NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 33 - Seperti Dia

“Jawab! Aku butuh penjelasan apa yang barusan telah kudengar.” Darius berteriak, pandangannya jatuh bergantian, menatapku dan ibu dengan gelagat panik.

Hari ini matahari bahkan belum condong ke barat, tapi rasanya seperti sore yang suram dalam pikiranku. Cahaya dari jendela balkon menyilaukan sedikit, memantul di lantai apartemen yang terlalu bersih untuk disebut hangat.

Aku masih belum tahu apakah kali ini kami—aku akan benar-benar berakhir. Sempurna berakhir dari sandiwara yang memuakkan ini?

Ibu yang tak mau kehilangan kesempatan, segera melangkah maju. “Nak Darius, Ibu yakin kamu salah dengar. Ini tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan.”

Tangan Ibu berusaha menyentuh Darius, tetapi Darius lebih dulu mengangkat tangan. Bahkan tak segan menepis. “Cukup, Bu. Tolong, aku ingin mendengar langsung dari mulut Soraya.”

Aku mengatupkan bibir. Tatapan kami bertemu. Darius berdiri di sana. Diam. Wajahnya membeku. Tatapannya menembus tubuhku, seperti mencari celah untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya nyata atau sekadar ilusi.

Aku tidak akan berpaling kali ini. Tidak akan lari lagi, aku ... dengan segala celah yang menganga di depanku saat ini, tentunya akan ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Ibu menengok padaku, sorot matanya itu memberi sebuah isyarat yang tak aku hiraukan lagi. “Soraya, kamu—”

“Apa yang kamu dengar barusan itu benar, Mas,” ungkapku usai menahan napas beberapa detik.

“Soraya!” Ibu berteriak, aku tak lagi menatapnya.

“Aku bukan Soraya,” tuturku lagi, lebih tegas. “Aku bukan kekasihmu, bukan pula tunanganmu. Bukan perempuan yang seharusnya kamu nikahi. Kita hanya sama-sama korban dari rencana orang tua kita, Mas.”

Kening Darius terlihat berlipat. Kaki panjangnya bergerak pelan ke arahku. “Maksudmu, bagaimana?”

Wajah Darius mengeras. Tapi bukan marah yang kutangkap dari matanya. Bukan kemarahan penuh api seperti dalam sinetron. Justru sebaliknya, ada kekecewaan yang begitu sunyi, tapi tajam. Kekecewaan yang terasa seperti pecahan kaca, tertancap dalam dada.

“Tidak, Darius! Jangan dengarkan dia.” Tergopoh-gopoh Ibu menghampiri Darius, memegangi bahunya, mengemis atensi. “Kamu tahu sendiri kan? Kamu melihat dia sebagai Soraya, lantas apa yang perlu kamu pertanyakan lagi?”

Namun Darius tetap bergeming di tempat, pandangannya hanya tertuju padaku. Meskipun Ibu berusaha mengguncang tubuhnya, lalu pontang-panting keluar seperti mencari keberadaan ayah dan mungkin ingin menanyakan: mengapa Darius bisa lolos ke sini.

Aku menarik napas. “Soraya telah tiada.”

Darius melotot, dia lebih-lebih mendekat padaku. Sedang kulihat Ibu yang berdiri di ambang pintu tampak berhenti melangkah.

“Hentikan itu! Kamu sudah terlalu banyak bicara omong kosong, Soraya!” Ibu berteriak, berdengung di antara desau angin yang berembus.

Sementara Darius sudah berdiri tepat di hadapanku, tubuhku hampir bersentuhan dengan pembatas di belakang sana. Lalu kedua tangan Darius mendarat pada bahuku.

“Katakan semuanya, aku ingin kejelasan. Jangan bicara setengah-setengah!”

Aku menelan ludah. Kepalaku mendongak agar bisa menatapnya. “Soraya sudah meninggal, tepat saat kalian mengalami kecelakaan. Saat kamu sadarkan diri, anehnya kamu melihat aku sebagai sosok Soraya. Yang entah sebenarnya bagaimana caramu melihatku selama ini, tapi dokter bilang kamu mengalami hilang ingatan sementara karena kecelakaan itu.”

Saat tatapan Darius mulai kosong, mungkin mencoba menerawang jauh pada ingatan yang tersapu dalam kepalanya, cengkraman tangannya pada bahuku terasa mulai melemah.

Aku pun menurunkan pandangan. “Dan kamu tahu sendiri, betapa gilanya keluarga kita dalam memanfaatkan momen ini. Dia memintaku menjadi pengantin pengganti dan kenyataannya kita tak pernah benar-benar resmi menjadi sepasang suami istri.”

Hening beberapa detik menyusuri ketegangan di sini, dari kejauhan kudengar ibu mengomel—berteriak-teriak pada ayah. Menyalahkan atas kejadian ini, yang berakibat fatal, ibaratnya kapal yang sudah menabrak karang dan dipastikan sebentar lagi akan tenggelam.

“Berarti semuanya palsu...” Ia mengangguk kecil, entah kepada dirinya sendiri atau padaku. “.. dari awal.”

Bahuku merosot pelan, kembali menatapnya. “Sekalipun atau sedikitpun aku tidak pernah punya niat untuk menipumu, Mas. Percayalah, jika kamu melihat dari sisiku, betapa sulitnya keadaan ini. Dan setiap kali aku ingin jujur, semuanya selalu terasa berat dan berujung terlambat.”

Darius mencengkeram pelipisnya. Nafasnya memburu. Matanya kosong sejenak, lalu ia mundur setapak. “Tidak … tidak masuk akal. Aku ingat ... aku melamar Soraya. Di rumah kaca ... bunga biru ... Dia tersenyum. Kami sepakat berbicara tentang ini, tentang kesepakatan, bahkan kamu juga menyetujuinya. Kamu ingat itu—”

“Yang kamu ingat bukan aku, Mas,” bisikku pelan, mencoba menenangkan. “Dan aku tidak pernah ada di rumah kaca itu. Aku hanya pura-pura ingat, pura-pura tahu. Bertahan sejauh ini bermodal informasi yang kucari diam-diam.”

Aku menoleh perlahan. Mata kami bertemu. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak melihat pria yang keras kepala atau sinis di hadapanku. Yang kulihat adalah seseorang yang benar-benar ... hancur.

Seperkian detik kemudian, aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Ibu datang dengan napas yang tersengal-sengal, persis seperti orang yang sudah naik pitam. Dia menyingkirkan Darius dari hadapanku, lantas kami berhadapan.

Plak!

“Dasar tidak berguna kamu!”

Aku melirik sembari memegangi pipi yang perih tanpa kebencian setitik pun, justru aku merasa puas. Baru kali ini aku bisa benar-benar menghirup udara bebas, seakan jeruji kepahitan dari sandiwara ini akan segera musnah.

“Ingat ini baik-baik. Mulai detik ini, kami tidak akan menganggapmu bagian dari keluarga kami lagi. Aku tak akan pernah mengingat kamu sebagai anak pungut yang sudah kubesarkan! Dan aku akan menuntutmu atas kerugian ini, ingat itu!”

Setelah ibu mengucapkannya, dia lantas berbalik. Menatap Darius yang saat ini juga tengah menatapnya.

“Darius...” panggil Ibu dengan napas yang tersendat-sendat.

“Bu, aku mohon,” potongnya, suaranya sedikit bergetar. “Aku tidak ada di pihak Ayah dan Ibuku. Dan sekarang … aku juga bukan bagian dari kebohongan kalian.”

Tak ada percakapan apapun lagi seusai itu, Ibu berderap pergi dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan. Ayah di ujung pintu sana sudah menunggu, mereka kembali berdebat di sela langkah. Sampai akhirnya tak ada kebisingan mereka yang tersisa di sini.

Darius kembali melangkah mendekat. Jantungku berdetak seperti genderang perang.

“Kamu baik-baik saja?”

Aku tersenyum kecut. “Tidak ada yang baik-baik saja setelah ini, bukan? Semuanya hancur, tetapi selesai juga. Sejak awal aku bukan pemeran utama dalam drama ini. Aku hanya orang yang diseret paksa untuk jadi figuran, tapi harus pura-pura bahagia setiap saat.”

Darius menunduk, sesekali memegangi pelipisnya. “Ini benar-benar membingungkan, rasanya aku tidak ingin percaya. Tapi kenyataan yang kulihat saat ini telah mengatakan segalanya.”

Tubuhku berbalik, menghadap pada hamparan pemandangan kota-kota yang nampak kecil. Mencerminkan hiruk pikuk kesibukan dunia. Sejenak aku memejam mata, mendengar gerak-gerik Darius yang kuyakini dia sudah berada di sampingku.

“Jika memang kamu bukan Soraya. Lantas kamu siapa?”

Mataku terbuka, masih menatap lurus ke depan. “Seseorang yang seharusnya kamu ingat dan kenal.”

Perlahan aku menoleh pada Darius yang juga sedang menatapku. “Aku Nerissa. Adik angkat mendiang Kak Soraya. Bukankah dulu ... kita sempat beberapa kali mengobrol?”

“Ne-ri-ssa?” Darius bertanya seakan nama itu asing dalam ingatannya.

Darius menarik napas, tapi seperti tersedak udara itu sendiri. “Pantas saja ... wajahmu, cara bicaramu. Semuanya ... seperti dia.”

Aku mengerutkan dahi. “Dia?”

Seseorang yang dimaksudnya terdengar ambigu.

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!