Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon merebahkan tubuhnya di sofa empuk milik Damian, merasa dunia di sekitarnya terlampau jauh dan asing. Ia melepas dasi yang terasa semakin menyesakkan lehernya, membiarkannya tergeletak di samping.
Seluruh tubuhnya terasa lelah, tapi bukan karena fisik semata. Lebih kepada beban mental yang membanjiri pikiran-pikirannya.
Deon menghela napas panjang, menatap langit-langit ruangan dengan mata yang kosong. "Gue sebenernya lagi cari apasih?" pikirnya, suara hatinya terdengar begitu terputus-putus.
"Apa yang gue harap bisa gue temuin dalam semua ini? Kenapa gue justru malah terjebak di tubuh orang yang nggak ada kaitannya sama sekali dengan masalah gue?"
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. "Skandal besar yang harus gue ungkap? Itu jelas. Itu tujuan gue. Tapi kenapa sekarang gue malah ada di sini? Di tubuh orang yang kerja di perusahaan berbeda. Di dunia yang terasa sangat jauh dari skandal yang gue kejar. Kenapa gue harus terjebak di tubuh Damian yang nggak pernah gue kenal sebelumnya?"
Deon merasa seperti dilanda kebingungan yang begitu dalam. Semua yang dia tahu, semua yang dia coba untuk pahami sekarang terasa tidak masuk akal.
"Kenapa gue ada di sini? Apa hubungannya semua ini? Dulu, gue hanya mau melawan ketidakadilan yang ada di perusahaan bokap gue. Kenapa tiba-tiba gue malah ada di dunia yang seolah-olah nggak punya kaitan sama sekali?"
Ia memandangi layar ponselnya yang masih menyala dengan beberapa email kerja yang belum dibaca, laporan-laporan yang seharusnya dia selesaikan. Tapi hatinya tidak tergerak untuk menyentuhnya.
"Gue yang harus jadi pahlawan dalam cerita ini? Apa gue harus terus mengejar sesuatu yang lebih besar? Tapi, apa sih sebenarnya yang gue kejar? Apa tujuan gue sebenarnya?"
Kepalanya pusing, perasaan cemas dan bingung merambat semakin dalam. "Tuhan, kenapa sih ini semua terjadi? Gue nggak ngerti lagi."
Deon memegangi kepalanya, seolah-olah mencoba untuk mengatur ulang pikirannya yang kacau. "Apa gue harus ngikutin jalan ini? Apa kalau gue nggak berhenti, gue malah bakal kehilangan semua arah? Atau mungkin, hanya mungkin, gue sedang dihadapkan pada sesuatu yang lebih besar dari yang gue bayangkan?"
Dia menarik napas panjang, seolah mencoba mencari secercah kepastian di dalam kegelapan. "Gue nggak bisa terjebak dalam kebingungan ini selamanya. Gue harus nemuin jawaban, entah apa pun itu."
Deon mendadak bangkit dari sofa, seperti kesetrum oleh pikirannya sendiri. Napasnya berat, matanya membelalak, seolah-olah baru saja tersadar akan sesuatu yang penting.
“Enggak. Enggak mungkin ini cuma kebetulan,” gumamnya sambil berjalan mondar-mandir di ruang tengah apartemen Damian yang mewah itu.
“Gue gak mungkin dilempar ke tubuh Damian tanpa alasan. Gak mungkin Tuhan atau siapa pun yang ngatur semua ini cuma lagi iseng!”
Tangannya menyambar tablet kerja Damian yang tergeletak di meja kopi. Layarnya menyala, penuh dengan dokumen-dokumen, laporan proyek, dan email penting. Tapi satu hal yang langsung menarik perhatiannya, logo kecil di pojok dokumen IRX Corporation.
Mata Deon menyipit. “Wait IRX? Itu nama yang pernah gue denger tapi di mana ya?” Otaknya mulai memutar cepat, menggali memori dari hidupnya sendiri.
Dan lalu klik.
Ingatannya mengarah pada sebuah berita lama, satu kolaborasi gelap antara IRX dan perusahaan milik ayahnya.
Mulutnya sedikit menganga. “Jadi ini toh kaitannya? Damian bukan sekadar manajer biasa. Dia bagian dari sesuatu yang lebih besar yang gue duga. IRX bisa aja dalang di balik semua skandal yang bokap gue tutupin selama ini.”
Deg.
Detak jantungnya melesat. Ini bukan lagi soal dia menikmati hidup mewah sementara jadi orang lain.
Ini soal benang merah yang mulai terlihat bahwa mungkin, hanya mungkin, jalan untuk mengungkap kebenaran yang selama ini dia kejar justru dimulai dari tubuh orang asing yang kini dia tinggali.
“Damian, siapa sih lo sebenernya?” bisik Deon dengan sorot mata tajam. “Dan kenapa rasanya gue mulai takut lo bukan cuma sekadar boneka dalam cerita ini?”
"Gue takut, lo justru dalang di balik kejanggalan ini semua."
"Apalagi.." Deon menatap sekeliling apartemen Damian yang super mewah. "Manada ada manager biasa kayak lo biasa memiliki apartemen dengan fasilitas semewah dan secanggih ini. Gaji lo mana cukup kalau di pikir pikir."
Suara hati Deon makin gaduh, pikirannya menolak diam. Ia berdiri tegak di tengah apartemen Damian, memandangi pantulan dirinya sendiri di kaca besar yang menghadap langit malam kota.
Deon terdiam cukup lama. Suasana di apartemen Damian terlalu hening, terlalu sempurna untuk dianggap wajar.
Ia berjalan pelan ke arah jendela besar yang memamerkan city lights Jakarta, lalu bersandar di sana, menatap pantulan dirinya sendiri dalam kaca atau lebih tepatnya, pantulan tubuh Damian.
"Lo siapa, Dam?" gumamnya pelan namun penuh tekanan. "Gue makin lama makin ngerasa, ini bukan cuma tentang gue yang pindah tubuh dan main nyamar doang."
Ia tertawa miris, mengacak rambutnya sendiri. "Lo bukan sekadar manager, gue yakin itu sekarang. Lo terlalu rapi. Terlalu sempurna. Bahkan apartemen lo sensor suhu, tirai otomatis, aroma terapi nyala sendiri, lemari baju kayak di film-film spionase semua kebuka kayak punya AI pribadi. Siapa lo sebenernya, Dam?"
Deon menunduk, mencengkeram tepi jendela. “Lo bahkan punya ruang kerja tersembunyi di balik lemari. Komputer lo butuh sidik jari dan retina. Lo pikir itu hal biasa buat manager? Enggak masuk akal, bro. Enggak logis. Bahkan bokap gue yang pemilik perusahaan aja gak segitunya.”
Ia berjalan ke tengah ruangan, mulai mondar-mandir.
"Dan gue juga ngerasa kadang-kadang, lo ngendaliin gue. Ada momen-momen gue mau ngomong A, tapi yang keluar B. Mau cabut, tapi kaki gue malah duduk manis. Mau marah, tapi mulut gue malah senyum."
Deon berhenti, menatap lurus ke depan. "Jadi ini semua permainan lo? Lo jebak gue di tubuh lo buat apa? Apa lo mau manfaatin gue? Atau lo lagi coba kabur dari sesuatu?"
Wajahnya menegang. “Atau jangan-jangan lo bukan manusia biasa? Lo kayak entitas, atau eksperimen gagal? Atau bahkan, lo bukan dari zaman ini?”
Tawa kecil keluar dari bibir Deon, tapi tanpa rasa humor sedikit pun. “Gue tahu hidup gue aneh. Gue udah bangun di tubuh orang lain, udah hidup sebagai Agra, anak yang dimiskinkan."
"Sekarang gue hidup sebagai lo Damian, manusia super misterius dengan segala kejanggalan. Tapi makin hari, gue ngerasa bukan gue yang nyari jawaban. Tapi gue lagi dibawa ke dalam jawaban yang bahkan belum gue ngerti bentuknya.”
Ia memejamkan mata. Tarikan napas panjang, lalu desahan berat. "Kalau lo denger gue sekarang, Damian, jawab satu aja kenapa gue? Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa gue yang lo pilih?"
Tak ada jawaban. Hanya suara angin dari AC sentral yang mengalir lembut. Tapi perasaan Deon makin kuat, Damian bukan sekadar nama.
Dia bukan sekadar tubuh, Damian adalah pintu. Pintu ke sesuatu yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan mungkin lebih berbahaya dari yang bisa Deon bayangkan.
Dan dia belum tahu apakah dia sedang membuka pintu itu atau sudah terperangkap di dalamnya.
__
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu menggelegar, membuat Deon yang masih berdiri termenung di tengah apartemen Damian sontak tersentak.
Dia melirik jam dinding masih pukul delapan malam.
Siapa yang dateng jam segini?
Dengan langkah malas dan mata masih penuh curiga karena pikirannya masih berputar soal Damian, Deon berjalan ke pintu. Tangannya memutar kenop perlahan.
Begitu pintu terbuka…
“Daaammmiiiiaaaan!!!”
Sebuah sosok perempuan langsung menerjang masuk seperti peluru, memeluk Deon seerat-eratnya hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan.
“Woi woi woi! Siapa lo?! Eh eh! Neng?! Neng siapa?!”
Deon panik, tangannya melambai-lambai di udara, mencoba melepaskan diri dari pelukan dadakan itu.
Perempuan itu mendongak, tersenyum lebar. “Kamu kangen aku juga kan? Duh, dari gaya kamu megangin aku aja udah ketahuan tuh!”
“MEGANGIN?! Nih tangan gue kebuka dua-duanya, mbak!” jerit Deon dalam hati.
Deon akhirnya bisa mendorong perempuan itu perlahan, masih dengan wajah syok campur waspada.
“Lo siapa? Mau apa? Salah apartemen, kali?”
Perempuan itu mencubit dagu Deon gemas. “Yaa ampun, si Damian amnesia nih, ya? Ini aku, Cilla! Masa lupa? Cewek kamu yang paling kamu sayang sedunia akhirat!”
Deon langsung membeku di tempat.
“CEWEK GUE?!”
Dalam hati, dia udah menjerit-jerit. “Astaga Damian! Lo punya pacar?! Se-cantik ini?! DAN GUE BARU TAU?!”
Cilla masuk ke dalam apartemen tanpa permisi, duduk di sofa, lalu menendang-nendangkan kakinya sambil nyanyi-nyanyi kecil.
Deon berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kocak, antara panik, bingung, kagum, dan sedikit iri sama Damian.
“Damian, lo bener-bener cowok misterius. Bahkan pacar lo aja kejutan level dewa.” gumannya pelan.
Deon masih berdiri kaku di depan pintu seperti patung Liberty kehabisan fungsi. Mulutnya setengah terbuka, matanya melotot menatap Cilla yang sekarang udah leluasa selonjoran di sofa mahal, ngambil remote TV dan nyalain layar datar segede tembok itu tanpa rasa bersalah.
“Nih orang beneran pacarnya Damian?” gumam Deon dalam hati. “Gak keliatan kayak cewek biasa. Gaya duduknya aja udah kayak pemilik apartemen ini!”
“Damian, btw kita jadi liburan ke Jeju gak minggu depan?” tanya Cilla tiba-tiba tanpa noleh, masih asyik nonton TV. “Aku udah minta cuti loh, jangan PHP-in aku kayak trip ke Maldives kemarin!”
Deon makin melongo. “JEJU?! MALDIVES?! Damian ini cowok apa agen travel terselubung?!”
Dia melangkah pelan ke belakang sofa, masih waspada. “Eeeh Cilla ya?” tanya Deon hati-hati.
Cilla langsung noleh, senyum manis. “Iya dong, masa kamu lupa nama pacar kamu sendiri, sih?”
Deon menelan ludah. “Oke, ini bisa jadi jebakan. Tapi kalau Damian punya cewek kayak gini, gaya hidup kayak gitu jangan-jangan…”
Dia melirik ke dapur, ke kamar mandi, ke kamar tidur yang super canggih, lalu kembali menatap Cilla yang udah selonjoran kayak di rumah sendiri.
“Jangan-jangan Damian ini bukan cuma manager. Jangan-jangan dia agen rahasia? Mafia? Anak sultan undercover? Atau jangan-jangan dia juga penjelajah waktu kayak gue?!”
Deon langsung duduk lemas di pinggir meja makan.
“Gue gak kuat mikir. Gue butuh kopi. Dan mungkin terapi jiwa.”