NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19. MENGUSIR PREDATOR

..."Di antara aroma rempah dan luka yang belum sembuh, dua jiwa belajar: cinta sejati bukan datang untuk menyelamatkan, tapi untuk menyembuhkan."...

...---•---...

"Aku dengar kamu punya koki pribadi sekarang." Suara Rendra dari ruang tamu terdengar santai, tapi nada mengejeknya jelas. "Pemenang undian, ya? Lucu sekali. Kamu dulu selalu pilih yang terbaik, sekarang dapat yang... ekonomis."

Doni menahan amarah yang mendidih. Ia pura-pura fokus mencacah daun bawang untuk soto malam nanti, tapi telinganya menangkap setiap kata.

"Doni adalah koki yang sangat baik," suara Naira terdengar tegas, membela tanpa ragu. "Lebih baik dari semua koki yang pernah kita punya dulu."

"Oh, 'Doni' sekarang? Sudah panggil nama depan?" Rendra tertawa, suara yang membuat bulu kuduk Doni berdiri. "Hati-hati, sayang. Jangan sampai kamu salah paham lagi seperti dulu. Ingat sutradara yang kamu pikir peduli, padahal cuma mau pakai kamu buat proyek filmnya?"

Dari sudut mata, Doni melihat Naira menegakkan punggung, tidak mundur. "Rendra, langsung saja. Kenapa kamu datang ke sini?"

"Aku peduli padamu. Aku dengar kamu sekarang menutup diri total. Tidak ada yang lihat kamu keluar rumah, tidak ada proyek baru. Aku khawatir kamu depresi." Nada suaranya berubah lembut, manipulatif. "Kamu tahu, aku selalu bilang kamu terlalu emosional. Butuh seseorang yang bisa bimbing kamu, yang bisa jaga kamu dari diri sendiri."

"Aku tidak butuh perlindungan dari siapa pun. Apalagi darimu."

"Naira..." Rendra berdiri dari sofa. Doni bisa melihatnya dari celah pintu, langkah demi langkah mendekat ke arah Naira. Setiap gerakannya membuat Doni semakin tegang, siap untuk ikut campur.

"Aku tahu kita berakhir... tidak baik. Dan aku minta maaf untuk itu. Kadang aku kehilangan kontrol, tapi itu karena aku terlalu sayang."

"Itu bukan sayang. Itu kekerasan." Naira berdiri juga, menciptakan jarak. "Dan aku tidak akan dengarkan kebiasaanmu memutarbalikkan kenyataan lagi. Kamu datang, bilang apa yang mau kamu bilang, lalu pergi. Kita tidak ada hubungan lagi."

Rendra terdiam sesaat, lalu senyumnya berubah. Dari ramah jadi dingin. "Baiklah. Kalau kamu mau main keras." Ia mengeluarkan ponsel dari saku. "Aku masih punya foto-foto waktu kita nikah. Foto-foto yang... tidak akan bagus kalau sampai bocor ke media."

Doni meletakkan pisaunya. Cukup.

"Kamu mengancam aku?" Suara Naira bergetar, tapi nadanya tetap tajam.

"Aku cuma mengingatkan. Kariermu sudah hancur karena perceraian ini. Aku yang tahan media supaya tidak publikasi hal-hal tertentu. Tapi kalau kamu tidak mau kerja sama, kalau kamu tidak mau tunjukkan hubungan baik di depan publik..." Rendra biarkan ancamannya menggantung di udara.

Doni melangkah keluar dari dapur. Ratna yang berdiri di pojok ruang tamu juga bergerak, tapi Doni lebih dulu.

"Maaf mengganggu," ucap Doni tenang tapi tegas. "Nona Naira, saya perlu konfirmasi menu makan malam. Ada perubahan kebutuhan diet yang perlu saya tahu sekarang?"

Rendra menoleh, menatap Doni dari ujung rambut sampai kaki. "Ah, ini dia koki ekonomis itu. Tidak tahu sopan santun, ya, memotong pembicaraan orang?"

"Saya cuma jalankan tugas. Pastikan klien saya makan dengan baik dan tepat waktu." Doni menatap balik tanpa mundur. "Dan sepertinya sekarang waktu yang pas untuk Nona Naira istirahat dari obrolan yang... melelahkan."

Naira langsung menangkap maksudnya. "Iya, Doni. Mari kita bahas di dapur. Maaf, Rendra, sepertinya kamu harus pergi. Aku ada hal penting yang tidak bisa ditunda."

"Hal penting dengan koki?" Rendra tertawa mengejek. "Prioritas yang menarik."

"Lebih menarik daripada buang waktu dengan orang yang suka mengancam pakai foto-foto lama." Naira berjalan melewati Rendra tanpa menoleh. "Ratna, tolong antar Pak Rendra keluar."

Rendra terpaku, jelas tidak menyangka akan diusir begitu saja. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. "Kamu akan menyesal, Naira. Aku jamin."

"Satu-satunya hal yang aku sesali adalah menikah dengan kamu." Naira sudah di ambang pintu dapur, menatapnya terakhir kali. "Dan Rendra, kalau kamu berani hubungi aku lagi atau datang ke sini, aku akan lapor polisi. Aku punya bukti. Aku punya saksi. Kamu tidak bisa manipulasi aku lagi."

Ia masuk ke dapur, dan Doni mengikuti, menutup pintu di belakang mereka. Lewat kaca, mereka melihat Ratna tegas mengantar Rendra keluar. Langkah lelaki itu berat, penuh amarah.

Begitu suara mobilnya menjauh, Naira runtuh. Kakinya lemas, tubuhnya gemetar. Doni menangkap sebelum ia jatuh, menuntunnya duduk di kursi meja dapur.

"Aku di sini. Kamu aman. Dia sudah pergi." Doni berlutut di depannya, menggenggam tangan Naira yang dingin. "Kamu luar biasa tadi. Kamu tidak mundur. Kamu tidak biarkan dia pegang kendali."

"Aku masih takut... masih gemetar." Naira menangis, tapi bukan tangis kalah. Tangis lega. Tangis kemenangan kecil. "Tapi aku lakukan. Aku bilang tidak. Aku usir dia."

"Kamu lakukan, dan aku bangga sekali."

Mereka diam beberapa menit. Naira menangis dalam pelukan Doni, melepaskan ketegangan yang menumpuk. Perlahan napasnya kembali teratur.

"Terima kasih," bisiknya. "Untuk datang di waktu yang tepat. Untuk kasih aku jalan keluar."

"Kapan pun. Selalu." Doni menyeka air mata di pipinya dengan lembut. Gerakan kecil itu membuat keduanya terdiam, menyadari betapa dekat mereka, betapa rapuh tapi nyata hubungan itu.

"Doni," suara Naira pelan, "tadi kamu bilang kita akan bicara soal... perasaan, kalau aku bisa hadapi hari ini."

"Kamu bukan cuma hadapi. Kamu menang."

"Jadi kita bisa bicara sekarang?"

Doni menatap wajahnya, terluka tapi kuat, mata berair tapi penuh tekad, bibir gemetar tapi tersenyum. Ia tahu, dengan pasti yang menakutkan sekaligus melegakan, bahwa ia sudah jatuh. Sudah menyeberang batas yang tidak seharusnya. Tapi ia tidak peduli.

"Ya," jawabnya, "kita bisa bicara. Tapi tidak sekarang. Sekarang kita akan masak."

Naira mengernyit bingung. "Masak? Sekarang?"

"Sekarang." Doni berdiri, menarik Naira berdiri juga. "Terapi terbaik setelah konfrontasi adalah pakai tangan. Kebetulan aku belum ajari kamu bikin pasta dari awal."

"Pasta? Yang dari tepung dan telur itu?"

"Betul. Prosesnya butuh tenaga, tapi hasilnya memuaskan. Cocok buat salurkan sisa adrenalin." Doni mengambil apron, memberikannya pada Naira. "Percayalah, ini akan bantu."

Naira tersenyum kecil. "Sesi terapi ala Koki Doni?"

"Lebih efektif dari psikolog, dan hasilnya bisa dimakan."

...---•---...

Mereka berdiri di meja dapur dengan bahan di depan: tepung, telur, minyak zaitun, garam. Doni membentuk gunung tepung di atas meja marmer, membuat cekungan di tengah.

"Ini namanya metode sumur," jelasnya sambil memecahkan telur ke tengah. "Telur di dalam, tepung di luar. Pelan-pelan kita campur sampai jadi adonan."

Naira menatap dengan fokus. "Itu tidak tumpah?"

"Kalau hati-hati, tidak. Tapi kalau tumpah juga tidak apa. Masak itu bukan soal sempurna, tapi soal proses." Doni mulai mencampur tepung dan telur dengan garpu, gerakannya berirama. "Coba kamu di sisi ini. Pelan saja."

Naira meniru gerakannya. Awalnya canggung, tepung berantakan sedikit, tapi perlahan ia menemukan ritme. Mereka bekerja dari dua sisi, tepung dan telur menyatu jadi adonan kasar.

"Sekarang pakai tangan. Uleni." Doni mencontohkan. "Dorong, lipat, putar seperempat, ulangi. Sekitar sepuluh menit sampai halus dan elastis."

"Sepuluh menit?!" Naira mencoba dan langsung merasa adonan keras. "Ini olahraga."

"Betul. Makanya bagus untuk lepas ketegangan." Doni tersenyum. "Bayangkan semua amarah dan ketakutan. Salurkan ke adonan."

Naira mulai menguleni lebih kuat. Dorong, lipat, putar. Keringat muncul di dahinya, tapi ia tidak berhenti.

"Itu dia. Rasakan bedanya? Sekarang lebih halus?"

"Iya!" Naira tertawa kecil. "Lebih lembut, tidak berantakan."

"Karena kamu membentuk gluten. Protein dalam tepung saling terhubung, jadi elastis." Doni terus bekerja dengan gerakan mantap. "Ini meditasi. Fokusnya cuma di tangan dan adonan. Tidak ada yang lain."

Mereka bekerja dalam diam beberapa menit, hanya terdengar napas dan suara lembut adonan dipukul ke meja. Lalu Naira tertawa.

"Kenapa?" tanya Doni.

"Aku baru sadar. Setengah jam lalu aku hadapi mantan suami yang suka menyakiti. Sekarang aku di dapur bikin pasta sambil keringetan. Hidup ini aneh."

"Hidup penuh plot twist. Tapi yang penting, kita pilih fokus ke bagian mana." Doni menepuk adonannya terakhir kali, puas. "Dan kamu pilih bikin sesuatu yang indah, bukan nangis karena orang yang tidak pantas."

Naira menatap Doni, matanya lembut tapi dalam. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."

"Tidak selalu. Tapi untuk kamu, kata-kata datang lebih mudah."

Mereka terdiam. Sesuatu mengisi udara di antara mereka, hangat, tidak bernama, tapi nyata. Naira lebih dulu memecahnya, kembali ke adonan.

"Adonanku sudah halus. Sekarang apa?"

"Sekarang kita istirahatkan. Bungkus plastik, diamkan tiga puluh menit. Glutennya perlu relaks."

Setelah adonan dibungkus dan disimpan, mereka berdiri di wastafel, mencuci tangan berdampingan. Bahu mereka bersentuhan, hangat dan nyaman.

"Tiga puluh menit," kata Naira sambil mengeringkan tangan. "Kita ngapain sambil nunggu?"

"Bikin saus. Mau belajar carbonara klasik? Yang asli, bukan yang pakai krim."

"Orang Indo bikin carbonara pakai krim?"

"Sayangnya iya. Padahal yang asli cuma kuning telur, keju, beef beacon dan air pasta. Sederhana, tapi tekniknya yang penting." Doni menyiapkan bahan. "Pelajaran hidup juga: hal terbaik sering kali sederhana, cuma butuh eksekusi yang tepat."

Naira duduk di meja dapur, memperhatikan. Ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. Tidak lagi sekadar klien melihat koki, tapi lebih dalam dari itu.

"Doni," katanya pelan, "boleh tanya sesuatu yang pribadi?"

"Tentu."

"Kapan terakhir kali kamu... dekat dengan seseorang? Maksud aku, sejak Sari?"

...---•---...

...Bersambung...

1
Rezqhi Amalia
😂😂😂 jdi tahu kan😂
MARDONI: Hahaha, langsung mati kutu si Doni! 😂 Niat hati mau diem-diem perhatian, eh langsung di-spill sama orangnya.
total 1 replies
Rezqhi Amalia
fokus ya, awas salah resep😂
MARDONI: Tolong bantu pegangin tangan Doni, Kak! Takut gemeter pas masukin garem saking groginya dilihatin bidadari wkwkwk 🧂👋
total 1 replies
☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
hehehe tanda² Naira mulai nyaman sama kamu Don 😌
MARDONI: Hihihi... lampu hijau sudah menyala nih, Kak! 🚦💚
total 1 replies
Rezqhi Amalia
kata katanya bgus bngt thor🥹
MARDONI: terima kasih banyak Kak Rezqhi! 🥺❤️ Senang banget kalau kalimatnya bisa 'nyampe' ke hati
total 1 replies
☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
Luka di hati gak bisa sembuh cuma karena kita pengen cepat move on. Ada prosesnya, coba menerima, coba memahami, melepaskan, lalu pelan-pelan akhirnya pulih 🤧🤧
MARDONI: Dalem banget... 💯 Setuju Kak! Persis kayak masak sop iga, kalau dipaksa api besar malah rusak. Harus sabar dan pelan-pelan ya ❤️
total 1 replies
☕︎⃝❥⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞 ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
takut grogi ya Don 🤭 masak sambil diliatin cewek canteekk
MARDONI: Jelas dong Kak! Siapa sih yang nggak deg-degan ditatap seintens itu sama Naira? 🤭 Jantung aman, Don?
total 1 replies
ginevra
apa itu? bikin penasaran
MARDONI: Ssttt... rahasia dapur! 🤫 Yang pasti sesuatu yang bikin Doni kaget. Tunggu bab selanjutnya ya Kak, jangan sampai ketinggalan
total 1 replies
ginevra
koki spesial buat kamu yang spesial
MARDONI: Awww, sweet banget komennya!
total 1 replies
Nofiindah
Topenggg rendraaa🤬
MARDONI: Asli, Kak! 😤 Topengnya tebal banget, setebal tembok beton. Paling bahaya emang tipe yang luarnya perfect tapi dalemnya... hiii. Gedeg banget kan?
total 1 replies
Nofiindah
Doni doni sudah mulai terbawa perasaan dengan naira🤣
MARDONI: Yahhh ketahuan deh... 🫣 Padahal udah coba professional, tapi hati emang nggak bisa dibohongi ya Kak? Wkwkwk
total 1 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
Teh Jeruk Nipis Hangat Ama Madu ...👍🏻👍🏻👍🏻
MARDONI: nanti kalau Naira lagi bad mood, dia nggak salah kasih menu. Langsung sat-set seduh teh! 🤭
total 1 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
Save Catatan Memo Hehehe...🤭🤭🤭
MARDONI: Hahaha, bener banget Kak! Auto masuk folder 'Penting' di otak Doni tuh 🧠📁.
total 1 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
🥲🥲🥲🥀🥀🥀
MARDONI: Walaupun orangnya sudah pergi (seperti mawar layu), tapi warisan ilmunya 'masak pakai hati' tetap hidup di tangan Doni
total 1 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
Alhamdulillah... Akhirnya Naira Mau Makan Sampai Gak Abis Bersisa...🥺🥺
MARDONI: Plong banget rasanya ya, Kak? 😭 Akhirnya piring bersih yang kita tunggu-tunggu kejadian juga! Alhamdulillah...
total 1 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
Chef Doni Keren Bgttt...👍🏻👍🏻
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*: Hehehe...🤭🤭🤭
Makasih Thor
total 2 replies
*•.⁴♡🅰ᵞ🅤♡⁴.•*
Aduuuh... Sabaaarr Iya Chef Doni ...😩😩
MARDONI: Iya Kak... emang berat banget ujiannya Chef Doni di awal-awal ini. Untung mentalnya sekuat baja 💪🥺
total 1 replies
Iyikadin
Itu adalah aku saat ini😭
MARDONI: Semangat! ❤️"😄
total 1 replies
Iyikadin
Tapi kalau cantik tuh pengennya di pajang terus😭
MARDONI: Hahaha, dilema banget emang ya Kak!
total 1 replies
Iyikadin
Pengen punya seseorang ituuuu, ada ga ya
MARDONI: Aamiin paling kenceng! 🤲 Semoga segera dipertemukan dengan 'Doni' versi dunia nyata ya Kak.
total 1 replies
Muffin🧁
Waaahh nairaaa mulai tertarik kah ? Atauu dia mulai penasaran gimana biaa doni buat masakan persis ibunya,?
MARDONI: Hmm... penasaran sama resepnya, atau penasaran sama kokinya nih? 🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!