperti malam ini, saat kedua orang tua mereka tidak di rumah.

"Budhe, jadi mau bikinin sekoteng, nggak?" Senja menagih janji.

"Jadi, dong, Mas. Sekalian sama dibikinin roti bakar, nggak? Tuh, mumpung ada selai buah. Itu lho, yang kemarin Budhe sama Ibu bikin," Suryani menawari.

"Joss, Budhe! Laksanakan!"

Suryani tertawa. "Woke, siap! Laksanakan," katanya. Ia pun berlalu, kembali ke markas besarnya, dapur.

Sementara itu Senja menyusul saudara-saudarinya ke teras belakang. Tampak Fajar saudara kembarnya sudah melantai. Toples merah muda berisi keripik kentang di depannya mulai berpindah-pindah tempat. Kadang di depan Fajar kadang di depan Nuri, si sulung yang duduk di sebelahnya. Adik bungsu mereka duduk di tengah, di antara Fajar dan Nuri. Tampaknya si bungsu sudah mulai bercerita. Soal tante galak yang ada di panti asuhan tempo hari. Senja, Fajar, dan Nuri pun menyimak kisah si bungsu.

"Iya, beneran, Mbak. Kasar banget orangnya. Aku jadi kesel kuadrat!" Rani mencerocos, mencurahkan isi hatinya.

Si sulung Nuri pun bersimpati. "Kasihan, adikku. Kamu dijahatin Tante galak, ya?"

"Hu'um. Udah gitu Ibu aku ceritain malah nggak percaya. Sedih aku tuh," lanjut Rani. Alhasil ketiga kakaknya serempak mengelus kepala, bahu dan lututnya.

"Ya udah, berdoa aja kamu nggak ketemu Tante galak itu lagi," kata Senja.

"Mit-amit, deh, Mas. Ogah! Untung di keluarga kita nggak ada yang kelakuannya kayak nenek sihir begitu," kata Rani sambil mendekap bantal kursi.

Nuri tertawa mengikik, menggoda adik kecilnya, "Emangnya kamu udah pernah ketemu nenek sihir?"

"Ya yang kemarin itu, Mbak. Si ibu tante-tante itu pasti nenek sihir."

"Ibu-ibu apa tante-tante? Lebay deh kamu kayak Fajar," goda Nuri lagi.

"Nyebut namaku, bayar royalti," protes Fajar.

"Lupain aja, Dik. Move on," Senja angkat bicara. Pasti ada pelajaran dari peristiwa itu. Dan nggak perlulah si tante emak nenek sihir itu disikapi lebay. Emang kamu mau jadi Fajar episode dua, Dik?"

"Woy, jangan menyebut namaku dengan tidak hormat!" Lalu terjadilah kerang bantal singkat antara Senja dan Fajar. Mereka baru berhenti saat Rani menyuapkan keripik kentang ke mulut mereka satu per satu. "Awas, kamu," hardik Fajar.

Kembarannya hanya meledek dengan mimik muka jelek.

"Mbak Nuriii, gimana kelanjutan dengan kangmas calon ipar? Pilihanku seger 'kan?" tanya Fajar kemudian.

Nuri yang ditanya memutar bola matanya. "Harus banget ada kelanjutannya, nih?"

Jawaban Fajar, "Yaaa, harapan bangsa Indonesia sih begitu, Mbak. Dicoba lah, Mbak!"

"Itu pacar apa sepatu, dicobain dulu?" sindir Senja. Cukuplah membuat Fajar mendelik galak kepadanya.

"Kamu tuh, Nja! Sebagai adik mbok mendukung! Bukannya kamu kemarin bilang dia nyaris sempurna? Lha berarti kamu setuju to?"

"Sekilas kesannya di mataku oke. Tapi aku nggak tahu kepribadiannya, wong yang kenal dia kamu, bukan aku," kata Senja. "Lagian terserah mbak Nuri to!"

"Ganti topik!" Nuri menengahi. Daripada berlanjut jadi ribut. "By the way menurut kalian ini ganjil, gak, sih? Kenapa Ibu nggak cerita ke kita bahwa Ibu punya adik kandung dan sudah meninggal? Kalian sadar, nggak, kenyataan itu ditutupi rapat-rapat seakan nggak ada orang yang boleh tahu, termasuk kita?"

"Naaah!" Ketiga adiknya berseru kompak. Satu frekuensi.

Senja memberi kode agar mereka saling mendekat. Lalu katanya lirih. "Kemarin Budhe keceplosan soal itu. Jadi, ceritanya, pas ke pasar, Budhe melihat orang yang mirip banget dengan Om Yunus, almarhum adik kandung Ibu."

"Serius, Nja!"

"Lha ya serius, Jar! Bahkan, nggak cuma lihat. Budhe juga dengar suaranya, sebab saat itu orangnya lagi telepon. Sayangnya, waktu mau difoto, orangnya udah keburu pergi. Ya udah, deh, jadi nggak punya bukti."

"Yahhh," ketiga saudaranya kecewa lalu kembali ke posisi masing-masing.

"Kayaknya kapan itu kamu sama Fajar pernah mempertanyakan foto lama yang mirip dengan foto yang kalian lihat di tempat lain. Lalu Budhe bilang, itu foto almarhum Om Yunus sewaktu muda. Iya, 'kan?" Si sulung Nuri mengupas data sebelumnya.

"Ah, iya," kata Senja, "mumpung ingat. Sewaktu ganti ban motor di bengkel teman Fajar, aku ketemu lagi sama bapaknya. Itu lo yang punya foto jadul yang sama dengan foto di album lama temuan Mbak Nuri. Aku sempat tanya-tanya sekilas. Ternyata itu foto Beliau sewaktu muda."

Ketiga saudaranya merespon kaget, heran. "Wahh!"

"Jangan-jangan adik Ibu belum meninggal? Aneh lo, Mas, Mbak, ada orang yang nggak kembar tapi bisa mirip banget. Di film, ok. Tapi real life? Mas Senja sama Mas Fajar yang kembar aja nggak mirip."

Mendengar adik kecil mereka, keisengan Nuri kumat. "Bapak Ibu salah ambil, kali, Dik, waktu di rumah sakit. Aku sih nggak yakin dia kembaran Senja. Nggak tahu tuh, dia anak siapa."

Fajar sang korban pun berteriak protes dengan manja. "Mbak Nuriiii!" Lalu ia berpaling pada adik kecilnya. "Bungsu, ingat, apapun yang terjadi, kamu adikku, lo, ya!" Rani hanya meringis dan mengangguk cepat.

"Mbok ayolah, kita selidiki," ajak Nuri. "Bareng, tapi! Kalian nggak penasaran po?"

"Penasaran lah, Mbak," jawab Rani mewakili dia kakaknya yang lain. "Tapi gimana caranya mengorek info masa lalu? Keluarga besar, kita nggak punya. Paling, Budhe yang udah ikut keluarga kita sejak Ibu dan Bapak menikah. Oh, sama foto-foto lama!"

Keempat bersaudara itu terdiam, berpikir, menganalisa, dan ngemil. Nuri menepuk tangan Fajar sambil melirik galak saat keripik yang tinggal beberapa keping ditemani sejumput remah-remah itu mau diraup Fajar. "Buat dedek!" pinta Nuri agar Fajar memberikannya kepada Rani. Fajar pun menurut. Dengan patuh dan mata tertuju pada Nuri, Fajar menyerahkan toples keripik kentang di tangannya kepada si bungsu. Rani pun menerimanya dengan penuh sukacita, "Tengkyuuu!"

Hanya Senja yang tampak masih serius berpikir. Memang biasanya dialah pemikir dalam setiap rapat berempat. Bicara soal gagasan, konsep dan segala masalah yang susah-susah, ah, sudahlah, serahkan saja kepada Senja. Pasti ada jawaban dan solusinya, ... biasanya. Maka wajar-wajar saja jika Senja mendapat predikat 'Tukang Mikir' diantara mereka berempat.

Benarlah. Tak lama kemudian, "Emm. Ahh, aku ada ide!" Semua terfokus pada Senja. Kata Senja lagi, "Gimana kalau gini?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!