KAISAR DEWA SEMESTA

KAISAR DEWA SEMESTA

Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi

Di luar ruang, di atas waktu, di titik di mana konsep "keberadaan" itu sendiri berasal, terhampar Takhta Semesta.

Takhta itu tidak terbuat dari emas, bintang, atau batu permata. Takhta itu ditenun dari tatanan realitas. Setiap hukum universal—gravitasi, takdir, kehidupan, dan kematian—adalah seutas benang dalam permadani agungnya.

Di atas takhta itu, duduklah satu-satunya makhluk.

Long Zhu. Kaisar Dewa Semesta.

Dia bukanlah "dewa" dalam artian yang dipahami makhluk fana. Para dewa di Alam Dewa adalah ciptaannya mainan yang ia buat untuk mengurus detail-detail kecil triliunan alam semesta yang ia hembuskan menjadi ada.

Napasnya adalah penciptaan. Kedipannya adalah kepunahan.

Dan saat ini, Long Zhu menghela napas.

Helaan napas itu menggema melintasi ruang, getaran lembut yang menyebabkan seribu galaksi baru lahir di satu tempat dan memadamkan seribu matahari di tempat lain. Bagi Long Zhu, itu hanyalah helaan napas kebosanan.

Sudah berapa lama? Satu juta tahun? Satu miliar? Waktu adalah konsep yang ia ciptakan, dan kini ia menjadi tawanannya.

Dia telah melihat segalanya. Setiap bintang lahir dan mati. Setiap peradaban bangkit dari debu dan kembali menjadi debu. Dia telah menguasai setiap Dao, memahami setiap misteri. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dipelajari. Tidak ada lagi yang tersisa untuk ditantang.

Kekuasaan absolut, dia menyadari untuk kesekian kalinya, adalah kehampaan absolut.

"Mungkin," suaranya bergema, meskipun tidak ada siapa pun di sana untuk mendengar, "secangkir teh."

Dia mengangkat tangan kanannya.

Di galaksi yang jauhnya sembilan ratus juta tahun cahaya, sebuah komet yang terbuat dari es spiritual murni sisa dari penciptaan awal tiba-tiba berbelok dari jalurnya. Komet itu melesat melintasi kehampaan, melanggar hukum, dan tiba di hadapannya sebagai bola air seukuran kepalan tangan, melayang dengan tenang.

Dia mengangkat tangan kirinya.

Di jantung nebula api, sebuah bintang biru muda yang baru lahir tiba-tiba memadat. Inti energinya menyembur keluar dalam aliran tipis yang terkendali, melintasi dimensi, dan muncul di bawah bola air, memanaskannya dengan suhu yang tepat. Bukan satu derajat lebih panas, bukan satu derajat lebih dingin.

Dia menjentikkan jarinya.

Dari Pohon Dunia, yang akarnya mencengkeram ribuan alam, sehelai daun emas pucat Daun Asal Mula gugur sebelum waktunya. Daun itu melintasi batas-batas realitas dan jatuh dengan lembut ke dalam air yang kini mendidih sempurna.

Aroma teh menyebar.

Di Alam Dewa yang jauh di bawah, Dewan Langit yang agung menghentikan pertemuan mereka.

"Getaran Dao! Mungkinkah Kaisar Leluhur menciptakan hukum baru?" tanya Dewa Perang, gemetar.

Dewa Takdir memejamkan mata, mencoba membaca benang nasib. "Tidak... Ini... ini tak terduga."

Di istananya, Long Zhu meniup uap dari cangkir yang baru saja ia ciptakan dari ketiadaan. Aroma itu adalah harmoni murni dari semesta.

Dia menyesapnya.

Rasa itu adalah kesempurnaan. Setiap nuansa alam semesta manisnya penciptaan, pahitnya kehancuran, asamnya kekacauan, dan asinnya ketertiban semua ada di sana dalam keseimbangan yang sempurna.

Long Zhu meminumnya dalam sekali teguk.

"Sempurna," katanya pelan. "Dan karena itulah... ini sama sekali tidak menarik."

Dia meletakkan cangkir itu, yang segera larut kembali menjadi ketiadaan. Kesempurnaan itu bisa ditebak.

Dia kembali menatap semesta nya. Dia melihat para dewa bertengkar tentang politik. Membosankan. Dia melihat para iblis mengobarkan perang. Bisa ditebak. Dia melihat para kultivator abadi bermeditasi selama sepuluh ribu tahun. Melelahkan.

Lalu, tatapannya menembus semua alam yang lebih tinggi, menembus selubung energi abadi, dan jatuh pada satu titik kecil yang kotor, berisik, dan bercahaya redup.

Alam Fana.

Tempat di mana kehidupan begitu singkat, begitu rapuh. Tempat di mana makhluk hidup lahir, berjuang untuk hal-hal sepele, menangis karena kehilangan, tertawa karena lelucon kasar, dan kemudian mati. Mereka tidak berjuang untuk keabadian mereka berjuang untuk makanan berikutnya. Mereka tidak memahami Dao mereka hanya mencoba untuk tidak kehujanan.

Dia memperhatikan seorang wanita tua di sebuah desa kecil, marah-marah karena ayamnya dicuri rubah. Dia memperhatikan seorang anak kecil menangis karena lututnya tergores. Dia memperhatikan sekelompok pria di kedai, bertengkar hebat tentang siapa petarung terkuat di desa.

Mereka merasakan. Begitu kuat, begitu tidak efisien, begitu... kacau.

Dan di antara miliaran emosi itu, Long Zhu merasakan satu hal yang tidak pernah ia rasakan dari dewa-dewanya kejutan.

Seorang pria di sebuah kedai di Kerajaan Angin Selatan baru saja menggigit sesuatu yang merah, dan wajahnya langsung memerah, matanya berair, dan dia menyemburkan api secara kiasan. Dia mengipasi mulutnya sambil mengumpat dan tertawa pada saat yang sama.

"Rasa sakit?" batin Long Zhu. "Ketidaknyamanan yang disengaja... demi sensasi?"

Itu adalah konsep yang sangat asing. Sangat tidak logis.

Sebuah senyuman tipis, yang pertama, menyentuh bibir Long Zhu.

Dia berdiri.

Seluruh tatanan realitas bergetar hebat. Para dewa di Alam Dewa jatuh berlutut.

"Kaisar bergerak!"

Long Zhu meregangkan tubuh. Jubah Penuai Bintang yang tak terbatas, yang berisi triliunan galaksi di dalamnya, memudar dari tubuhnya. Aura semesta nya yang menekan segala eksistensi ditariknya kembali ke dalam.

Sosoknya yang tak terlukiskan mulai menyusut. Cahaya dewa nya meredup.

Dalam sekejap, wujud Kaisar Dewa Semesta lenyap.

Di tempatnya berdiri seorang pria tua.

Dia mengenakan jubah kain sederhana yang agak lusuh. Rambutnya putih tipis, diikat seadanya. Janggut putihnya yang jarang menjuntai di dadanya. Dia terlihat lelah, sedikit pemalas, dan matanya menyiratkan bahwa dia lebih suka tidur siang daripada apa pun di dunia. Kekuatannya yang tak terbatas tidak tersegel hanya tertidur, tersembunyi di balik fasad kefanaan yang sempurna.

"Zhu Lao," gumamnya, memberinya nama baru. Si Tua Zhu.

Zhu Lao melangkah dari Takhta Semesta. Dia tidak merobek ruang atau membuka gerbang. Dia hanya... melangkah.

Dia jatuh.

Melewati Alam Dewa, tak terlihat oleh para dewa yang panik. Melewati Alam Abadi, tak terdeteksi oleh para kaisar yang bermeditasi.

Dia menembus atmosfer biru Alam Fana.

Zhu Lao mendarat dengan tidak anggun di jalan berlumpur di luar sebuah desa kecil. Dia terhuyung sejenak, berpura-pura kehilangan keseimbangan.

Dia menghirup udara.

Udaranya kotor. Berbau pupuk kandang, tanah basah, dan... sesuatu yang sedang dimasak.

Dia melihat ke arah desa, dari mana asap mengepul dari sebuah kedai kecil. Aroma tajam dan pedas tercium.

Zhu Lao tersenyum, menunjukkan giginya yang (sekarang tampak) biasa saja.

"Aku dengar," katanya pada dirinya sendiri, suaranya kini serak karena usia, "cabai di Alam Fana bisa membuat lidah terbakar."

Dia terkekeh pelan. "Mari kita lihat."

Menyeret kakinya di lumpur, Kaisar Dewa Semesta berjalan perlahan menuju peradaban, mencari hal pertama yang tidak ia pahami makanan pedas.

Terpopuler

Comments

Sheryn

Sheryn

op diawal kah thor? 🤭

2025-11-03

4

Nanik S

Nanik S

Hadir... kayaknya rasa pedas lebih menarik sang Dewa

2025-11-04

0

Yanka Raga

Yanka Raga

cabe2an kaliee 😆🤭

2025-11-06

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2 Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3 Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4 Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5 Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6 Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7 Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8 Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9 Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10 Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11 Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12 Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13 Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14 Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15 Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16 Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17 Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18 Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19 Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20 Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21 Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22 Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23 Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24 Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25 Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26 Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27 Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28 Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29 Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30 Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31 Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32 Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33 Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34 Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar
Episodes

Updated 34 Episodes

1
Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2
Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3
Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4
Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5
Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6
Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7
Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8
Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9
Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10
Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11
Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12
Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13
Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14
Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15
Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16
Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17
Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18
Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19
Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20
Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21
Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22
Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23
Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24
Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25
Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26
Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27
Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28
Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29
Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30
Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31
Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32
Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33
Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34
Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!