"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 19 - Alasan Mengirim Chat
"Pak? Apa Bapak sudah tidur? Bisakah Bapak menemani saya?"
Hanya perlu sedetik untuk membuat pesan itu terkirim. Aku membaca pesan itu lagi. Membaca kalimatnya satu-persatu. Selintas kesadaran datang.
Astaga!! Bodoh sekali diriku!! Mengapa aku mengirim pesan seperti ini? Terkesan seperti wanita penggoda!! Sangat tidak etis!!
Aku menggelengkan kepala dan mencoba menghapus pesan itu dengan cepat. Terlambat! Pesan itu telah centang biru, yang menandakan si penerima telah membacanya!!
"Gawat!! Gawat!! Pak Armand udah baca!! Gimana ini?!!" Secara spontan aku turun dari tempat tidur dan mulai berjalan hilir mudik di ruang dengan luas 28 meter persegi itu.
Aku menggigit-gigit bibir. Sejenak rasa takut hilang, digantikan rasa panik membayangkan reaksi Pak Armand.
Sedetik, dua detik. Sudah semenit, namun balasan yang kubayangkan akan segera kuterima tak kunjung datang. Nyatanya, pesan itu hanya dibaca. Tak ada balasan. Apa yang dipikirkan beliau ketika membaca pesanku?! Akankah beliau menganggapku sedang berusaha menggoda?
Aku mulai menggigiti kuku sembari menatap benda berbentuk persegi panjang itu. Sesekali terdengar bunyi gemeretak gigi yang beradu. Kebiasaan yang sulit dihilangkan ketika rasa gugup datang.
Beberapa kali aplikasi chat itu kubuka tutup untuk memastikan ada tidaknya pesan masuk. Namun tetap nihil.
Ah, mungkin beliau tidak membacanya. Mungkin beliau sudah tidur dan terbangun sekilas mendengar bunyi ponsel. Mungkin setelahnya beliau tidur lagi dan melupakan pesan yang telah terbaca. Ya, mungkin seperti itu.
Aku menghapus pesan itu. Hembusan napas lega meluncur begitu saja. Rasa panik mengalihkanku dari rasa takut, sehingga tanpa sadar tubuhku kembali ke tempat tidur.
Belum semenit punggungku menyentuh hamparan empuk kasur ketika kudengar suara familiar tengah memanggil.
"Ar? Arsha?"
Aku tahu pemilik suara itu. Suara bariton dengan nada rendah yang seksi. Suara yang mampu membuat bulu kudukku merinding. Bukan karena takut, tapi karena getaran yang tak mampu kubendung.
"Arsha? Ar?!"
"Ah, iya Pak!" Penekanan dalam nada suaranya membuatku terkesiap sehingga tanpa sadar bibir ini menjawab.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya suara itu lagi. Menurutku sangat tidak sopan bila menjawab pertanyaan itu sembari berbaring sehingga aku memutuskan untuk turun dari ranjang dan menemui Pak Armand.
Setiap langkah kaki yang mendekatkanku padanya, membuatku memeras otak. Berpikir, alasan bagus apa yang akan kugunakan nantinya?
Sampai di depan pintu penghubung, alasan itu tak kunjung kudapatkan. Kutarik napas dalam-dalam. Mengeratkan genggaman tangan. Tersenyum lebar. Memasang tampang sepolos mungkin. Dan, kubuka pintu itu lebar-lebar.
"Ya, Pak?"
Ah, seperti biasa. Mata ini langsung terpana. Mengapa pria ini terlihat selalu bersinar? Padahal dia hanya memakai baju setelan training berwarna hitam. Bersandal jepit. Rambut acak-acakan dengan mata merah. Ciri khas orang yang baru saja terbangun dari tidur. Namun, Pak Armand tetap terlihat luar biasa tampan.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Y-ya?"
"Kamu mengirim chat ini." Pak Armand mengangkat ponsel dan menunjukkan chat yang telah kuhapus. "Tadi ada chatmu. Sebelum ditarik."
"C-chat? Ah, chat yang itu? Ah, i-itu ...."
"Kamu memintaku untuk menemanimu. Apa ada masalah?" Beliau bertanya sembari melayangkan pandang ke area kamar. Dalam waktu dua detik, penglihatannya telah memindai semua penampakan yang terlihat.
"Mana teman sekamarmu?" lanjutnya. Kali ini tatapannya menghujam. Membuatku tak kuasa untuk membalas.
"Ah. Dia belum datang, Pak ...."
Hening dua detik. Sepertinya beliau tengah menarik kesimpulan dari apa yang dilihat. Aku memeras otak untuk mencari-cari alasan. Harga diriku akan terluka bila beliau tahu alasan sebenarnya.
"Jadi, ini alasanmu mengirim chat seperti itu?"
***
Happy Reading 🙏🙇♀️