Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Tidak Mau Membahas Lagi
"Rania, Rania kamu sudah sadar?" tanya Candra sambil mengusap kepalanya.
Rania lalu dibantu Candra untuk minum air putih, setelahnya kembali dibaringkan. Tubuhnya merasa lemas sekali, sampai tidak ada kekuatan. Ia sempat melihat ada pria memakai jas dokter, tapi karena kedua matanya terasa berat jadi Ia memutuskan kembali beristirahat.
"Bagaimana keadaannya dokter?" tanya Candra.
"Bu Rania ini sedang hamil, kan?"
"Iya, usianya masih satu bulanan."
"Ibu hamil memang tingkat emosionalnya menjadi sulit terkendali, jadi kalau bisa pasien jangan terlalu banyak pikiran sampai mengganggu mentalnya. Kasihan karena tekanannya akan terasa juga pada bayi, itu yang membuat si Ibu tidak nyaman."
Candra mengangguk pelan, "Iya dokter, tapi bayinya tidak kenapa-napa, kan?"
"Tidak, sehat kok. Maklum saja masih awal kehamilan, harus banyak makan yang sehat dan jangan lupakan juga vitaminnya."
"Iya dokter. "
"Saya bawa beberapa obat untuk pasien, akan saya berikan."
Candra kembali menatap Rania, dari tadi tangannya terus bertengger mengusap kepala perempuan itu. Bibir Rania sampai pucat, tapi kata dokter baik-baik saja. Mungkin karena tadi mereka sempat ribut, Candra jadi merasa bersalah.
"Ini Pak Candra vitaminnya, minumnya teratur dan harus terus di perhatikan ya."
"Iya dokter, sekali lagi terima kasih sudah datang."
"Sudah menjadi tugas saya, semoga pasien cepat kembali pulih."
Candra mengantarkan dokter pribadi keluarganya itu sampai ke depan rumah, setelahnya Ia kembali masuk ke kamar Rania. Perempuan itu terlihat sudah duduk menyender di punggung ranjang, Candra pun mendekat dengan hati-hati.
"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang tidak enak?" tanyanya.
Tetapi Rania hanya mengangguk pelan, tanpa mau menatapnya.
"Maaf Rania, kamu pasti terkejut sekali mengetahui rahasia ini. Tetapi saya mohon, jangan terlalu dipikirkan."
"Apa maksud kamu? Aku sangat memikirkan nya," ucap Rania baru menatap Candra, "Aku terus memikirkan ini, sampai membuat aku terbebani."
"Saya tahu ini berat sekali untuk bisa kamu terima, tapi mau bagaimana pun sekarang kamu istri saya."
"Iya istri kedua."
"Tetap saja, mau pun kedua kamu tetap istri saya."
Rania tersenyum sinis, "Kamu sedang mempermainkan pernikahan Mas?"
"Apa maksud kamu? Aku tidak main-main."
"Tapi kamu terlihat tidak masalah sekali dengan ini, memangnya sudah se siap apa sampai merasa sok bisa memiliki istri dua?"
"Aku akan usahakan, aku pikir aku mampu. Aku punya segalanya, kalian bisa minta apapun dan pasti aku berikan."
"Kamu pikir kesiapan seorang suami memiliki istri dua itu hanya karena hartanya?"
Tidak, Candra pun tahu itu.
"Tapi Rania, aku juga tidak pernah terpikirkan akan menikah kedua kalinya. Antara aku dan kamu itu kecelakaan, dan aku harus tanggung jawab. Bukankah aku sudah baik?"
"Baik?"
"Iya, di luar sana yang mengalami pemerkosaan sampai hamil bahkan jarang sekali ada yang mau tanggung jawab."
"Jadi kamu terpaksa menikahi aku?"
"Awalnya, tapi aku sudah bilang sekarang tidak. Apalagi kamu sedang hamil, aku menerima kamu dan bayi itu." Candra lalu membawa tangan Rania, "Sudah jangan bicarakan ini lagi, dokter bilang kamu jangan banyak pikiran."
Lucu sekali Candra meminta untuk jangan terlalu memikirkan, malahan sulit sekali melupakan fakta itu. Masih banyak yang ingin Ia ungkapkan, tapi hatinya sangat lelah. Selain itu, perutnya juga sedikit sakit kalau cekcok terus dengan Candra.
"Mending sekarang kamu istirahat ya," perintah Candra.
"Aku mau pulang."
"Jangan bicara itu lagi, aku tidak akan biarkan kamu pergi."
"Tapi--"
"Rania aku mohon, aku tidak mau meributkan ini lagi. Sekarang tidur lah, nanti aku akan kembali saat makan malam." Candra pun beranjak dan keluar kamar.
Air mata Rania menetes sedikit, hanya merasa sedih melihat sikap Candra yang seperti mau lari dari kesalahannya. Dengan mudah juga memintanya tidak membahas ini lagi, padahal Rania butuh banyak penjelasan dari pria itu.
Rania lalu membawa ponselnya, Ia akan menghubungi Neneknya. Bukan untuk menceritakan tentang rahasia besar ini, tapi hanya sedang merindukan Neneknya itu. Mungkin dengan mendengar suaranya, hatinya bisa sedikit lebih tenang.
"Hallo Nenek."
["Rania, ada apa nak? Kenapa suara kamu serak begitu? Kamu habis nangis?"]
Ternyata Neneknya peka sekali, "Enggak kok, aku baru bangun tidur."
["Tidur siang ya, bagaimana di sana? Nyaman?"]
"Iya rumahnya nyaman, besar dan mewah juga. Nenek nanti harus kesini ya, pasti bakalan kagum lihatnya."
["Nenek sudah bisa bayangin sih, tapi semoga kamu betah ya di sana."]
Entahlah, awalnya Rania juga berharap begitu, tapi setelah tahu rahasia Candra, Ia jadi tidak betah dan meminta ingin pulang terus. Rumah ini memang nyaman untuk di tempati, tapi penghuninya itu yang membuat tidak nyaman.
["Rania, Nenek merasa tidak enak hati dari tadi, terus memikirkan kamu."]
"Aku.. Baik-baik saja kok Nek," bohongnya.
["Mungkin Nenek cuma kangen sama kamu, padahal baru sehari ya kita berpisah. "]
"Iya."
["Jaga diri kamu baik-baik ya di sana, selalu patuhi suami dan jadilah istri yang baik."]
Rasanya Rania ingin protes enggan mendengar perintah itu, toh Candra juga tidak bisa menjadi suami yang baik untuknya. Pria itu sudah berbohong dengan statusnya, bagaimana Rania tidak kecewa?
["Nenek mau lanjut kerja, sudah dulu ya.]
"Iya Nek, semangat ya."
Setelah panggilan berakhir, helaan nafas lega keluar lewat celah bibir Rania. Hatinya merasa lebih baik setelah mengobrol dengan Neneknya. Rania memang belum mau cerita tentang masalahnya ini, merasa malu dan belum siap saja karena hubungannya dengan Candra pun masih seumur jagung.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumamnya.
Apa Rania melarikan diri saja ya dari sini? Lalu pulang ke desa. Kepalanya langsung menggeleng berpikir itu bukanlah ide yang bagus. Nanti Neneknya dan warga desa bisa langsung curiga, padahal Ia baru pindah ke Jakarta. Rania tidak mau lagi menjadi bahan gosipan.
"Tapi aku merasa berat menerima kenyataan kalau aku istri kedua Mas Candra, aku pikir hanya aku satu-satunya."
Yang membuat aneh, di desa tidak ada yang tahu satu pun kalau Candra sebelumnya sudah menikah. Mungkin kalau ada, pasti akan langsung memberitahunya. Lalu kalau sudah tahu, memangnya Rania akan menolak Candra dan tidak meminta tanggung jawabnya? Entahlah, semuanya terasa rumit sekali.
"Nak, maafin Mama ya kamu harus ada di keadaan seperti ini. Mama juga tidak tahu harus bagaimana, kita sudah terikat oleh Papa kamu itu," ucap Rania sambil mengelus perutnya yang masih rata.
"Kamu baik-baik di dalam, harus kuat juga kalau sewaktu-waktu Mama kembali drop karena terlalu banyak pikiran."
Rania merasa hidupnya tidak bisa tenang ke depannya, entah masalah apa yang akan di hadapinya. Tetapi Rania harus kuat, apalagi untuk bayi di perutnya. Jadi apakah Rania sudah memutuskan untuk bertahan?