Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal yang Sulit
Mentari pagi Surabaya menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Abi. Kamar itu terasa familiar, namun juga terasa asing. Ia sudah lama tidak merasakan suasana rumah orang tuanya. Sejak malam di mana Andini dengan tegas memilih Pramudya, Abi memilih mengurung diri di kamar, menghindari tatapan iba atau pertanyaan yang menyakitkan.
Duduk di tepi ranjang, Abi menghela napas panjang. Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Andini, senyumnya, tawanya, dan semua kenangan indah yang pernah mereka bagi. Namun, ia tahu, ia harus menerima kenyataan. Andini bukan miliknya. Andini memilih Pramudya.
Suara ketukan pelan di pintu mengagetkannya. "Mas Abi? Sudah bangun, Nak?" Suara ibunya terdengar lembut dari balik pintu.
Abi menghela napas. "Sudah, Bu. Sebentar lagi Abi keluar," jawabnya dengan suara serak.
Ia tahu, ibunya pasti khawatir. Selama beberapa hari terakhir, ia hanya keluar kamar untuk makan dan ke kamar mandi. Ia menghindari interaksi dengan keluarganya, merasa malu dan bersalah atas apa yang terjadi.
Setelah merapikan diri seadanya, Abi keluar dari kamar. Ia melihat ibunya sedang menyiapkan sarapan di dapur. Aroma kopi dan nasi goreng memenuhi ruangan.
"Sini, Nak, sarapan dulu," kata ibunya sambil tersenyum. Senyum yang berusaha terlihat cerah, namun Abi bisa melihat jejak kekhawatiran di matanya.
Abi duduk di meja makan dan mulai menyantap nasi goreng. Ibunya duduk di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh kasih.
"Ibu tahu kamu sedang sedih, Nak," kata ibunya lembut. "Tapi jangan terlalu lama meratapi nasib. Hidup harus terus berjalan."
Abi hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
"Kamu masih punya Warna Warni Nusantara," lanjut ibunya. "Kamu masih punya para pengrajin yang membutuhkanmu. Jangan sia-siakan kesempatan itu."
Kata-kata ibunya menyentuh hatinya. Abi menyadari bahwa ia tidak boleh menyerah. Ia masih memiliki tanggung jawab terhadap Warna Warni Nusantara dan para pengrajin. Ia tidak boleh mengecewakan mereka lagi.
Setelah sarapan, Abi memutuskan untuk mengunjungi kantor Warna Warni Nusantara. Ia sudah lama tidak ke sana. Ia merasa malu dan bersalah. Ia takut bertemu dengan Andini dan Pramudya.
Namun, Abi memberanikan diri untuk datang. Ia tahu, ia harus menghadapi mereka. Ia harus meminta maaf atas semua kesalahannya.
Sesampainya di kantor, Abi melihat Andini dan Pramudya sedang sibuk bekerja. Mereka tampak terkejut melihat kedatangannya.
"Abi? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Andini dengan nada hati-hati.
"Aku... aku hanya ingin meminta maaf," jawab Abi dengan suara yang bergetar. "Aku tahu, aku sudah melakukan banyak kesalahan. Aku sudah menyakiti kalian dan para pengrajin. Aku sungguh menyesal."
Andini dan Pramudya saling berpandangan. Mereka bisa melihat ketulusan di mata Abi.
"Aku memaafkanmu, Kak," kata Pramudya dengan lembut.
"Aku juga," timpal Andini.
Abi merasa lega mendengar kata-kata maaf dari Andini dan Pramudya. Ia merasa beban berat yang selama ini membebani pundaknya akhirnya terangkat.
"Aku ingin membantu kalian," kata Abi. "Aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi Warna Warni Nusantara, jika kalian mengizinkan. Aku tahu, aku sudah banyak mengecewakan, tapi aku berjanji akan melakukan yang terbaik untuk membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan kedua... bukan sebagai kekasih Andini, tapi sebagai rekan kerja dan sahabat."
Keheningan menyelimuti ruangan. Andini dan Pramudya saling bertukar pandang, mempertimbangkan kata-kata Abi. Di mata mereka, Abi melihat penyesalan yang tulus dan keinginan untuk berubah. Keputusan ada di tangan mereka, dan Abi hanya bisa menunggu dengan harapan.
Keheningan menggantung di ruang kantor Warna Warni Nusantara, seolah menunggu petir menyambar. Abi menahan napas, menunggu jawaban Andini dan Pramudya. Detik-detik berlalu terasa seperti berabad-abad.
Andini akhirnya memecah keheningan. "Bi, aku menghargai permintaan maafmu," ucapnya dengan nada serius. "Aku juga menghargai niatmu untuk membantu Warna Warni Nusantara. Tapi, aku tidak bisa begitu saja melupakan apa yang sudah terjadi."
Abi mengangguk, mengerti. "Aku tahu, Andini. Aku tidak mengharapkan itu."
"Aku bersedia memberikanmu kesempatan," lanjut Andini. "Tapi, dengan satu syarat: kamu harus membuktikan bahwa kamu benar-benar berubah. Kamu harus menunjukkan itu dengan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata."
Pramudya mengangguk setuju. "Aku sependapat dengan Andini. Kami akan memberikanmu kesempatan, Kak. Tapi, kamu harus tahu, aku akan mengawasimu dengan cermat. Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Andini atau merusak Warna Warni Nusantara lagi."
Abi menatap mata Andini dan Pramudya bergantian. Ia melihat ketegasan dan ketidakpercayaan di mata mereka. Ia tahu, ia harus bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan mereka.
"Aku mengerti," jawab Abi dengan suara mantap. "Aku bersedia melakukan apa saja untuk membuktikan diriku. Aku tidak akan mengecewakan kalian."
"Baiklah," kata Andini. "Kita mulai dari awal. Kamu akan bekerja sebagai staf biasa di sini. Kamu akan mengerjakan tugas-tugas yang sederhana dan membuktikan bahwa kamu bisa diandalkan."
Abi mengangguk setuju. Ia tahu, ini adalah langkah awal yang sulit, tapi ia bersedia menjalaninya.
"Kamu akan mulai besok," kata Pramudya. "Datanglah tepat waktu dan siap bekerja keras."
"Terima kasih," ucap Abi tulus. "Terima kasih atas kesempatan ini."
Setelah itu, Abi berpamitan dan meninggalkan kantor Warna Warni Nusantara. Ia merasa lega dan gugup pada saat yang bersamaan. Ia lega karena telah mendapatkan kesempatan untuk menebus kesalahannya, tapi juga gugup karena ia tahu perjalanan yang ada di depannya tidak akan mudah.
Andini dan Pramudya saling berpandangan setelah Abi pergi.
"Apa kamu yakin dengan keputusan ini, Din?" tanya Pramudya dengan nada khawatir.
"Aku tidak tahu, Pram," jawab Andini jujur. "Tapi aku merasa, Abi tulus dalam permintaan maafnya. Aku ingin memberikan dia kesempatan untuk membuktikan dirinya."
"Aku percaya padamu, Din kata Pramudya. "Tapi aku akan tetap waspada. Aku tidak ingin kita menyesal di kemudian hari."
"Aku juga," jawab Andini. "Kita akan awasi dia bersama-sama. Kita akan pastikan bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan lagi."
Keesokan harinya, Abi datang ke kantor Warna Warni Nusantara tepat waktu. Ia berpakaian rapi dan siap bekerja keras. Ia disambut oleh Andini dan Pramudya dengan senyum yang lebih merupakan tanda persetujuan daripada keramahan yang tulus. Tugas pertamanya adalah menyortir dan menginventarisasi stok kain batik di gudang. Tugas yang membosankan dan jauh dari keahliannya di bidang pemasaran, namun Abi mengerjakannya dengan tekun. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bersedia melakukan apa saja, tidak peduli seberapa rendah atau tidak menarik tugas itu. Di sela-sela pekerjaannya, ia mencuri pandang ke arah Andini yang sedang sibuk dengan desain baru dan Pramudya yang mengatur strategi penjualan. Hatinya berdesir, bukan karena hasrat yang belum padam, melainkan karena penyesalan yang mendalam. Ia tahu, ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membangun masa depan yang indah bersama mereka. Sekarang, ia hanya bisa berharap bisa mendapatkan kembali sebagian kecil dari kepercayaan yang telah ia hancurkan. Hari-hari berikutnya akan menjadi ujian yang berat, ujian kesabaran, ketekunan, dan yang terpenting, kejujuran pada diri sendiri.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*