Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Hubunganmu Dengan Puteraku?
Untuk beberapa saat, baik ibu Bima atau Seruni, belum ada yang berbicara. Mereka masing-masing sibuk dengan pikiran. Mungkin, sibuk pula untuk merangkai kata apa yang pas dengan pertemuan mendadak ini.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Seruni memecahkan keheningan yang sempat menyergap.
"Sebelumnya, aku ingin mengucapkan belasungkawa terhadap kematian ibumu. Aku turut berdukacita."
"Terima kasih." Seruni membalas singkat. Ia yakin seratus persen, kedatangan orang kaya itu tak serta merta ingin hanya berbelasungkawa.
"Kau masih tinggal di sini? Maksudku, apa kau ..."
"Aku pulang hanya untuk acara tujuh hari kematian ibuku, Nyonya. Setelah ini, rumah ini mungkin akan aku jual. Aku akan kembali ke Jakarta." Tak bermaksud menyela, tapi Seruni yakin itulah yang akan ditanyakan oleh istri juragan kaya raya itu.
"Berarti benar kata puteriku, kau merantau ke Jakarta sama seperti Bima."
"Tentu berbeda, Nyonya. Mungkin kotanya sama, tetapi jelas tempatnya berbeda, sangat kontras. Saya hanya orang biasa jelas berbeda dengan putera Nyonya."
Seakan tahu lagi apa yang sedang dipikirkan oleh ibu Bima, Seruni kembali membuat perempuan itu mengangguk.
"Baiklah, kau cukup cerdas ternyata, Seruni. Aku tahu denganmu, hanya sekilas, karena dulu ibumu pernah bekerja di perkebunan suamiku. Dan aku baru sekali ini melihatmu dalam jarak yang cukup dekat."
"Nyonya ... Tolong, sudahi basa basi ini. Katakan saja apa yang ingin Nyonya sampaikan. Sungguh, aku tak bermaksud menyela, tapi bagaimanapun, bukan tak ada tujuan tertentu saat ini Nyonya datang ke sini. Lebih baik Nyonya katakan langsung."
Nyonya Tono diam sesaat. Ia pikir, Seruni adalah gadis pendiam yang tak akan banyak bicara apalagi bisa berkata setegas itu. Nyatanya dia berhadapan dengan perempuan yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, meski Seruni berkata dengan pelan, tapi makna kata-katanya begitu tegas seolah tak dapat dibantah.
"Baiklah, Seruni. Aku hanya ingin tahu ada hubungan apa antara kau dan puteraku? Aku kira kedatangan Bima kembali ke desa karena dia betulan ingin berlibur dan rindu keluarganya, tetapi ternyata dia sering kemari. Dia sering menemuimu."
"Nyonya benar, terlepas dari apapun kepentingan Bima ke desa ini, tapi hampir setiap hari dia selalu datang ke gubuk ini. Meski aku tidak pernah menggubris meski aku tak pernah berharap dia akan datang. Jadi jelas, aku dan Bima tak ada hubungan apapun. Nyonya tenang saja, aku bukan ancaman untuk keluarga kalian. Aku tak sepadan dengan keluarga Nyonya. Dan mungkin, Nyonya bisa menasehati Bima untuk berhenti menggangguku. Jadi rubah pemikiran Nyonya juga orang-orang terdekat Nyonya, bukan aku yang mengganggu Bima tapi putera Nyonyalah yang selalu datang kepadaku."
Nyonya Tono terdiam seribu bahasa sesaat, ia sendiri seperti kehabisan kata-kata.
"Orang-orang terdekatku?"
"Ya, Laras. Aku tahu dia yang mengadukan hal-hal yang tidak-tidak tentangku kepada Nyonya. Sayang sekali, seorang dengan pangkat dan seragam yang dihormati, sebagai seorang pegawai negeri sipil yang terpandang di kampung ini, Laras gagal menjaga kata-kata yang keluar dari mulutnya tentangku."
"Hei, jangan bicara begitu tentang puteriku! Dia tidak pernah asal bicara!"
"Apa menuduhku sebagai seorang pelac*r hanya karena aku merantau dan berpakaian lebih layak sekarang adalah hal yang pantas dikatakan seorang berpendidikan seperti Laras?"
Kali ini nyonya Tono diam lagi. Benar, kata Laras, Seruni menggoda Bima, kata Laras, Seruni seorang pekerja **** komersial di kota.
"Baiklah, aku rasa pembicaraan kita sampai di sini. Aku hanya ingin kau menjauhi puteraku karena selain kita tidak sama, dia juga sudah punya calon istri yang sepadan dengan keluarga kami."
Lalu nyonya Tono melangkah, menuju mobil dengan supir yang sudah menunggunya.
"Harusnya kau yang bilang kepada puteramu agar jangan lagi menghantui aku!" desis Seruni pelan lalu berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Ia menarik nafas panjang, sedari dulu cobaan terbesar dalam hidup Seruni memang Bima. Ya, Bima!
***
Kepulangan Seruni kembali ke Jakarta ternyata harus tertunda beberapa hari. Dia harus mengurus penjualan rumah. Seorang tetangga bersedia membeli rumah itu. Jadi butuh beberapa hari bagi Seruni untuk kembali lagi ke Jakarta.
Saat itu, hujan kembali turun. Seruni yang sedang berada di dalam angkutan umum terpaksa berjalan menuju ke rumahnya karena ban angkot tiba-tiba saja bocor. Sialnya, Seruni harus berhenti lagi di rumah tak berpenghuni itu untuk berteduh.
Ternyata saat itu ia tak sadar bahwa Bima juga sedang berteduh, Seruni baru melihat ada motor di samping bangunan itu. Hampir saja Seruni ingin melangkah keluar tetapi Bima menahannya.
"Hujan, Run, berteduhlah dahulu."
"Menjauhlah dariku, Bim. Aku selalu teringat kenangan menyakitkan itu setiap kali melihatmu. Apalagi di tempat ini!"
Dingin nada suara Seruni membuat Bima menggeser tubuhnya. Ia tidak ingin, Seruni nekat menerobos hujan karena terjebak lagi bersamanya di kala hujan seperti ini. Suasana desa itu memang sepi, apalagi saat hujan begini, kendati hari masih petang.
Seruni menoleh sebentar, kepada bilik bambu yang masih ada. Matanya tiba-tiba memanas. Namun, Seruni secepat mungkin mencegah agar airmatanya tak jatuh.
Lalu ketika hujan mulai mereda, Bima mengajak Seruni untuk naik ke motornya.
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Seruni dingin.
Bima tak mau memaksa, meski ia ingin sekali mengantar Seruni untuk pulang. Namun, sepertinya, pintu hati Seruni memang sudah tertutup rapat untuknya. Tapi Bima kembali turun dari motornya, ia membuka jaket lalu mendekati Seruni, menyampirkannya di bahu Seruni. Seruni mendongak, hampir saja lolos airmata ketika memandang Bima lagi. Sesungguhnya, rasa itu masih ada, sungguh masih ada. Tapi kebencian Seruni sekarang mengambil peran yang lebih besar.
Bima kembali ke motornya dan Seruni membiarkannya pergi. Seruni mau tak mau merapatkan jaket itu sebab dingin mulai menyerangnya. Lalu pandangan Seruni menangkap jam tangan Bima yang kembali tertinggal, mungkin karena sempat basah jadi dia mengeringkannya dengan menggantungnya.
Seruni meraih jam tangan itu lagi. Tak ada yang terjadi dengannya dan Bima barusan, tapi benda itu kembali lagi ke tangannya.