Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Malam itu, setelah kejadian di studio, Keyla dan Kenny tiba di rumah tanpa sepatah kata pun. Bukan karena mereka marah—melainkan karena terlalu banyak yang ingin diucapkan, tapi tak satu pun yang berani mereka keluarkan.
Kenny membuka pintu rumah dengan napas berat. Keyla mengikutinya, menunduk sambil memegang ujung jaketnya. Jantungnya belum sepenuhnya tenang sejak melihat ekspresi Kenny di studio: bukan hanya cemburu… tapi takut kehilangan.
Begitu pintu tertutup, Kenny bersandar pada dinding dan mengusap wajahnya.
“Keyla… maaf.”
Suara itu serak, nyaris pecah. “Aku membuatmu takut lagi.”
Keyla menelan ludah. “Aku tidak takut.”
Kenny menatapnya. “Tapi kamu gelisah. Aku bisa lihat.”
Keyla menggigit bibir. “Aku hanya tidak ingin kamu salah paham.”
Kenny menghela napas, lalu berjalan mendekat. Tangannya terulur, menyentuh pipi Keyla pelan, seolah takut menyakitinya.
“Aku tidak pernah salah paham soal kamu.”
Tatapannya dalam, intens, tapi lembut.
“Aku hanya takut.”
Keyla mengerjap. “Takut apa?”
“Takut ada orang yang bisa mengambilmu dariku.”
Keyla memegang tangan Kenny. “Tidak ada yang bisa.”
“Tapi dia memandangmu seperti dia mengenalmu lebih dari aku.”
“Itu cuma… masa lalu kerja,” jawab Keyla dengan suara pelan. “Tidak ada yang lebih.”
Kenny terdiam lama, menatap mata Keyla, seolah berusaha membaca seluruh isi kepalanya.
“Janji?” tanya Kenny.
Keyla tersenyum lembut. “Janji.”
Kenny akhirnya menarik napas lega. Ia mencium dahi Keyla, lalu memeluknya erat—erat sekali, seolah baru saja melewati bencana kecil.
Namun Keyla tidak tahu…
Bahwa bencana yang sebenarnya sedang mendekat.
Keesokan paginya, suasana kembali seperti biasa. Atau setidaknya, terlihat biasa.
Kenny pergi lebih awal ke kantor. Ia meninggalkan catatan kecil di meja rias:
Aku jemput kamu jam 5. Jangan pergi sendiri. — Kenny
Keyla tersenyum kecil.
Meski protektif, ada sisi manis yang perlahan muncul dari pria itu.
Setelah sarapan, Keyla duduk di balkon untuk menghirup udara segar. Angin pagi membawa aroma bunga yang baru mekar. Ia baru mulai menenangkan diri ketika suara getaran ponsel mengganggu keheningan.
Pesan masuk.
Dan ketika Keyla melihatnya… dadanya mendadak sesak.
Nomor tak dikenal:
Kamu pikir bisa mulai kembali dari nol?
Kamu pikir hidup baru akan menghapus apa yang terjadi di hidup lamamu?
Keyla… aku tidak pernah lupa.
Keyla membeku. Ponselnya hampir terjatuh.
Tangan gemetar. Hidung terasa panas.
Sesak itu kembali—sesak yang mengingatkannya pada hidup pertamanya, hidup yang penuh sakit… dan kematian.
Siapa… siapa yang mengirim ini?
Tidak mungkin Reno—Reno tidak tahu kebenarannya.
Tidak mungkin siapapun dari studio.
Tidak mungkin Kenny.
Lalu siapa?
Dengan tangan gemetaran, Keyla mengetik balasan.
Keyla:
Siapa ini?
Layar ponsel menunggu.
Satu detik.
Dua detik.
Lima detik.
Kemudian…
Nomor tak dikenal:
Kau akan tahu saat waktunya tiba.
Dan saat itu… kehidupan barumu akan ikut hancur.
Air mata mengalir begitu saja dari mata Keyla.
Tidak—tidak, ini tidak boleh terjadi.
Ia baru saja mendapatkan kebahagiaan.
Baru saja mendapat kesempatan kedua.
Ia menutup muka, mencoba bernapas.
“Tolong jangan sekarang… jangan lagi…”
Namun dunia tidak pernah adil untuknya.
Di kantor, Kenny membuka laptop dengan gelagat gelisah. Sejak pagi, pikirannya tidak bisa tenang.
Adegan di studio terus terulang di kepalanya.
Tatapan pria bernama Reno itu.
Cara ia memandang Keyla.
Cara Keyla gugup saat menjelaskan.
Kenny memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan rasa tak nyaman itu.
Hingga sekretarisnya masuk.
“Tuan Kenny,” katanya pelan. “Ada seseorang ingin bertemu Anda.”
“Siapa?”
“Dia bilang… teman lama.”
Kenny mengerutkan dahi. “Nama?”
Sekretaris ragu sejenak. “Reno.”
Napas Kenny terhenti sejenak.
“Suruh dia masuk.”
Pintu terbuka. Reno berjalan masuk dengan percaya diri, namun sikapnya sopan. Senyum kecil menghiasi bibirnya.
“Maaf datang tiba-tiba,” ucap Reno.
“Apa keperluanmu?” suara Kenny tenang, tetapi dingin.
“Saya ingin… bicara soal Keyla.”
Kenny menegang, tapi tetap tidak bereaksi berlebihan. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Reno duduk tanpa diminta. “Saya cuma ingin meluruskan satu hal. Saya tidak ingin merusak rumah tangga siapapun.”
Kenny mengerutkan alis.
Tapi Reno tersenyum tipis. “Saya hanya… pernah mengenal Keyla. Sangat mengenalnya.”
Kenny berdiri perlahan. “Mengenalnya bagaimana?”
Reno menunjuk dadanya.
“Dulu, saya menyukainya.”
Kenny mengepal. “Dan sekarang?”
“Sekarang… saya hanya menjalankan pekerjaan.”
Namun setelah jeda singkat, Reno menambahkan,
“Tapi bukan berarti perasaan itu benar-benar hilang.”
Suasana memanas.
Kenny menatap Reno tajam, penuh ancaman yang ditekan habis-habisan.
“Dengar,” kata Kenny, nada rendah namun stabil. “Aku tidak peduli masa lalu kalian. Tapi kalau kau mengusik istriku, aku tidak akan tinggal diam.”
Reno tersenyum kecil—bukan senyum mengejek, melainkan… penuh teka-teki.
“Aku bukan ancamanmu, Kenny.”
Kenny terdiam.
Reno berdiri.
“Ancamanmu… seseorang yang lain.”
Kenny berbalik cepat. “Apa maksudmu?”
Reno menghela napas. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ada seseorang yang mengawasi Keyla kemarin. Sesuatu terasa… salah. Mata seseorang mengikuti setiap gerakan Keyla.”
Kenny menegang. Setengah amarah, setengah takut.
“Siapa?”
“Aku tidak tahu,” jawab Reno jujur. “Tapi aku kenal tatapan itu. Tatapan orang yang merasa… memiliki seseorang. Terlalu kuat.”
Kenny membeku.
Jika bukan Reno…
Jika bukan orang-orang dari studio…
Lalu siapa?
“Aku tidak ingin ikut campur,” ujar Reno. “Tapi aku sudah lihat bagaimana kau menjemputnya. Kau benar-benar mencintainya.”
Kenny menatap Reno dengan terkejut kecil—tak menyangka pria itu bisa mengakui hal itu.
“Jadi… jaga dia,” lanjut Reno. “Karena aku punya firasat buruk.”
Reno berjalan keluar, meninggalkan Kenny dengan dada sesak, pikiran kacau, dan perasaan gelap yang tidak bisa ia jelaskan.
Sementara itu, di rumah, Keyla duduk di kamar dengan lutut tertekuk, memeluk dirinya sendiri.
Ponselnya berbunyi lagi.
Ia takut membuka.
Takut pesan itu muncul lagi.
Takut masa lalu menghancurkannya.
Namun ia tidak bisa membiarkan ketakutan itu membunuhnya dua kali.
Ia membuka layarnya.
Dan pesan baru muncul:
Manis sekali melihatmu bersama Kenny hari ini.
Aku tidak menyangka kamu bisa hidup lagi setelah mati.
Jantung Keyla berhenti.
Kata itu… mati.
Orang ini tahu.
Tahu semuanya.
Tangan Keyla gemetar sangat keras hingga ponselnya hampir jatuh.
Tidak.
Tidak… tidak boleh.
Tidak boleh Kenny tahu.
Ia tidak bisa membuat Kenny takut.
Tidak bisa membuat Kenny benci.
Tidak bisa kehilangan kehidupan yang baru ia dapatkan.
Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.
“S-siapa kamu…?” bisik Keyla, suaranya pecah.
Tidak ada balasan.
Justru…
Suara langkah terdengar dari pintu.
“Keyla?”
Suara Kenny.
Keyla memutar tubuh cepat, menyeka air mata secepat mungkin.
Kenny berjalan masuk, melihat wajah Keyla yang pucat. “Kamu… menangis?”
Keyla memalingkan wajah. “Tidak… hanya debu.”
Kenny mendekat, memegang pipinya, memaksanya menatap.
“Keyla. Ceritakan.”
Keyla menggigit bibir, gemetar.
Ia ingin bicara.
Ingin bercerita.
Ingin berteriak bahwa ia takut seseorang dari masa lalunya akan merusak segalanya.
Tapi ketakutan itu lebih kuat.
“Aku hanya… lelah,” katanya.
Kenny menatapnya lama—sangat lama—seolah tahu ia berbohong, tapi memilih untuk tidak memaksa.
“Kalau begitu,” Kenny menarik napas panjang dan memeluk Keyla dari belakang, “kau boleh lelah. Aku akan di sini.”
Keyla memejamkan mata.
Ia ingin menjawab Tolong jangan tinggalkan aku.
Tapi suara itu hanya keluar dalam hati.
Di belakang mereka, di luar pintu balkon, seseorang memperhatikan dari kejauhan.
Siluet gelap.
Mata tajam.
Senyum tipis yang dingin.
“Aku akhirnya menemukanmu, Keyla… atau harus kupanggil dengan nama lamamu?”
Bayangan itu menghilang ketika angin malam berembus.
Dan ancaman itu kini benar-benar nyata.