NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Menusuk Harga Dirinya, Hatinya, Segalanya!

Sementara itu, rekaman klarifikasi dari Alex menyebar dengan cepat, menimbun segala rumor murahan yang sempat berkembang—terutama tuduhan keji bahwa Eve menjual diri pada Alex.

Rayyan secara sengaja mempercepat penyebaran rekaman itu. Seolah ingin membersihkan nama Eve secepat mungkin, ia menyebarkannya ke berbagai kanal hingga berita itu melesat bak jamur yang tumbuh liar di musim hujan.

Tak butuh waktu lama, kabar itu akhirnya sampai ke telinga Noah.

Awalnya, Noah mengira Eve memang sengaja melakukan semua itu demi melepaskan diri darinya. Ia merasa dihancurkan secara perlahan namun pasti.

Tapi begitu ia menyaksikan klarifikasi itu sendiri—di mana Alex dengan tenang menjelaskan bahwa foto-foto itu diambil pada malam pertama mereka sebagai suami istri, sebagai momen pribadi yang ingin ia abadikan—kemarahannya meledak.

Kepalanya terasa mendidih. Darahnya naik. Ia merasa diperdaya.

Cristina dan Celline, dua orang yang ia percaya, pernah mengatakan bahwa Alex adalah pria impoten.

Tapi sekarang? Apa yang ia lihat di layar membantah semua itu secara telak. Apa mereka mengira ia buta? Foto-foto itu tidak sekadar menunjukkan kebersamaan, tapi gair4h dan keintiman. Terlalu kuat untuk disangkal.

Apa itu yang mereka sebut impoten?

“Si4lan!” umpatnya sambil membanting ponsel ke atas meja dengan keras. Napasnya memburu. Dia merasa seperti orang paling bodoh di dunia karena pernah percaya pada dua wanita yang jelas punya kepentingan masing-masing.

Yang lebih menyakitkan, ia justru berharap Alex memang impoten. Ia akan lebih tenang jika Eve menikahi pria tak berdaya hanya demi terbebas darinya.

Tapi sekarang? Kenyataan bahwa mereka menghabiskan malam pertama penuh g4irah itu menusuk harga dirinya. Hatinya. Segalanya.

Tepat saat emosinya memuncak, pintu ruangannya terbuka. Celline masuk dengan wajah penuh senyum, membawa kotak makan siang seperti biasanya. Namun senyum itu langsung memudar ketika melihat wajah Noah yang gelap dan muram.

Awalnya ia tidak berniat datang. Tapi setelah membaca semua berita dan menonton klarifikasi dari Alex, rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Ia ingin tahu reaksi Noah—dan dugaannya tepat. Noah tampak sangat terguncang. Marah. Kesal.

Dan semua itu karena Eve!

Tapi Celline pura-pura tidak tahu. Ia memasang wajah cemas, mencoba terdengar peduli.

“Noah, ada apa denganmu? Kau terlihat ... marah. Apa ada masalah?”

Kedatangannya seperti menyiram bensin ke api yang sudah menyala. Noah menatapnya tajam, seperti sedang melihat musuh.

“Ya, masalahku datang dari orang yang sedang berdiri di hadapanku,” balasnya dingin.

Celline terpaku. “Apa maksudmu?”

Noah tidak menjawab dengan kata-kata. Ia meraih ponsel yang tadi dibanting, lalu menyodorkannya pada Celline—layarnya menampilkan rekaman konferensi pers Alex.

“Lihat ini. Kau bilang dia impoten. Tapi lihat baik-baik. Apa ini menurutmu impoten? Apa kau pikir aku sebodoh itu untuk percaya begitu saja?”

Celline terkekeh getir, meski wajahnya tak bisa menyembunyikan kegugupan. “Lalu apa pengaruhnya buatmu, Noah? Apa urusannya dia impoten atau tidak? Mereka sudah menikah! Mereka sah sebagai pasangan! Seharusnya kau berhenti peduli!”

Namun kata-kata Celline hanya membuat Noah semakin marah. Ia menatapnya tajam, seakan ingin menel4njangi semua kepalsuan yang pernah diucapkan wanita itu.

Sudah berpisah, baru terasa kehilangannya.

Bagaimana dia bisa berhenti peduli kalau sebenarnya dia masih mencintai Eve?

Saat itu juga, Noah melesat keluar dari perusahaan tanpa sempat memberi penjelasan pada siapa pun. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menekan pedal gas dalam-dalam, melajukan kendaraan seperti orang kesetanan ke arah toko milik Eve.

Hatinya mendidih, pikirannya penuh oleh wajah Eve dan semua kemungkinan yang selama ini ia abaikan.

Saat mobilnya berhenti mendadak di seberang toko, ia melihat sosok Eve baru saja keluar dari kendaraannya. Siluet perempuan itu terlihat jelas di bawah sinar matahari, berjalan cepat menuju pintu masuk.

Tanpa pikir panjang, Noah turun dan berjalan tergesa. “Eve! Tunggu!” serunya lantang.

Eve menoleh sekilas. Wajah Noah muncul di balik punggungnya—dan alih-alih berhenti, dia justru mempercepat langkah. Nyaris berlari.

“Eve, tunggu sebentar!”

Tapi Eve tetap menulikan telinga. Langkahnya mantap, seolah mengejar jarak yang tak pernah cukup jauh darinya.

Sampai akhirnya tangan Noah berhasil menarik lengannya.

“Berhenti kabur dariku!”

Eve menoleh tajam, wajahnya penuh luka yang belum sembuh. “Apa lagi yang kau inginkan, Noah? Datang ke sini untuk menyakitiku lagi dengan ucapanmu?”

Ia mengibaskan lengannya dengan kasar, menolak disentuh.

“Noah, hentikan semua ini. Kita sudah selesai. Kita sudah bercerai. Jangan lagi muncul di hidupku.”

Tatapan Noah meredup, tapi tetap keras. “Aku cuma ingin tahu satu hal. Saat kau masih bersamaku … apa kau sudah mengkhianati pernikahan kita? Dengan pria itu?”

Eve tersenyum miring. Ada sinis dalam sorot matanya. “Apa jawabanku masih penting?”

“Aku hanya ingin mendengar kebenaran darimu, Eve. Tanpa omong kosong. Jawab aku—apakah dia lelaki simpananmu selama ini?”

Eve menatapnya dalam diam. Lalu menghela napas panjang.

“Noah, kau tahu jawabannya. Kau hanya tidak mau menerima kenyataan. Kalau dari awal aku memang mengkhianatimu, apa aku akan bertahan di rumahmu? Apa aku akan diam saat ibumu menghina dan merendahkanku setiap hari?”

Noah tercekat. Eve benar. Selama ini ia tahu betul bagaimana ibunya memperlakukan Eve, tapi Eve tidak pernah melawan. Tidak pernah protes.

Eve melanjutkan dengan suara lirih tapi tegas. “Aku bertahan, Noah. Aku bertahan karena mencintaimu. Tapi pada akhirnya … kaulah yang membuatku menyerah.”

Noah tercekat. Kata-kata itu menusuk dadanya lebih dalam dari yang ia kira. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Semua kenyataan yang ia tolak selama ini kini menampar wajahnya tanpa ampun.

Ia hanya bisa menatap punggung Eve yang berjalan menjauh, kembali ke tokonya. Untuk pertama kalinya, Noah benar-benar merasa kehilangan.

Dia tidak lagi kembali ke perusahaan, tapi pergi ke kantor polisi untuk mempertanyakan kasus Eve dan Celline.

Ia ingin tahu—benar-benar tahu—siapa sebenarnya orang yang membebaskan Eve saat kasus itu muncul. Dulu, ia tidak peduli. Kemarahannya menutup telinga dan logikanya. Tapi sekarang, ia haus akan kebenaran.

Setibanya di kantor polisi, ia langsung menyampaikan maksudnya.

“Pak, kasus itu sudah ditutup dan kami juga sudah memberikan laporan resmi pada Anda,” ujar petugas jaga.

“Saya tahu. Tapi sekarang saya ingin tahu satu hal saja—siapa orang yang menjamin kebebasan Eve waktu itu? Siapa yang membawa bukti? Saya ingin memastikan dia bukan bagian dari kejahatan yang dilakukan Eve.”

Petugas itu menatapnya sejenak, lalu menghela napas berat. “Sebenarnya, Pak … wanita itu tidak bersalah. Semua bukti menunjukkan bahwa dia dijebak.”

Noah mengerutkan kening. “Apa maksud Anda? Bukankah pihak toko mengatakan kamera mereka rusak?”

“Kami juga berpikir begitu, Pak. Tapi ternyata—kamera itu tidak rusak. Pihak toko mendapat tekanan, bahkan suap. Dari Nyonya Celline.”

Deg.

Mata Noah melebar. Jantungnya berdetak kencang, seperti habis ditonjok kenyataan.

“Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?”

“Karena orang yang membebaskan Nona Evelyna memintanya tetap rahasia.”

Noah menarik napas dalam, seolah mencoba mengumpulkan keberanian.

“Orang itu … apakah dia Alexander Ace?”

Petugas itu mengangguk.

Dan Noah merasa seluruh dunia di sekitarnya mendadak runtuh. Sudah bisa ia duga. Tidak ada orang lain yang punya kuasa sebesar itu di kota ini selain Alex.

Tapi jika Alex punya bukti, mengapa ia membiarkan nama Eve tercemar begitu lama?

Noah menahan pertanyaan itu dalam hati. Ia meminta untuk melihat rekaman yang dijadikan bukti pembebasan Eve.

Di ruang pengawas, ia menyaksikan rekaman itu dengan mata kepala sendiri. Dipercepat. Diulang. Diperbesar.

Dan semuanya jelas—sangat jelas.

Eve tidak menyentuh Celline. Justru Celline yang terjatuh sendiri, melempar tubuhnya seolah terhempas badai. Akting murahan, namun cukup untuk menipu siapa pun tanpa bukti.

Kedua tangan Noah mengepal di atas meja. Rahangnya mengeras.

Celline yang merancang semuanya. Bahkan sampai menyuap dan mengancam pihak toko demi menjebak Eve.

Apa tujuannya? Apa ia sudah benar-benar kehilangan akal hingga tega membahayakan dirinya sendiri—dan bayinya?

Tapi Noah tahu, kalau ia langsung menghadapi Celline, wanita itu pasti akan menyusun seribu alibi dan air mata palsu.

Dia menatap layar monitor sekali lagi, lalu berdiri dengan sorot mata tajam.

“Kau pikir aku akan diam saja, Celline?” desisnya pelan. “Lihat saja. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya kau inginkan.”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!