“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
‘Sok cantik banget, sih!’
Puspa menatap sinis, menelusuri setiap langkah Ara. Dan ketika tatapan mereka bertemu—sejenak saja, dunia di sekitar Puspa seolah membeku.
Mereka tak saling melempar senyum, tak juga saling menyapa. Hanya pertukaran tatap penuh makna antara seorang istri yang tersakiti dan seorang wanita yang tega merusak biduk rumah tangga orang lain.
‘Ngapain sih, Si Mandul itu ngeliatin gue terus?! Ngerasa kalah saing?’ batin Puspa. Nyaris ia kesulitan menyembunyikan gugupnya.
Ara jelas mengetahui betapa gugupnya Puspa. Wajahnya terlihat seperti maling yang ketahuan mencuri. Ujung bibir Ara terangkat sebelah, mencetak senyuman remeh.
‘Dia ngeremehin gue? Dia kira, gue takut hanya perkara dia udah bikin gue malu di pestanya Ibu Mas Harry?!’
Puspa berjalan pelan, mengikuti ke mana arah sang saingan berjalan. Begitu melihat Ara masuk ke dalam Washroom, Puspa pun lekas menyusul.
Begitu tiba di depan pintu, Puspa menghentikan langkahnya sejenak ketika melihat Ara sedang membasuh tangan di wastafel. Kemudian, ia lanjut melangkah pelan—menghampiri Ara.
“Eh, Mbak Ara. Kita ketemu di sini, lagi ngapain, Mbak?” Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja di bibir Puspa.
Ara tak menjawab, ia hanya mengibaskan kedua tangannya yang basah sebagai jawaban dari pertanyaan konyol Puspa.
Selingkuhan suaminya itu langsung tersenyum kecut. Puspa membuang pandangannya, mematut penampilannya di cermin.
“Mbak diundang juga toh?” tanya nya datar.
“Jelas saya diundang, saya kan istri sah nya,” jawab Ara dengan senyuman cemooh.
Kedua tangan Puspa mencengkram erat sisi wastafel. Kemudian, ia tersenyum sinis.
“Oh ya, Mbak. Sorry banget ya yang kemarin, Mbak pasti tersinggung banget ya. Aku ceroboh banget—nggak seharusnya aku membahas perihal keturunan pada wanita yang tak kunjung hamil setelah menikah sekian tahun.” Puspa berusaha semaksimal mungkin menunjukkan sesal.
Namun, Ara tau betul bahwa wanita itu tak benar-benar menyesal. Ara jelas tau, Puspa sedang menghina dirinya dengan teknik kamuflase.
Ara hanya tertawa pelan. Dan Puspa terlihat semakin kesal.
“Mbak, kamu itu harusnya bercermin ... kenapa Ibu sampai nggak suka sama kamu. Coba perbaiki diri—sopan santunnya dijaga. Mbak ini nggak nyadar ya? Sudah sesulit itu memberi keturunan, jaga silahturahmi pun nggak becus. Gimana mertua bisa suka? Padahal, Ibu udah baik banget—menyetujui permintaan Mas Harry untuk menikah dengan wanita yang berasal dari keluarga tak setara—”
PLAK!
PLAK!
Pipi Puspa langsung ditampar kanan-kiri. Rasa panas dan nyeri pun seketika menjalar di wajahnya yang merah padam.
“Heh, Mandul! Jangan main kasar do—”
PLAK!
Sekali lagi, Ara menampar wajah Puspa. Namun kali ini, lebih kuat. Puspa nyaris terhuyung.
“Setara? Ngerasa se-kaya apa sih kalian, sampai meribut-ributkan perkara setara setara setara? Apa nggak malu, orang yang meributkan perkara setara ... tapi ngemis-ngemis ke si miskin ini demi minjem uang buat bayar hutang ganti rugi warung yang dibobol kemarin? Makan tuh setara!”
Puspa tak menyahut, ia sibuk mengusap pipinya yang pedih.
“Dan kamu ya, Puspa. Jangan pernah ikut campur di dalam konflik rumah tanggaku. Ini bukan ranahmu. —Perihal kau menggatal jual pukii sama laki ku, aku nggak peduli. Kau ambil sana si Harry, kau ikat di dalam sempak mu itu—biar dia nggak lari. Sedikitpun aku nggak ngerasa rugi kehilangan sampah yang tak bisa didaur ulang itu. Cuih!”
Rahang Puspa semakin mengeras mendengar kata-kata itu.
“Kau pikir, hidupku ini semurah harga dirimu—yang tiap hari mikirin batang suami orang lain? Nggak ada sejarahnya aku ngerebutin laki-laki ... macam Harry pula. Hidupku terlalu berharga untuk dilewatkan dengan moment semurahan itu. Kau sangat tergila-gila padanya, kan? Nyoooh, sana, ambiiiiil! Aku nggak peduli, tapi, jika sekali lagi kau berani menyebut-nyebut tentang keluarga ku—akan ku cabik-cabik buah dada tekewer-kewer mu itu!”
Ara menepuk kuat dada Puspa sampai wanita itu terhuyung beberapa langkah. Kemudian, Ara meninggalkan Puspa seorang diri.
Sekian detik, Puspa akhirnya kembali melangkah, hendak mengejar Ara. Namun, ketika ia tiba di ambang pintu—seseorang mencekal pergelangan tangannya. Mendorong tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam washroom—dan menyeretnya masuk ke dalam toilet.
“Jangan berteriak!” gumam sosok itu.
...****************...
Layar besar di panggung mulai menyala.
Semua tamu bersiap menyaksikan prestasi Harry dalam bentuk visual. Namun alih-alih muncul daftar penghargaan … justru yang muncul malah rekaman video berdurasi 47 detik.
“Wah? Serius itu si Harry? Gila! Sama siapa dia?!”
*
*
*
org tuh ya mbok sadardiri udah tau tanya bu farida mau pinjem blg gakda tp ya gak sadar kalo ditolak
malah makin jadi astagfirulloh tau diri bubur sumsum jadi org itu
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭