Penyelamatan yang dilakukan Luna pada seorang Kakek membawanya menjadi istri dari seorang Danzel, CEO dingin yang tak memepercayai sebuah ikatan cinta. Luna yang hidup dengan penuh cinta, dipertemukan dengan Danzel yang tidak percaya dengan cinta. Banyak penolakan yang Danzel lakukan, membuat Luna sedikit terluka. Namun, apakah Luna akan menyerah? Atau, malah Danzel yang akan menyerah dan mengakui jika dia mencintai Luna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memahami Perasaannya Terahadap Luna
Seperti biasa, Luna bangun pagi dan bergegas membasuh wajahnya. Dia segera menuju ke dapur, hendak menyiapkan sarapan untuk Danzel. Dia tidak peduli jika kedua artnya itu melarangnya memasak. Hari ini, dia sendiri yang akan menyiapkan sarapan untuk Danzel sebelum dia berangkat.
"Nyonya? Apa Nyonya membutuhkan sesuatu?" tanya Bibi Berna.
"Tidak. Aku hanya ingin menyiapkan sarapan untuk suamiku," balas Luna.
"Tapi Nyonya—"
"Bibi, kali ini saja, ya? Aku akan berangkat tour. Dan selama tour aku tidak mungkin menyiapkan bekal untuk Danzel. Jadi, aku hari ini ingin membuat sarapan yang spesial. Biarkan aku memasak, ya?" Luna menatap Bibi Marry dan Bibi Berna bergantian.
Kedua wanita itu terdiam. Mereka saling memandang kemudian mengangguk, membiarkan Luna menyiapkan sarapan untuk Danzel. Luna sangat senang. Dan dengan cepat, dia mulai memasak sarapan untuk Danzel.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Luna segera kembali ke kamar. Tiba di kamar, dia tak mendapati Danzel dalam kamar.
"Kemana Danzel?" gumam Luna.
Ceklek.
Suara pintu kamar mandi yang dibuka membuat Luna menoleh. Dia mendapati Danzel keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya. Luna segera mendekati lelaki itu.
"Dari mana kau?" tanya Danzel dingin.
"Aku dari dapur," balas Luna. "Aku akan menyiapkan pakaianmu."
Danzel tak menjawab. Dia hanya menatap Luna yang berjalan menuju walk in closet. Dia kemudian duduk di pinggir ranjang, menanti Luna.
"Ini. Ayo, biar ku bantu—"
"Tidak perlu. Pergilah mandi. Aku tidak ingin kau menyalahkanku karena terlambat dan ketinggalan bus."
Luna menatapnya, kemudian tersenyum. Gadis itu semakin mendekatkan tubuhnya pada Danzel. "Aku senang kau menunjukkan perhatianmu padaku," ucap Luna membuat Danzel menatap tajam dirinya.
"Siapa yang perhatian padamu? Aku hanya tidak ingin menjadi orang yang disalahkan jika kau terlambat."
"Terserah apa katamu. Tapi bagiku, ini adalah bentuk perhatian darimu untukku," ucap Luna, lalu berbalik meninggalkan Danzel.
Luna segera menuju kamar mandi, sementara Danzel bergegas mengenakan stelan kantornya.
Beberapa menit di kamar mandi, Luna keluar dengan mengenakan bathrobe seperti semalam. Dan itu membuat fokus Danzel yang sedang duduk di pinggir ranjang sembari memikirkan rencana yang berkaitan dengan tour tersebut teralihkan.
Matanya terpaku pada Luna dan terus memperhatikan gadis itu hingga Luna menghilang di balik pintu walk in closet.
"Sial!" gumam Danzel sembari memejamkan matanya. Tapi, beberapa detik kemudian, dia membuka matanya saat sebuah ide terlintas di otaknya. Seulas senyum tipis Danzel perlihatkan.
Setelah mengganti pakaiannya, Luna keluar dari walk in closet. Penampilan Luna kembali menarik perhatian Danzel. Wajah cantiknya yang natural tanpa polesan makeup membuat Danzel betah menatapnya.
"Aku sudah siapkan bekal. Sepertinya aku tidak akan sarapan bersamamu," ucap Luna sambil merapihkan rambutnya dan mengoleskan beberapa produk kecantikan di wajahnya. Danzel tak menjawab, membuat Luna menarik nafasnya.
Gadis itu tak berbicara lagi. Dia melanjutkan kegiatannya hingga selesai. Setelah itu, dia beranjak dari kursi meja rias dan menghampiri Danzel yang kini berdiri sembari menatap layar ponselnya.
"Dasimu berantakan. Biar ku betulkan," ucap Luna. Gadis itu mulai membenarkan dasi Danzel. Sesekali Danzel melirik Luna yang tengah fokus. Setelah itu dia kembali menatap layar handphonenya.
"Sudah. Aku pamit berangkat dulu. Kau jangan lupa sarapan," ucap Luna. Gadis itu berjinjit hendak mengecup pipi Danzel. Tapi, Danzel tiba-tiba menoleh, membuat Luna tak sengaja mencium bibirnya.
Deg!
Keduanya terdiam dengan mata yang saling bertatapan. Mata Luna melotot terkejut. Dan Danzel, dia juga terkejut, namun mampu membuat dirinya tetap tenang. Meski begitu, jantungnya berdetak dengan cepat.
Luna yang mulai sadar dari keterkejutannya, menjauhkan wajahnya dari wajah Danzel. Namun, gerakannya didahului Danzel yang dengan cepat menekan tengkuknya dan menarik pinggangnya hingga tubuh mereka semakin dekat. Danzel membiarkan bibir mereka saling menempel. Menikmati setiap detak jantungnya dan detak jantung Luna yang mampu dia rasakan.
Hingga beberapa detik kemudian, dorongan dari Luna membuat mereka saling terlepas. Wajah Luna memerah malu. Sementara Danzel, dia menunjukkan raut dinginnya. Namun tak bisa ia pungkiri, hatinya begitu bahagia bisa mencium Luna.
"Ma-maaf, Danzel. A-aku tidak sengaja," ucap Luna canggung.
"Hmm." Danzel hanya berdehem, lalu berjalan meninggalkan Luna menuju sofa. Dia mendudukkan tubuhnya disana sambil menahan senyum.
Luna menatapnya sekilas, kemudian bergegas mengambil barang bawaannya untuk tour.
"Aku pergi dulu," pamit Luna, kemudian berjalan keluar dari kamar.
Danzel menatapnya dalam diam. Ingin sekali dia menahan Luna dan mengatakan jika dia belum mendapat kecupan di pipi seperti biasanya. Tapi, Danzel mengurungkannya.
Setelah 5 menit pintu kamar tertutup, Danzel bergegas keluar dari kamar. Dia langsung menuju ruang tamu, dimana sudah ada Sekretaris Beni disana.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Sekretaris Beni.
"Hmm. Apa Luna sudah pergi?"
"Sudah, Tuan. Nyonya baru saja pergi bersama Pak Wang."
Danzel mengangguk. "Ayo!" ajaknya membuat Sekretaris Beni segera mengikutinya. Namun, baru beberapa langkah, Danzel berhenti. Dia berbalik tanpa mengatakan sesuatu pada Sekretaris Beni.
"Apa Tuan melupakan sesuatu? Aku rasa tidak mungkin. Tuan bukan tipe orang pelupa. Aku mengenalnya dengan baik," gumam Sekretaris Beni.
Setelah beberapa menit menunggu, Danzel kembali dengan membawa bekal yang Luna siapkan tadi. Hal itu membuat Sekretaris Beni ingin tertawa, namun dia menahannya. Hal yang sama terjadi pada Bibi Marry dan Bibi Berna. Kedua wanita itu menahan senyum melihat tingkah Danzel.
"Ikuti mobil Luna," ucap Danzel ketika berada dalam mobil.
Sekretaris Beni yang duduk di kursi pengemudi langung menoleh mendengar perintah Danzel.
"Maksud Tuan...."
"Ikuti Luna dan Pak Wang. Kita juga ikut ke tempat tour mereka."
"Ki-kita ikut ke luar kota, Tuan?"
"Hmm."
Sekretaris Beni meneguk ludahnya kemudian mulai melajukan mobilnya. Sementara Danzel, laki-laki itu menyandarkan tubuhnya sembari menatap bekal yang ada di sampingnya.
Danzel tersenyum tipis. Dia sendiri yang akan memantau Luna selama melakukan tour. Dia tidak ingin kehilangan Luna seperti dia kehilangan orang tuanya. Tembok pertahanannya yang kokoh, yang selama ini dia bangun telah runtuh oleh setiap perhatian dan kehangatan yang Luna berikan. Dia mulai memahami perasaannya terhadap Luna.
Danzel menarik nafasnya pelan, lalu menghembuskannya. Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di depan perusahaan tempat Luna bekerja. Sudah banyak karyawan yang datang, dan beberapa juga mulai memasuki bus yang terparkir.
Bisa ia lihat Pak Wang turun dari mobil bersamaan dengan Luna dan membantu membawakan barang Luna menuju bus. Namun tiba-tiba, pria yang sama seperti yang dia temui waktu itu menghampiri Luna dan Pak Wang, lalu mengambil alih barang bawaan Luna. Keduanya berjalan bersamaan memasuki bus.
Danzel jelas-jelas marah melihat kejadian itu. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal erat. Dia tidak suka istrinya bersama pria lain.
"Kau tahu siapa dia, Beni?"
Sekretaris Beni meneguk ludahnya. Sebenarnya, melalui penyelidikannya beberapa hari lalu, dia tahu jika pria itu adalah sahabat sang nyonya, sekaligus calon suami dari sahabat perempuan sang nyonya. Dia sengaja tidak memberitahu Danzel karena ingin melihat kembali reaksi cemburu Danzel, seperti saat pertama kali dia dan sang Tuan mengikuti sang nyonya ketika pulang kerja saat itu.
"Kenapa kau melamun?" tanya Danzel membuat Beni tersadar.
"Hah? Maaf Tuan. Aku tiba-tiba mengingat jika pernah bertemu dengan pria itu. Dan ternyata, dia pria yang sama yang membuka pintu mobil untuk nyonya saat kita mengikuti nyonya waktu pulang kerja."
"Jadi?" Sebelah alis Danzel terangkat sembari menunggu jawaban Beni.
"Maaf Tuan, aku tidak tahu, siapa pria itu."
"Ck." Danzel berdecak kemudian menyandarkan tubuhnya.
Jika kalian memang memiliki hubungan, maka aku akan memisahkan kalian. Bagaimana pun, aku yang paling berhak atas dirimu, Luna. Bukan dia! Batin Danzel.