Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Suara dering handphone berbunyi terdengar, membuat Azka yang saat ini sedang sibuk bermain game di dalam layar tablet segera mengalihkan pandangan ke arah kanan, lantas bergegas mengambil benda pipih itu dari atas meja samping tempat tidur.
Azka menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum pada akhirnya mematikan dering alarm yang masih terus berbunyi setelah melihat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Setelah mematikan alarm, Azka kembali menaruh handphone ke tempat semula, lantas buru-buru mengusap kasar wajah tampannya dan menaruh tablet di atas pangkuan.
“Gara-gara kejadian tadi malam … aku nggak bisa tidur sama sekali. Vanessa sialan … sampai kapan pun gue nggak akan pernah mau dijodohin sama lu,” gumam Azka, tanpa sadar mengepalkan kedua tangan sempurna saat bayangan akan Vanessa yang mulai melepaskan pakaian mulai masuk dan berputar-putar di dalam benaknya.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi Azka seketika teralihkan ke arah depan, kala tiba-tiba saja mendengar suara Pixel sedang mengeong sangat kencang—seolah kucing peliharaannya itu sedang berusaha membangunkannya pada pagi hari ini.
Azka dengan gerakan pelan mulai bangun dari atas tempat tidur, lalu bergegas melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kamar untuk menemui Pixel yang berada di luar sana.
Begitu membuka pintu kamar, Azka langsung menemukan sosok Pixel yang saat ini sedang duduk tepat di depan ruangan pribadinya sambil memasang ekspresi begitu sangat imut.
Melihat hal itu, membuat Azka spontan mengukir senyuman tipis penuh kebahagiaan dan sesegera mungkin berjongkok, lantas menggerakkan tangan untuk memberikan elusan lembut di punggung mungil milik Pixel.
“Tadi malam nyenyak tidurnya, Pixel?” tanya Azka dengan suara begitu sangat pelan.
Pixel mengeong seraya berjalan naik ke atas kaki kanan Azka—seolah sedang memberikan kode agar sang majikan membawanya ke atas pangkuan.
Menyadari akan hal itu, Azka spontan terkekeh pelan, lalu tanpa aba-aba segera mengangkat Pixel dan menggendongnya, sebelum melangkahkan kaki menuju ruangan makan untuk mengambil makanan buat sang kucing peliharaan.
Azka berjalan pelan menuju ruangan makan sambil tetap menggendong Pixel dengan satu tangan. Bulu halus kucing itu terasa sangat hangat di lengannya, memberikan sedikit ketenangan setelah malam yang benar-benar menguras emosi serta pikiran.
Pikiran Azka masihlah sangat berantakan—tentang Aira, tentang mimpinya, serta tentang kehadiran Vanessa secara tiba-tiba yang begitu sangat membuat mood-nya menjadi rusak.
Begitu tiba di dekat meja makan, Azka secara perlahan-lahan menurunkan Pixel ke lantai, lantas segera melangkahkan kaki menuju salah satu lemari tempat makanan kucingnya berada.
“Sabar, ya … Papa ambilin dulu,” ucap Azka secara refleks—dan detik berikutnya, dirinya langsung melebarkan mata dengan tubuh mematung seketika saat menyadari akan hal itu, “Papa?”
Azka menahan napas, menatap Pixel yang saat ini sedang berjalan mondar-mandir di area mangkuk makanannya sambil mengeong dengan nada sangat manja. Kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, sama persis seperti yang terjadi di dalam mimpinya dua hari lalu.
“Udahlah … cuma kebiasaan gara-gara mimpi aneh itu. Nggak usah dibawa serius.” Azka buru-buru menggelengkan kepala—berusaha membuang pikiran itu—lantas segera meraih wadah makan khusu Pixel, dan mulai menuangkan makanan ke dalam mangkuk perak kecil itu, sebelum mendorongnya ke arah sang kucing.
Pixel sesegera mungkin menyantap makanannya dengan sangat lahap, sementara Azka menyandarkan punggung ke meja makan sambil mengembuskan napas panjang beberapa kali, saat pikirannya masih saja melayang kepada Aira—wajah pucatnya di kelas, cara ia terburu-buru pergi, rasa tidak enak di perutnya, dan ekspresinya yang jelas sedang menahan sesuatu kemarin.
Ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh dosennya itu, dan semakin Azka berusaha mengabaikannya, semakin kuat pula dorongan untuk mencari tahu kebenarannya.
Beberapa menit berlalu, Pixel sudah menghabiskan makanannya dan seketika mulai naik ke kaki Azka, menarik celana sang majikan pelan menggunakan kedua kaki mungilnya.
“Mau naik lagi?” tanya Azka, sembari mengangkat Pixel ke dalam pelukannya.
Kucing itu memeluk baju Azka, menyandarkan kepala kecilnya di dada sang majikan—seolah ikut merasa keresahan pemiliknya itu.
“Pixel … menurut lu, gue harus apa, sih?” gumam Azka, sembari mengusap punggung Pixel dengan begitu sangat lembut, “Mimpi aneh … dosen gue berubah … gue jadi pusing sendiri sekarang. Rasanya … akan ada kejadian besar yang bakalan nimpa gue, tapi gue sampai sekarang nggak tahu itu tentang apa.”
Azka mulai melangkahkan kaki menuju salah satu sofa ruangan tengah dan mendudukkan tubuh di sana sambil tetap memeluk Pixel. Lampu-lampu Apartemen yang masih menyala memantulkan bayangan lembut di dinding, menciptakan suasana tenang yang anehnya justru membuat hati Azka semakin bertambah gelisah pada pagi hari ini.
“Hari ini … hari ini gue niatnya mau cari tahu semuanya,” ucap Azka, sembari menundukkan kepala, menatap Pixel yang begitu sangat nyaman berada di dalam pelukannya, “Gue nggak tahu ini bakalan berhasil atau nggak … tapi gue bakal cari jawaban tentang semua ini secepat mungkin … tolong doain gue, ya, Pixel.”
Pixel mengeong pelan di dalam pelukan Azka, seolah dirinya mengiyakan permintaan dari majikannya itu
Azka menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, lantas menatap langit-langit ruangan tengah apartemen sambil memikirkan kembali tentang mimpi yang sama sekali tidak bisa untuk dihilangkan dari dalam kepalanya—Aira, seorang anak perempuan kecil, dan suara lembut mereka berdua yang memanggilnya dengan sebutan ‘papa’.
“Semoga … hari ini bisa berjalan dengan lancar … dan aku bisa dapetin semua jawaban dari hal-hal yang udah ganggu akhir-akhir ini,” gumam Azka, seolah sedang memanjatkan doa kepada sang pencipta pada pagi hari yang begitu sangat indah ini.
Menit demi menit berlalu, Azka pelan-pelan mengangkat tubuh Pixel dan menaruhnya di sisi kanan sofa. Ia menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum pada akhirnya bangun dari atas tempat duduk.
“Gue mandi dulu, Pixel … habis itu mau langsung berangkat buat nyari tahu semuanya
… Tolong jaga rumah dengan baik, ya, selama gue pergi,” kata Azka, sembari memberikan elusan lembut di kepala Pixel.
Pixel mengangguk pelan dan mengeong, seolah mengiyakan permintaan dari sang majikan.
Azka terkekeh pelan saat mendengar hal itu, sebelum pada akhirnya menegakkan tubuh dan berbalik badan, lantas buru-buru melangkahkan kaki menuju ruangan kamar untuk melaksanakan aktivitas mandi.
Sepanjang perjalanan, Azka terus-menerus memanjatkan doa kepada sang pencipta agar rencananya pada hari ini dapat dilancarkan, karena dirinya benar-benar sudah tidak kuat menahan semua pikiran yang akhir-akhir ini selalu mengganggu dirinya.
“Pasti bisa … aku harus fokus dan berdoa … walaupun aku bukan orang baik dan bukan orang suci … aku yakin … Tuhan pasti akan dengerin doa dariku … karena Maha pengampun dan Maha tahu.”