Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak
Bu Faizah melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah tepat di waktu istirahat. Pandangannya lalu tertuju pada Aksa. Ia baru menyadari sesuatu.
“Aksa,” panggil Bu Faizah.
Aksa menoleh.
“Kamu bukan mahasiswa kelas Sastra Bahasa Indonesia. Kenapa kamu ada di kelas ini?” tanya Bu Faizah heran.
“Di kelas ini ada seseorang yang harus saya lindungi, Bu,” jawab Aksa tenang sambil menoleh ke arah Aira.
Aira spontan ikut menoleh. Ia tidak marah—justru malu. Pipinya memerah.
“Ciee… ciee…” sahut seisi kelas kompak.
Sementara itu, Rayhan hanya menunduk, menahan rasa cemburu yang menyesak di dadanya.
“Siapa pacarnya Aksa?” tanya Bu Faizah penasaran.
“Aira!” jawab beberapa mahasiswa hampir bersamaan.
Di sudut kelas, Gina mengepalkan tangannya.
Nyebelin banget. Baru sebentar aja Aira udah jadian sama Aksa? Nggak bisa. Nggak boleh. Aksa harus jadi milik gue. Bukan Aira, bukan siapa pun, batin Gina penuh amarah.
“Aira, kamu hebat ya,” ujar Bu Faizah tersenyum. “Bisa menaklukkan cowok sedingin es batu seperti Aksa sampai luluh begitu.”
Aira tersenyum malu-malu.
“Aira itu berbeda dari yang lain, Bu. Dia jauh berbeda,” ujar Aksa mantap.
Ucapan itu membuat suasana kelas semakin ramai. Banyak yang akhirnya benar-benar mengira Aira dan Aksa menjalin hubungan asmara.
“Baiklah. Kalian bisa istirahat sekarang,” kata Bu Faizah sebelum keluar kelas.
Aira hendak berdiri, tapi Aksa sudah lebih dulu berada di samping bangkunya.
“Ayo, pacar,” ujar Aksa sambil mengulurkan tangannya.
Aira ragu sejenak, lalu menerima uluran tangan itu.
“Kamu apa-apaan sih? Kita kan nggak pernah—”
Ucapan Aira terhenti saat jari telunjuk Aksa menempel lembut di bibirnya.
“Buat ngelindungin kamu,” bisik Aksa.
Akhir-akhir ini, tanpa Aira sadari, panggilan mereka berubah. Bukan lagi lo–gue, tapi aku–kamu.
Aksa merangkul bahu Aira.
Dari kejauhan, Gina menyaksikan pemandangan itu dengan mata menyala penuh dengki.
“Liat aja, Aira. Lo boleh senang sekarang. Tapi pembalasan gue nggak bakal sesederhana ini,” gumamnya.
“Ros, ayo. Lo harus ke kamar mandi ganti baju. Robeknya kelihatan banget,” ujar Rosa.
“Oke. Untung gue bawa baju ganti,” jawab Gina.
Aira melangkah keluar kelas dengan hati ringan. Untuk pertama kalinya, Aksa memperlakukannya jauh berbeda dari awal mereka bertemu. Ada harapan kecil di hatinya—bahwa sosok pangeran dalam mimpinya mungkin memang Aksa.
Dunia sering kali jahat padanya. Tapi Aksa selalu baik.
Entah sejak kapan, Aira merasa jatuh cinta. Ia hanya belum tahu apakah perasaan Aksa sama. Yang jelas, berada di dekat Aksa membuatnya merasa aman. Bukan sekadar nyaman—tapi terlindungi.
Rayhan masih tertinggal di kelas. Kalimat pacar gue terus terngiang di kepalanya. Ia tak menyangka, Aksa mendahuluinya.
Di kamar mandi, Gina sedang berganti pakaian.
“Gin, gue tunggu lo di kantin ya,” ujar Rosa dari luar.
“Iya,” jawab Gina.
Galih yang kebetulan mendengar percakapan itu tersenyum tipis. Sebuah ide muncul di kepalanya.
Ia berdiri di pihak Aira dan Aksa.
Pelan-pelan, Galih mengunci pintu kamar mandi dari luar.
“Rasain tuh. Berani ganggu Aira,” gumam Galih sebelum pergi.
Beberapa detik kemudian, Gina menyadari pintu tak bisa dibuka.
“Hah?”
Ia panik dan mulai berteriak minta tolong.
Sementara itu, Galih sengaja menghampiri Rosa dan mengajaknya mengobrol, memastikan Rosa tidak mendengar teriakan Gina yang terjebak di kamar mandi.
“Hai, Ros. Gue boleh pinjem HP lo?” ujar Galih sambil mendekat.
“Buat apa?” tanya Rosa curiga.
“Bentar aja.”
Rosa ragu sejenak, lalu menyerahkan ponselnya. Galih langsung mengatur mode senyap, memastikan tak ada dering masuk dari Gina. Dengan cepat, ia menyimpan nomor ponselnya sendiri ke kontak Rosa.
“Nih, gue masukin nomor gue ke HP lo,” ujar Galih sambil mengembalikan ponsel itu.
Rosa tersenyum kecil. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sejujurnya, ia memang menyukai Galih, hanya saja tak pernah berani mendekat. Kini, Galih justru datang lebih dulu—sesuatu yang membuat Rosa senang sampai melupakan Gina sejenak.
“Makan bareng, bisa?” ajak Galih santai.
“Mm… bisa kok, bisa,” jawab Rosa cepat.
Duh, Gina gimana ya… tapi ya udahlah, ntar juga keluar sendiri itu anak, batin Rosa, mencoba menenangkan diri.
Akhirnya, Galih dan Rosa makan bersama. Obrolan mereka mengalir ringan, random, dan tanpa canggung. Rosa merasa nyaman—ternyata Galih seramah dan seasik ini.
Nih cewek asik juga. Cuma karena temenan sama Gina aja jadi ikutan jahat, batin Galih sambil melirik Rosa sekilas.
“Udah, kelas kita kosong ya?” ujar Galih.
“Iya. Kenapa?”
“Jalan.”
OMG… Galih langsung ngajak jalan? Demi apa… pasti gue terima, batin Rosa heboh.
“Boleh. Tapi aku kabarin Gina dulu ya, nggak enak,” ujar Rosa.
“Eh, nggak usah,” cegah Galih cepat.
“Bentar aja.”
Galih sempat pasrah. Kalau Rosa tahu Gina terkunci di kamar mandi, rencananya bisa berantakan.
Rosa menatap layar ponselnya. “Ya… HP aku mati. Habis baterai.”
Galih menahan senyum. Dalam hati, ia merasa puas—Gina akan tetap terjebak.
Ya udahlah, nanti Gina pulang sendiri. Lagian ini kesempatan emas buat gue deket sama Galih, batin Rosa, memilih mengabaikan firasat aneh di dadanya.
Gina mondar-mandir di dalam kamar mandi dengan wajah penuh amarah. Pintu masih terkunci rapat. Ia mendorong gagang pintu berkali-kali, namun sia-sia.
“Anjir… siapa sih yang ngunciin!” geramnya sambil menendang pintu.
Gina merogoh ponselnya, jarinya gemetar menekan nama Rosa.
Tak ada jawaban.
“Angkat, Ros! Angkat!” desisnya kesal.
Ia mencoba lagi. Telepon. Tetap tak diangkat. Gina beralih ke chat—pesan terkirim, tapi hanya centang satu.
“Astagaaa… Rosa ke mana sih!” Gina membanting ponselnya ke wastafel.
Perasaan panik mulai merayap. Roknya sudah diganti, tapi rasa malu dan amarah bercampur jadi satu. Keringat dingin muncul di pelipisnya.
“Biasanya lo paling cepet nyamperin gue, Ros. Sekarang malah ngilang,” gumamnya penuh dendam.
Gina kembali berteriak. “Tolong! Ada orang di luar nggak?!”
Tak ada sahutan. Lorong terasa sunyi. Jam istirahat membuat kampus sepi, dan itu justru memperparah keadaan.
“Aira… pasti ini ulah lo,” desis Gina dengan mata memerah. “Dan Aksa… gue nggak bakal diem.”
Ia menekan layar ponsel sekali lagi, mencoba menelepon Rosa untuk terakhir kali. Tetap nihil.
Kesal, malu, dan terjebak—untuk pertama kalinya, Gina benar-benar merasa sendirian.
Dan kebencian itu… semakin dalam.
Waktu berjalan tanpa terasa. Awalnya Galih hanya ingin mengalihkan perhatian Rosa agar rencananya berjalan mulus. Namun obrolan demi obrolan membuat jarak di antara mereka menghilang begitu saja. Tawa Rosa terdengar ringan, tulus—bukan tawa palsu seperti yang biasa Galih lihat saat ia bersama Gina.
Mereka berpindah tempat, dari kantin ke taman kampus, lalu duduk di bangku panjang sambil berbagi cerita. Galih mulai lupa pada niat awalnya. Ia justru menikmati kebersamaan itu.
“Lo beda ya kalau lagi nggak bareng Gina,” ujar Galih jujur.
Rosa terdiam sesaat. “Mungkin… karena gue capek harus selalu jadi versi jahat biar dianggap sejalan sama dia.”
Keduanya saling menatap. Ada perasaan asing yang perlahan tumbuh, hangat dan nyaman. Tanpa sadar, langit mulai gelap.
“Eh… udah malem,” gumam Rosa kaget.
Mereka baru berpisah saat malam benar-benar turun.
Sesampainya di rumah, Rosa langsung mencari charger. Ponselnya mati sejak sore. Begitu layar menyala, dadanya mendadak sesak.
Belasan panggilan tak terjawab dari Gina.
Puluhan pesan masuk bertubi-tubi.
Ros, gue kekunci di kamar mandi.
Serius ini bukan bercanda.
Tolongin gue, Ros.
Ros, lo ke mana?!
Wajah Rosa pucat. Rasa bersalah langsung menghantamnya.
“Ya Ampun… Gina…” gumamnya panik.
Tangannya gemetar saat mencoba menelepon Gina kembali. Tidak tersambung. Ia mencoba lagi. Tetap nihil.
“Jangan-jangan HP Gina mati… atau…” Rosa tak sanggup melanjutkan pikirannya.
Ia mondar-mandir gelisah. Kepalanya penuh kecemasan—takut, bersalah, dan menyesal.
Sementara di tempat lain, Gina masih menatap ponselnya yang kehabisan baterai.
Kini… justru Rosa yang diliputi rasa takut kehilangan temannya.
Di antara rasa bersalah yang terus menghantui Rosa dan kebencian yang membara di hati Gina, malam itu menyisakan satu kenyataan pahit—seseorang masih sendirian, ketakutan, dan terjebak.