Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lambergeth
Sebelum itu.
Langit sore perlahan memudar menjadi jingga saat Anzu dan Alfred menuruni bukit menuju kota Lambergeth. Cahaya matahari menembus sela-sela awan, memantul di atap rumah-rumah bata merah di kejauhan. Dari atas sana, kota itu tampak damai—dikelilingi ladang jeruk seluas mata memandang.
“Wah… lihat, Anzu! Aku bisa mencium aroma buah dari sini!” seru Alfred dengan semangat anak kecil yang baru pertama kali ke kota besar.
“Kalau hidungmu setajam itu, gunakan untuk mencari informasi, bukan cuma bau makanan,” balas Anzu datar.
“Ehh, tapi… ini benar-benar wangi banget! Mungkin mereka punya pasar buah terbesar di utara!”
Anzu tidak menanggapi, hanya mempercepat langkahnya. Pedang berkarat di punggungnya memantulkan cahaya jingga yang menari di bilahnya, seakan menatap dunia dengan rasa bosan.
Mereka melewati beberapa petani yang tengah menutup keranjang jeruk. Suara tawa anak-anak bercampur dengan derit roda gerobak. Dunia terasa normal, setidaknya untuk sementara.
Namun Anzu tetap berhati-hati, ia tahu pandangan orang akan selalu tertuju padanya—karena tatapan dinginnya, atau mungkin aura samar dari sesuatu yang tersegel di pedangnya.
----------------
Ketika mereka sampai di gerbang kota, dua penjaga berdiri tegak. Armor mereka terlihat sederhana, tapi mata mereka tajam seperti elang.
“Berhenti di situ! Sebutkan nama dan tujuan kalian,” ujar salah satu penjaga dengan nada formal.
“Anzu,” jawabnya pendek. “Dan dia Alfred. Kami petualang.”
“Petualang?” Penjaga itu menatap curiga. “Kau membawa senjata besar. Apa kalian punya surat izin masuk?”
Alfred cepat menyela dengan senyum canggung. “Tentu saja! Kami hanya ingin mencari informasi, Katanya di Lambergeth ada perpustakaan kuno yang menyimpan catatan perang lama, benar begitu?”
Penjaga yang satu lagi tampak melunak. “Perpustakaan Sentra Arkan, Letaknya di distrik tengah, dekat alun-alun. Tapi jangan buat masalah. Banyak mata di kota ini yang tidak suka orang asing bersenjata.”
Anzu mengangguk singkat. “Kami paham.”
Penjaga memberi isyarat dan gerbang kayu raksasa itu terbuka perlahan. Suara engselnya berderit, lalu pemandangan kota Lambergeth menyambut mereka dengan cahaya lentera yang mulai menyala di sepanjang jalan batu.
----------------
Kota itu hidup.
Pedagang memanggil pembeli di kiri-kanan, aroma buah jeruk, roti panggang, dan daging asap bercampur memenuhi udara. Seorang pengamen tua memainkan seruling di pojok jalan, dan anak-anak menari riang di sekitarnya.
Alfred tampak terpukau. “Lihat, Anzu! Mereka bahkan punya air mancur berbentuk naga! Wah, ini luar biasa!”
Anzu hanya menatap sekilas. “Kau selalu kagum pada hal-hal yang tidak berguna.”
“Hey, kagum itu penting untuk kesehatan mental, tahu!”
“Kalau begitu, otakmu pasti sangat sehat.”
Alfred mendengus. “Kau tidak harus selalu sarkastis, tahu.”
Mereka terus berjalan melewati pasar hingga tiba di sebuah penginapan kecil di tepi jalan utama. Plakat kayu di depannya bertuliskan THE GOLDEN PEEL. Dari aromanya saja, jelas tempat ini dikelola oleh seseorang yang terobsesi dengan jeruk.
Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dari balik meja. “Selamat datang! Dua kamar atau satu?”
Anzu menjawab cepat, “Satu saja. Kami hanya butuh tempat istirahat sebentar.”
“Baiklah. lima puluh koin untuk semalam. Termasuk makan malam sederhana.”
Alfred menyerahkan koinnya dengan senyum cerah, lalu berbisik ke Anzu, “Kau dengar itu? Makan malam gratis. Ini baru penginapan terbaik.”
“Gratis dari uangmu sendiri, bodoh.”
----------------
Setelah mandi air hangat dan mengganti pakaian, mereka duduk di meja makan kecil di lantai bawah. Hidangan sederhana tersaji: roti panggang, sup sayur, dan segelas jus jeruk. Alfred melahapnya tanpa pikir panjang.
Sementara itu, Anzu memperhatikan sekeliling ruangan dengan tenang. Orang-orang tampak santai, tapi telinganya menangkap percakapan samar dari dua pria di meja sebelah.
“…katanya, ada pemburu bayaran dari Celestia yang tiba kemarin.”
“Benarkah? ada urusan apa mereka kesini?”
“Entahlah, tapi mereka membawa simbol suci. Kau tahu artinya apa kalau Ordo turun tangan.”
Anzu memutar pandangannya perlahan. Suara Satan terdengar lirih di dalam kepalanya, seperti bisikan di antara hembusan angin.
“Celestia, hm? Sepertinya dunia kecil ini belum melupakan mu.”
Anzu meneguk minumannya tanpa ekspresi. “Diamlah. Aku tidak ingin menarik perhatian di tempat ramai.”
“Kau bicara seolah bisa mengendalikan apa yang sudah berjalan, manusia.”
Alfred yang duduk di depan menatapnya heran. “Anzu, kau bicara dengan siapa?”
“Angin.”
“Angin…" menatap bingung. "kau udah gila ya?”
“Jangan mulai.”
Mereka berdua menghabiskan makanan lalu pergi kedalam kamar, didalam kamar suasana sangat hening sampai akhirnya Alfred membuka suara lagi.
“Jadi, apa langkah kita selanjutnya? Kau bilang ingin cari informasi soal keberadaan ‘Senjata berjiwa’, kan?”
Anzu menatap ke arah jendela.
Di luar, langit malam mulai turun, menelan cahaya kota menjadi lautan bintang.
“Ya. Perpustakaan Sentra Arkan mungkin punya catatan tentang penyegelan iblis-iblis. Kalau beruntung."
Anzu berbicara dalam hati sambil Menatap bulan dilangit malam. "mungkin Aku bisa tahu kenapa Satan tersegel di dalam pedang.”
Alfred mengangguk. “Berarti besok pagi kita ke sana. Tapi… kalau benar di kota ini ada orang dari Celestia, bukankah itu berbahaya?”
“Bahaya selalu ada. Tinggal seberapa siap kau menghadapinya.” jawab Anzu dingin, menatap kembali pedangnya yang bersandar di dinding. Cahaya lentera membuat bilah karatnya tampak seperti mata yang mengintai dari kegelapan.
----------------
Malam semakin larut.
Suara musik dari jalan perlahan menghilang, digantikan nyanyian jangkrik dan desir angin. Alfred sudah terlelap di tempat tidur, mendengkur pelan.
Anzu masih duduk di kursi, menatap jendela yang terbuka. Angin malam menyapu rambut hitamnya.
“Aku tahu kau mendengarnya,” katanya pelan.
“Tentu saja. Aku selalu mendengar.”saut satan.
“Celestia... mereka datang ke sini bukan kebetulan. Mereka seolah mengetahui keberadaan ku saja!”
Keheningan menggantung beberapa detik sebelum Satan menjawab,
“Maka bersiaplah. Dunia suci mereka tidak suka sesuatu yang tidak bisa mereka kuasai.”
Anzu berdiri, menatap langit malam.
Bintang-bintang di atas sana tampak indah, tapi juga jauh—terlalu jauh untuk dijangkau oleh tangan manusia.
(Dunia ini menyembunyikan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.)
Ia menutup jendela perlahan, lalu duduk di tepi kasur sebelum tidur. Dalam keheningan itu, hanya satu hal yang jelas di pikirannya: Lambergeth mungkin kota damai, tapi malam ini, angin membisikkan sesuatu yang berbeda.
Sebuah awal dari badai yang belum terlihat.
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪