Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi itu, Yun Sia bangun dengan mata mengantuk dan rambut berantakan seperti singa bangun tidur. Ia menggeliat, memeluk bantal keras penginapan, lalu mendengus.
“Kenapa bantalnya keras banget sih? Kayak pelakunya kehidupan,” gerutunya.
Saat ia bangun, ia mendapati sesuatu yang membuat jantungnya sedikit sedikit saja gedebak gedebuk.
A-yang duduk di kursi kecil dekat jendela, memandangnya.
Dengan tatapan intens. Tatapan yang dalamnya setara sumur nenek lampir.
“Pagi,” kata A-yang pendek, suaranya datar seperti biasa, tapi matanya berbinar melihat rambut kusut Yun Sia.
Yun Sia mengucek mata. “Kau ngapain mandangi aku kayak patung bacang?”
A-yang terdiam. “…mengawasi.”
“Mengawasi apa?”
“Bernapas.”
Yun Sia terbatuk.
Liyan yang sedang mempersiapkan teh bahkan sampai tersedak. Mochen yang baru masuk pondok sampai menunduk menahan tawa.
“Yang Mul—”
Mochen cepat-cepat menutup mulutnya sendiri.
A-yang menatap Mochen dingin. Mochen langsung berlutut mental.
Yun Sia mengernyit. “Yang? Kau mau bilang Yang Apa? Yang lucu? Yang tinggi? Yang tampan?”
A-yang langsung memalingkan wajah, telinganya merah.
"Sial." Ia suka saat Yun Sia memanggilnya A-yang.
Walau bagi rakyat, itu seharusnya panggilan ke pasangan.
Dan Yun Sia tidak menyadarinya sama sekali.
---
Hari ini mereka akan ke pasar pusat kota. A-yang membutuhkan informasi, Mochen perlu menyelidiki jejak penghianat, dan Liyan menjaga agar A-yang tidak ketahuan identitasnya oleh siapa pun.
Sementara Yun Sia?
Ia hanya ingin makan.
“Aku mau makan jianbing, mantou, sup daging, bakpao merah, bakpao hitam, bakpao unyu, apa saja pokoknya!” seru Yun Sia sambil menepuk perut.
Mochen mengangguk hormat. “Tuan A-yang, sepertinya Nona Yun sangat… semangat.”
A-yang menatap Yun Sia sebentar.“Sia, kau tidak bisa memakan semuanya.”
“Aku bisa,” jawab Yun Sia tegas. “Kau tidak tau kapasitas lambung wanita yang lapar.”
Liyan menahan tawa sambil batuk-batuk palsu.
----
Saat tiba di pasar, Yun Sia langsung berubah seperti anak kecil lepas dari kandang.
“WAAAAH! AYANG LIAT! Itu kue bulat! AYANG LIAT! Itu ikan besar! AYANG LIAT! Itu baju bagus! AYANG LIAT! Ada jimat anti jomblo!!”
A-yang menarik tangannya agar gadis itu tidak hilang ditelan keramaian. “Sia, pelan.”
“Kenapa? Banyak yang bisa dilihat! Ini hebat banget! Keren banget! Wow—”
BRAK.
Yun Sia menabrak pedagang buah.
Satu peti apel menggelinding seperti bola bowling yang kabur dari kehidupan.
A-yang menutup mata sejenak. “Sudah kuduga.”
Liyan langsung meminta maaf pada pedagang. Mochen sigap mengangkat peti. Sementara Yun Sia menatap apel bergelimpangan dengan wajah bersalah.
“Maaf, paman… tadi kaki saya ingin jalan, tapi mulut saya ingin bicara, otak saya tidak koordinasi…” ujar Yun Sia
Pedagang itu hendak marah tapi melihat wajah Yun Sia yang polos dan imut, ia menghela napas panjang. “Nak, lain kali hati-hati.”
Yun Sia mengangguk. “Maafkan saya. Sebagai permintaan maaf…”
Ia mengambil wajan kecil dari pinggang (entah sejak kapan ia punya itu) dan mengeluarkan adonan tipis dari mangkuk kecil di kantongnya.
Dalam hitungan menit…
Cessssh!
Aroma harum menyeruak.
Jianbing tipis renyah terbentuk.
Pedagang buah, A-yang, Liyan, hingga Mochen terpaku.
“Nak… kau jago masak?” tanya si paman.
“Kakek ketiga saya berkata, wanita yang lapar adalah wanita yang harus bisa masak sendiri.”
Padahal itu omongan bos kafe dunia modern, bukan kakek siapa pun.
A-yang menatapnya lama. “Sia…”
“Hmm?”
“Kau selalu begini?” tanya A-yang
“Begini gimana?” tanya balik Yun Sia dengan heran
“…membuat orang jatuh hati.” jawab A-yang
BLUSH.
A-yang sendiri terdiam setelah mengucapkan itu. Mochen spontan menunduk agar tidak terpana oleh sisi romantis tuannya. Liyan pura-pura sibuk memeriksa pedang.
Sementara Yun Si, “Eh? Kau sakit? Kenapa ngomong aneh-aneh?”
A-yang memalingkan wajah cepat-cepat.
----
Yun Sia memandangi baju-baju warna cerah. Ia dulu tidak pernah memakai baju sebagus ini baik di dunia modern maupun tubuh barunya sekarang. Ia hanya punya pakaian sederhana, bersih, tapi tidak menonjol.
A-yang memperhatikan diam-diam.
Saat Yun Sia menyentuh jubah merah muda halus, dia langsung menurunkannya kembali. “Ah, mahal.”
Dia berbalik hendak pergi.
A-yang mendekat dan mengambil jubah itu. “Kau suka ini?”
“Ya suka. Tapi aku tidak butuh. Yang penting nyaman.”
A-yang memandang jubah itu sebentar, lalu memanggil pelayan.
“Saya beli ini.”
“Eh EH EH AYANG TIDAK USAH! AKU BUKAN SIMPING BARANG MAHAL!”
“Sia.”
“Jangan beli!”
“Aku yang ingin.”
“AYANG!”
A-yang menghela napas. “Kalau kau tidak menerimanya… aku tidak akan tenang.”
Liyan dan Mochen menatap situasi itu seperti menonton drama keluarga.
Yun Sia akhirnya menerima jubah itu sambil cemberut. “Tapi aku balas nanti! Aku masakkan kau ayam rebus spesial lima lapis!”
A-yang tersenyum kecil.
Senyum yang jarang sekali muncul.
Mochen terkejut. Wah, Yang Mul… eh… Tuan benar-benar jatuh cinta…
---
Di bagian pasar lain, seorang pemuda pedagang ramuan herbal menatap Yun Sia lama.
“Kau… gadis dengan aura menyenangkan,” katanya.
Yun Sia tersenyum sopan. “Terima kasih, kakak ganteng!”
A-yang langsung berhenti.
Senyumnya hilang.
Wajah berubah dingin beku.
Sepertinya musim salju mendadak turun hanya di sekeliling A-yang.
“Kakak… ganteng?” ulang A-yang datar.
Yun Sia mengangguk. “Ya, lihat saja. Alisnya rapi. Rambutnya bagus. Kulitnya cerah. Beda sama kau.”
“…beda?” tanya A-yang
“Ya! Kau kan selalu dingin seperti ikan beku.” jawab Yun Sia polos tanpa tau bahaya yang akan ia dapat
Pedagang itu tertawa. “Ahaha! Kau lucu sekali. Darimana asalmu? Apa kau sedang mencari pekerjaan? Aku butuh seseorang untuk membantu—”
Tangan A-yang langsung menyambar tangan Yun Sia.“Kami pergi.”
Liyan dan Mochen langsung mengikuti, tapi tampak jelas mata mereka berbinar penuh hiburan.
“Eh? Ayang, kenapa marah?” tanya Yun Sia sambil digeret pelan.
A-yang berhenti. “Tidak marah.”
“Lho? Kalau begitu kenapa wajahmu seperti habis makan lemon sepuluh kilo?” heran Yun Sia
“…Sia.”
“Hm?”
“Aku tidak suka kau memanggil pria lain ‘kakak ganteng’.”
Yun Sia mengedip. “Oh… jadi kau cemburu?”
A-yang terdiam.
Lama.
Sangat lama.
Liyan hampir jatuh dari kuda saking menahan tawa.
Mochen menutup mulut dengan tangan agar tidak terdengar.
Yun Sia mendekat dan menepuk bahu A-yang. “Tenang, Ayangku. Kau juga ganteng kok. ”
A-yang membeku.
Seperti patung.
Seperti batu.
Seperti es beku di kutub.
Kemudian… telinganya merah.
---
Mereka berhenti di sebuah kedai makan. Yun Sia langsung memesan hampir semua menu.
“Satu mangkuk! Dua mangkuk! Lima mangkuk! Tiga belas dumpling!”
Pelayan kedai terpana. “Nona… kau yakin sanggup makan semua ini?”
“Saya lapar.”
A-yang menatap pelayan. “Berikan semuanya.”
Yun Sia terharu. “Ayang… kau baik banget.”
A-yang pura-pura sibuk menyesap teh agar Yun Sia tidak melihat dia tersenyum kecil.
Saat mereka makan, Mochen membisikkan laporan.
“Tuan… saya lihat tadi ada orang yang memperhatikan Anda dari kejauhan. Mungkin penghianat atau orang yang mencurigakan.”
“Tetap awasi,” bisik A-yang.
Liyan ikut menimpali, “Tapi jangan sampai Nona Sia tahu. Dia bisa panik.”
Mereka bertiga mengangguk kompak.
Masalahnya?
Yun Sia sedang memasukkan dumpling ke mulut.
Dan mendengar semua.
“Hoo? Jadi ada yang mengikuti? Ada orang jahat?”
Mochen membeku.
Liyan menutup muka.
A-yang memegang kepala.
“Sia… kau dengar?”
“Mulut penuh dumpling bukan berarti telinga mati,” jawab Yun Sia elegan.
A-yang menghela napas. “Sudahlah.”
A-yang Bersumpah Melindungi
Saat mereka keluar dari kedai, suasana sudah lebih tenang. Matahari condong ke barat. Kota mulai ramai lagi dengan pedagang malam.
A-yang berjalan di samping Yun Sia. “Sia.”
“Hm?”
“Aku ingin kau tetap bersamaku… sampai semuanya selesai.”
“Masalah penghianat itu?”
A-yang mengangguk. “Ya.”
Yun Sia tersenyum lembut. “Ayang… aku ikut kok. Aku sudah bilang, kau itu… orang baik. Walaupun dingin kayak ikan beku. Tapi hatimu bagus.”
A-yang terdiam.
Lalu berkata sangat pelan, “Untukmu… aku ingin jadi lebih hangat.”
Yun Sia memiringkan kepala. “Hah? Kau ngomong apa?”
“Tidak.”
“Cih. Sok misterius.”
Tapi dalam hati A-yang, satu kalimat berputar "Aku akan melindungimu, Sia. Sampai kapan pun."
Sore mulai turun pasar kota meriah dan tanpa sadar…
Di atap-atap gedung, seseorang memperhatikan mereka bertiga.
“Jadi itu… wanita yang dekat dengan Kaisar Wang?”
Ia tersenyum miring.
“Menarik.”
Bersambung