Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
Dataran tinggi itu sunyi. Kabut berputar-putar di sekitar kaki mereka, membawa aroma pinus yang tajam dan bau murni dari ketinggian. Tiga puncak gunung di sekeliling mereka tampak seperti penjaga abadi.
"Membangun... rumah?" Li Xian mengulangi, suaranya terdengar kecil di ruang terbuka yang luas itu. "Zhu Lao, di sini tidak ada apa-apa. Tidak ada kayu. Tidak ada... alat."
Shen Hu melihat sekeliling dengan cemas. "Tanahnya sangat lembut. Tidak ada pohon besar untuk kucabut sebagai tiang."
Tao Lin, yang baru saja pulih dari ekstasi perahu daun, segera panik. Sang Leluhur ingin sebuah rumah, dan tempat ini kosong. Ini adalah kegagalan lain dari sisinya sebagai "pemandu".
"LELUHUR!" serunya, berlutut lagi di rumput yang lembut. "Beri saya waktu tujuh hari! Saya akan pergi ke kota terdekat, membeli kayu Jati Spiritual terbaik, menyewa seratus pengrajin Ranah Emas, dan—"
"Terlalu merepotkan," potong Zhu Lao.
Dia berjalan melewatinya, bahkan tidak melirik Tao Lin. "Terlalu lama. Terlalu berisik. Dan aku benci bau pernis."
Kaisar Dewa Semesta berjalan ke tengah dataran, dekat tepi jurang yang diselimuti awan. Dia berdiri di sana sejenak, menatap kehampaan, tangannya di belakang punggung.
"Aku hanya ingin tempat yang tenang untuk menyeduh teh," gumamnya pada dirinya sendiri. "Dan dapur yang jendelanya menghadap ke timur."
Dia mengangkat kaki kanannya, yang terbungkus sepatu hitam yang sempurna.
Lalu, dia menghentakkan kakinya.
Itu bukan hentakan yang kuat. Itu adalah hentakan ringan yang tidak sabar. Seperti seseorang yang mencoba membersihkan lumpur dari sepatunya.
Tap.
Tidak ada suara gemuruh. Tidak ada getaran.
Sebaliknya, bumi bernyanyi.
Sebuah harmoni yang dalam dan rendah terdengar dari bawah kaki mereka. Dataran tinggi itu bergetar, bukan dengan kekerasan, tetapi seperti senar raksasa yang dipetik.
Li Xian, Mu Qing, dan Tao Lin terhuyung-huyung. Shen Hu berdiri kokoh, tapi matanya melebar takjub.
Di depan mereka, tanah bergeser.
Bukan retak atau terbelah. Tanah itu mengalir seperti adonan. Rumput dan tanah cokelat surut, menampakkan lapisan batu di bawahnya. Batu itu pucat, sehalus giok tetapi sekuat berlian, berkilauan dengan cahaya bulan yang samar-samar.
Batu itu bangkit.
Seperti tunas bambu yang tumbuh dalam gerakan cepat, dinding-dinding bangkit dari tanah, membentuk diri mereka sendiri dengan presisi yang sempurna. Dalam waktu kurang dari satu menit, sebuah bangunan berdiri di tempat yang tadinya kosong.
Itu bukan istana. Itu adalah pondok halaman (siheyuan) yang sederhana namun luas. Dindingnya putih bersih, atapnya terbuat dari ubin abu-abu gelap yang tampak menyerap cahaya. Sederhana, tenang, dan sangat sempurna.
Keempatnya menatap dengan ngeri. Tao Lin telah berhenti bernapas.
Zhu Lao memiringkan kepalanya. "Hmm."
Dia berjalan ke satu sisi bangunan. "Dapurnya terlalu kecil."
Dia menunjuk dengan jari telunjuknya yang ramping.
Dinding batu giok putih itu meleleh. Mereka mengalir lagi, memperluas ruangan, sementara atap abu-abu itu meregangkan dirinya untuk menutupinya. Sebuah cerobong asap batu yang sempurna tumbuh dari atap, mengeluarkan kepulan uap kecil—sudah terhubung ke mata air panas di bawah gunung.
"Jendelanya," kata Zhu Lao, "menghadap ke timur."
Sebuah lubang sempurna terbuka di dinding baru, membentuk jendela besar yang menghadap tepat ke arah matahari terbit di atas lautan awan.
Zhu Lao akhirnya mengangguk puas. "Lumayan."
Dia berjalan melewati gerbang depan yang melengkung, masuk ke halaman tengah yang luas. Halaman itu dibuat dengan batu putih yang sama, halus seperti cermin.
Li Xian adalah yang pertama menemukan suaranya. "Kau... kau... bagaimana...?"
"Memerintahkan bumi," bisik Tao Lin, wajahnya pucat karena kekaguman. Dia merangkak maju, menyentuh dinding. Dinding itu hangat, dan berdenyut dengan Dao yang murni. "Dia tidak membangunnya. Dia membujuknya untuk tumbuh."
Mu Qing hanya menatap. Seluruh Sekte Es Abadi dibangun selama seribu tahun oleh kerja keras para leluhur. Zhu Lao telah membangun tempat yang lebih murni dalam tiga puluh detik. Karena dia ingin dapur.
"Leluhur!" seru Tao Lin, suaranya pecah. "Tempat suci ini! Dojo (Balai Dao) yang agung ini! Apa... apa namanya?"
Zhu Lao sedang memeriksa sambungan di pilar teras. "Nama?" Dia melihat sekeliling. "Ini hanya pondok. Tempatku minum teh." Dia mendongak, menatap langit biru tua di atas, yang tampak begitu dekat dan tak berujung dari dataran tinggi ini.
"Kita sebut saja 'Pondok di Bawah Langit Abadi'," katanya acuh tak acuh.
Mata Tao Lin berbinar seolah dia baru saja menyaksikan penciptaan alam semesta. "Langit Abadi... Langit Abadi!"
Dia bersujud di halaman yang baru. "SEKTE LANGIT ABADI! Tentu saja! Nama yang sangat agung! Sangat dalam! Hanya Leluhur yang bisa memikirkan nama yang begitu mendominasi!"
Zhu Lao menghela napas. Dia terlalu lelah untuk berdebat tentang semantik. "Terserah. Sekte, pondok, apa bedanya. Yang penting," dia menunjuk ke dapur, "ada tempat untuk memasak."
Li Xian akhirnya pulih dari keterkejutannya. Dia melihat sekeliling pada sekte baru mereka. Itu sangat besar, sempurna... dan kosong.
"Zhu Lao... maksudku, Guru!" Li Xian berlutut. "Sekarang kita punya sekte... latihan apa yang akan kami lakukan? Apa teknik rahasia Sekte Langit Abadi?"
Shen Hu dan Mu Qing menoleh, penasaran.
Zhu Lao duduk di tangga teras dapur, meregangkan punggungnya yang (sekarang tampak) sempurna.
Dia memandang Li Xian. Lalu dia memandang halaman tengah yang luas. Halaman itu dibuat dengan batu giok putih yang sempurna. Tidak ada setitik debu pun. Tidak ada sehelai daun pun. Itu bersih tanpa cela, hasil dari penciptaan.
"Kau ingin latihan, Li Xian?" tanya Zhu Lao.
"Ya, Guru! Apa saja!"
Zhu Lao melambaikan tangannya. Di udara tipis, partikel-partikel kayu berkumpul, membentuk sebuah sapu bambu sederhana. Sapu itu jatuh dengan klak di depan Li Xian.
"Tugas pertamamu di Sekte Langit Abadi," kata Zhu Lao. "Sapu halaman itu."
Li Xian menatap sapu itu. Lalu dia menatap halaman yang luas dan sempurna bersih itu.
"Tapi... Zhu Lao..." kata Li Xian, bingung. "Halamannya... tidak ada debu. Ini bersih total."
Zhu Lao tersenyum. Itu adalah senyum pertamanya hari itu, senyum yang bisa meluluhkan gletser namun di mata Li Xian, itu adalah senyum yang paling menakutkan di dunia.
"Tepat sekali," kata Zhu Lao. "Itulah yang membuatnya sulit. Sapu sampai bersih."
😍💪
💪