Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diberhentikan
"Baik jika kau tak mau." desis Elang yang langsung keluar dari kamar mereka. Mitha hanya mampu menatap punggung tegapnya menghilang dari balik pintu. Hati-hati dia turun ke bawah.
"Selamat pagi pa." sapa Mitha pada Abi yang barusan keluar dari kamarnya.
"Pagi Mith. Elang mana?"
"Kelihatannya udah berangkat pa." jawab Mitha pelan.
"Nggak pamit?" kali ini wajah muram Mitha sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Abi. Pria paruh baya itu menarik Mitha menjauh dari pintu kamarnya menuju ruang makan.
"Kalian bertengkar?" Mitha hanya diam dan menundukkan kepalanya.
"Jawab papa Mith." tekan Abi dengan nada kesal. Mitha selalu saja begitu, memilih diam saat ada satu hal yang bertentangan dengan keinginannya.
"Kak Elang ingin aku berhenti kerja dan fokus ke mama pa." suara pelan sedikit bergetar itu menyadarkan Abi jika putri kesayanganya itu sedang menangis. Berlahan dia memeluk Mitha yang langsung tersedu dalam pelukannya.
"Mitha harus apa pa?"
" Diam dulu Mitha. Duduk. Papa mau bicara." Abi mendudukkan putrinya di kursi ruang makan sedang dia memilih menarik kursi lain dan duduk di depannya. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Kau masih ingin bekerja meski Elang melarangmu?" tak ada jawaban. Andai papanya tau jika jawaban Mitha adalah iya. Dengan bekerja dia bisa punya banyak teman yang tulus dan melihatnya sebagai orang biasa, bukan anak pengusaha kaya raya, meski bukan itu kenyataanya. Dia hanya anak haram mereka. Tapi Mitha sudah mulai berdamai dengan takdirnya. Apapun statusnya di dalam keluarga Abimana, dia akan tetap menerimanya sebagai bentuk bakti pada kedua orang tua yang sudah berbaik hati membesarkannya. Dari bekerja pula dia tau betapa berartinya selembar uang bagi orang lain diluar sana meski dalam nominal kecil sekalipun. Bekerja membuatnya tau arti berjuang.
"Dengarkan papa Mith. Surga seorang istri itu berada pada ridho suaminya, bukan pada kami orang tuamu. Kau tinggal menurut padanya, menjalankan kewajibanmu padanya dan menganggap semua salah dan khilafnya adalah cobaanmu untuk sampai ke jannah. Yang Elang minta tidak salah. Dia hanya ingin kau fokus ke mama. Seperti papa yang meninggalkan kantor demi mama juga. Papa ingin menghabiskan waktu terakhir bersama mama nak." Mata Abi berkaca. Dengan cepat pria paruh baya yang masih terlihat tampan diusianya itu menyeka air matanya.
"Elang hanya biasa bicara dengan gaya bahasanya. Percayalah, dia pria yang baik. Pria yang akan melindungimu juga marwahmu. Apa papa perlu memohon padamu?"
"Tidak pa, Mitha akan berhenti hari ini juga." pungkas Mitha cepat. Dia tidak akan tega menyakiti siapapun, apalagi papanya. Pria yang selalu melindunginya, memberinya banyak cinta dan mengajarkan dia banyak hal tentang kehidupan.
"Bagus nak. Papa bangga padamu. Sekarang bawa mama keluar untuk sarapan." Mitha mengangguk, gadis cantik itu berjalan ke kamar sang mama.
"Mitha. Mama disini." panggil Maria saat tau anak gadisnya memasuki kamarnya. Rupanya dia berada di balkon pagi itu. Mitha segera menghampirinya dan mencium pipi Maria penuh kasih. Hampir saja air matanya jatuh bila tak ingat pesan sang papa. Kondisi mamanya benar-benar memprihatinkan dengan tubuh kurus, mata cekung dan bibir pucat walau sama sekali tak menghilangkan garis kecantikan diwajahnya.
"Sarapan yuk ma. Mitha buatin susu buat mama. Udah di tunggu papa dimeja makan." lembut gadis itu mendorong kursi roda Maria keluar.
Papanya bukan hanya pria yang lembut dan setia, tapi juga sangat mencintai sang mama. Dia yang mengurus semua kebutuhan istrinya mulai mandi hingga hal lainnya. Dia tidak ingin Maria disentuh siapapun selain dirinya. Pria yang tegar, pria yang selalu membungkus tiap kesedihannya dalam senyuman dan tawa. Apa ada pria di dunia ini yang seperti papanya?
"Elang mana Mith?" Maria sibuk mencari putranya karena hanya Abi dan Mitha yang ada disana.
"Sudah berangkat ma, ada meeting hari ini. Papa nggak mungkin datangkan? hari ini mama ada jadwal kemo." Kali ini Abi menjawab cepat sebelum Mitha bingung menjawab pertanyaan mamanya. Anak gadis mereka tak pintar berbohong.
"Nggak sempat sarapan? itu kopinya belum diminum juga." desak Maria heran.
"Ini salah Mitha ma, tadi lupa bangunin kak Elang. Makanya kesiangan dan nggak sempat sarapan."
"Kalau begitu bikin bekal dan antarkan ke kantor papa. Elang nggak bisa telat makan Mith."
"Tapi ma...."
"Buat saja Mith, biar nanti mang Asep yang antar ke kantor sekalian ngantar kamu ke kampus." putus papanya kemudian, membuat Mitha bisa bernafas lega.
Mereka mulai sarapan. Abi menyuapi Maria hingga bubur dalam mangkoknya tandas, pria itu juga dengan telaten memaksa istrinya minum susu. Ponsel dalam saku Mitha berdering hingga membuat gadis itu menghentikan pekerjaannya. Gea??
"Hallo Ge? ada apa?" tanya Mitha heran. Tak biasanya sepagi ini sahabatnya menelepon.
"Mith, maaf ya..aku hanya menyampaikan pesan ibu. Sementara ini kamu berhenti ngajar anak-anak dulu hingga dibutuhkan lagi." degh....kenapa tiba-tiba?
"Kok mendadak sih Ge? ada apa sih?" Mitha sangat penasaran. Dia sangat tau Tk itu kekurangan tenaga pengajar, tapi kenapa malah menyuruhnya berhenti?
"Guru yang dulu cuti melahirkan udah balik lagi Mith. Maaf ya...aku benar-benar hanya menyampaikan pesan ibu." Mitha tau jika Gea pasti tidak enak hati mengatakan berita buruk itu padanya.
"Enggg....nggak apa-apa kok Ge. Aku ngerti. Selow aja beib." canda Mitha tak ingin sahabatnya itu banyak berpikir.
"Tapi kapan-kapan kita bisa ketemuan kan?"
"Ya bisalah. Tinggal telepon dan gabungin Zahra aja kan?"
"Oohhh oke. Kalau gitu kututup dulu ya Mith. See you."
Mitha kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan bekas makan dan membuat bekal dalam kotak makan untuk Elang sesuai perintah sang mama saat ponselnya kembali berdering. Bu Brina, pemilik toko roti tempatnya bekerja.
Huuffttt...ada apa lagi ini??.... Batin Mitha kesal.
"HallobSelamat pagi bu." sapanya ramah.
"Pagi mith."
"Ada apa ya bu?"
"engg ...gini Mith, sementara ini kamu berhenti kerja dulu ya. Toko lagi sepi, ibu terpaksa harus ngurangin tenaga kerja jadi satu shift saja. Kamu kan mahasiswi, jadi nggak bisa masuk full time. Jadi maaf, ibu berhentikan kamu sementara hingga toko kembali stabil." kali ini jantung Mitha benar-benar berdetak tidak normal. Tadi Gea yang telepon agar dia berhenti mengajar, sekarang bu Brina juga memberhentikannya dengan alasan tidak masuk akal. Mitha tau toko sedang dalam kondisi baik-baik saja. Sangat rame malah. Tapi bosnya itu mencari alasan yang sangat tidak masuk akal seolah dia tak tau apa-apa. Pasti ini semua dada kaintannya dengan Elang."