NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Kecurigaan yang Tumbuh

Fatimah mematung di ambang pintu, menyadari bahwa penyamarannya kini berada di ujung tanduk karena ingatan tajam pria yang diselamatkannya. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah dentumannya bisa terdengar oleh Arfan yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Keheningan malam di rumah panggung itu mendadak terasa begitu menindas, hanya menyisakan suara deru angin yang menggoyahkan dahan-dahan bakau.

"Harum melati ini tidak mungkin salah, Fatimah. Hanya ada satu orang yang memakai minyak wangi dengan aroma sedalam ini," ucap Arfan dengan suara yang rendah namun sarat akan tuntutan.

Fatimah menarik napas panjang, mencoba menstabilkan getaran di tangannya sebelum berbalik perlahan. Di bawah temaram cahaya lampu minyak yang dibawa Baskara, mata Fatimah yang terbingkai cadar menatap lurus ke arah Arfan. Ada kilat keteguhan yang dipaksakan muncul, meski di dalam hatinya ia sedang menyusun ribuan benteng pertahanan.

"Dunia ini luas, Tuan Arfan, dan bunga melati tumbuh di mana saja. Mungkin saja ingatanmu sedang mempermainkanmu karena rasa sakit di bahumu itu," jawab Fatimah dengan nada sedatar mungkin.

Arfan tidak lantas percaya begitu saja, ia melangkah maju dengan tertatih, mengabaikan rintihan dari luka tembaknya. Ia memicingkan mata, berusaha mencari celah di balik kain hitam yang menutupi seluruh wajah wanita di hadapannya. Baskara yang menyadari ketegangan itu segera meletakkan lampu minyak di meja kayu yang berdebu, mencoba menengahi keadaan sebelum rahasia besar meledak di sana.

"Arfan, kau butuh perawatan medis sekarang, bukan sesi interogasi yang tidak masuk akal," tegur Baskara sambil memegang pundak sahabatnya.

"Interogasi ini sangat masuk akal bagi orang yang kehilangan separuh jiwanya, Baskara. Harum ini adalah identitas," balas Arfan tanpa melepaskan pandangannya dari Fatimah.

"Tuan Arfan, silakan duduk atau kau akan kehilangan lebih banyak darah di lantai ini," potong Fatimah sambil menunjuk kursi rotan yang tua.

Fatimah segera bergerak menuju dapur kecil yang hanya berisi tungku tanah liat dan beberapa alat masak yang sudah berkarat. Ia mengambil kain bersih dari dalam tas kainnya, lalu menuangkan air hangat yang baru saja disiapkan oleh nelayan tua tadi. Tangannya bergerak sangat terampil, menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya ia berurusan dengan luka dan situasi yang genting.

"Siapa sebenarnya kau, Fatimah? Mengapa tangan seorang gadis panti asuhan bisa begitu tenang menghadapi peluru dan darah?" tanya Arfan saat Fatimah mulai membersihkan pinggiran lukanya.

"Hidup di jalanan mengajarkan banyak hal yang tidak ada di dalam buku hukummu, Tuan Arfan," sahut Fatimah tanpa sedikit pun mendongak.

"Jangan gunakan penderitaan sebagai topeng untuk menutupi siapa dirimu yang sesungguhnya. Aku bisa melihat caramu bergerak, itu bukan cara gerak rakyat jelata," cecar Arfan lagi, kali ini dengan nada yang lebih tajam.

Fatimah terhenti sejenak, ujung kain yang basah itu tertahan di atas kulit bahu Arfan yang memerah akibat peradangan. Ia menyadari bahwa setiap kata yang ia ucapkan justru menjadi umpan bagi kecurigaan Arfan yang sangat cerdas. Sebagai seorang pengacara, Arfan memang dilatih untuk melihat anomali dalam setiap perilaku manusia, dan Fatimah adalah anomali terbesar yang pernah ia temui.

"Jika aku memang menyembunyikan sesuatu, bukankah seharusnya kau bersyukur karena rahasia itu yang menyelamatkan nyawamu tadi?" Fatimah balik bertanya dengan suara yang tetap lembut namun tajam.

"Aku berterima kasih untuk nyawaku, tapi aku tidak suka berhutang budi pada sebuah teka-teki yang bisa saja menusukku dari belakang," Arfan mendesis sambil menahan perih saat Fatimah menekan lukanya.

"Percayalah, musuhmu adalah mereka yang ada di luar sana, bukan wanita yang sedang mengobati lukamu saat ini," ujar Fatimah sambil mulai membalut luka itu dengan rapi.

Baskara yang sedari tadi berjaga di dekat jendela kayu mulai merasa tidak tenang dengan situasi di luar rumah panggung itu. Ia melihat beberapa sorot lampu senter bergerak jauh di seberang hutan bakau, menandakan bahwa para pengejar tidak benar-benar menyerah. Keadaan menjadi semakin rumit karena mereka terjebak di antara kecurigaan internal dan ancaman maut dari pihak eksternal yang terus membayangi.

"Kita tidak punya banyak waktu untuk berdebat soal minyak wangi. Mereka mulai menyisir pinggiran rawa kembali," lapor Baskara dengan suara yang mendesak.

"Berapa banyak orang yang tersisa di sana, Baskara?" tanya Arfan sambil mencoba menggerakkan lengannya yang baru saja dibalut.

"Sulit dipastikan, tapi aku melihat setidaknya dua perahu motor sedang menuju ke arah teluk ini," jawab Baskara sambil mengokang senjatanya.

Fatimah segera merapikan peralatan medisnya dan menatap Arfan dengan pandangan yang penuh dengan keputusan yang sulit. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa ia tidak berbahaya adalah dengan membawa Arfan ke tempat yang paling tidak terduga. Sebuah tempat yang bahkan ayahnya sendiri pun tidak akan pernah berani menjamahnya, yaitu sebuah gua tersembunyi di balik akar bakau purba.

"Ikuti aku, ada sebuah celah di bawah lantai rumah ini yang langsung menuju ke akar bakau paling dalam," perintah Fatimah sambil mulai menggeser sebuah peti kayu tua.

"Kau tahu setiap jengkal tempat terpencil ini, seolah-olah kau sudah menyiapkan pelarian ini sejak lama," komentar Arfan sambil berdiri dengan bantuan Baskara.

"Karena aku memang selalu dalam pelarian, Tuan Arfan. Sekarang diam dan turunlah jika kau masih ingin melihat matahari besok," tukas Fatimah dengan tegas.

Mereka merangkak turun ke dalam ruang sempit yang dipenuhi oleh bau air payau dan lumut yang sangat menyengat hidung. Fatimah memimpin di depan dengan sebuah senter kecil yang sinarnya hanya cukup untuk menerangi langkah kaki mereka agar tidak terperosok ke lumpur dalam. Arfan terus memperhatikan gerak-gerik Fatimah dari belakang, mencoba menemukan kepingan kepingan teka-teki yang tercecer di antara akar-akar bakau yang melilit.

"Harum itu mulai menghilang, tapi aura kepemimpinanmu semakin nyata, Zahra," bisik Arfan secara tiba-tiba, menggunakan nama asli Fatimah.

Langkah kaki Fatimah terhenti seketika, bahunya menegang, dan napasnya tertahan di kerongkongan mendengar nama itu disebut kembali. Nama yang sudah ia kubur sedalam-dalamnya di bawah kain cadar dan identitas palsu yang ia bangun dengan penuh air mata. Arfan bisa merasakan guncangan kecil pada tubuh wanita di depannya, sebuah bukti fisik bahwa panahnya telah mengenai sasaran dengan sangat teliti.

"Mengapa kau diam? Apakah namamu terlalu berat untuk kau akui sendiri di depan pria yang mencarimu?" tanya Arfan lagi, kini suaranya terdengar sangat dekat di telinga Fatimah.

"Kau salah orang, Tuan Arfan. Zahra yang kau cari mungkin sudah mati di aspal malam itu," jawab Fatimah dengan suara yang bergetar namun berusaha keras untuk tetap kuat.

"Zahra tidak mati, dia hanya sedang bersembunyi di balik kain hitam ini sambil menungguku untuk menemukannya," balas Arfan dengan nada yang penuh dengan keyakinan yang menakutkan.

Tepat saat Fatimah hendak membalas ucapan itu, sebuah ledakan keras mengguncang rumah panggung di atas mereka, mengirimkan serpihan kayu yang terbakar jatuh tepat ke arah tempat persembunyian mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!