Anesha dan Anisha adalah kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun. Hidup bersama dan tumbuh bersama dalam keluarga yang sama. Namun mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Sebagai kakak, Nesha harus bekerja keras untuk membahagiakan keluarganya. Sedangkan Nisha hidup dalam kemanjaan.
Suatu hari saat mereka sekeluarga mendapat undangan di sebuah gedung, terjadi kesalah pahaman antara Nesha dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Hal itu membuat perubahan besar dalam kehidupan Nesha.
Bagaimanakah kehidupan Nesha selanjutnya? Akankah dia bahagia dengan perubahan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lempar Dollar
Seminggu kemudian pernikahan Fandi dan Nisha digelar secara sederhana. Hanya dihadiri sanak saudara dan tanpa pesta. Yang penting Ijab Qabul dan sah secara negara.
Pak Edi meminta agar Fandi tinggal bersama di rumahnya, karena Nisha masih belum mau berpisah dari sang ibu. Padahal Bu Rumi berharap Nisha mau tinggal di rumah mertuanya, agar gosip tentang keluarga ini segera mereda.
Citra Bu Rumi pun tercoreng dikalangan para ibu-ibu karena menjadi bahan gunjingan. Ia tak berani keluar rumah. Dulunya setiap sore ia akan ikut bergosip di halaman tetangga, kini ia lah yang menjadi bahan gosip.
"Pak, ibu malu banget!" seru Bu Rumi sambil mendudukkan diri di ranjang.
"Malu kenapa, Bu?" suara Pak Edi terdengar selalu teduh. Namun sebenarnya ia masih memendam rasa kecewa pada anak bungsunya.
"Tadi ibu nyapu halaman, eh para tetangga pada ngelihatin ibu sambil bisik-bisik", gerutunya Bu Rumi.
Pak Edi tersenyum sambil membelai surai Bu Rumi. "Nggak usah mikirin omongan orang, Bu. Nanti juga capek sendiri".
"Tau ah, Pak!" Bu Rumi membaringkan badannya memunggungi Pak Edi.
Sementara itu, Nesha di kamarnya sedang memoleskan skincare yang dibelikan Garvi. Sedangkan sang donatur masih mandi.
"Kamu makin cantik," bisik Garvi dari balik badan Nesha. Membuat Nesha terkejut sekaligus merinding.
"Ma-makasih, Mas", ucap Nesha malu-malu.
Garvi tampak memainkan ponselnya sembari duduk di tepi ranjang. Nesha menatap suaminya dengan intens seakan ada yang ingin ia sampaikan.
"Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanya Garvi sembari menatap balik Nesha sehingga membuat Nesha gelagapan.
"Anu, Mas. Kapan aku bisa ketemu sama ibumu, Mas?" Tanya Nesha sedikit ragu.
"Nanti akan ada waktunya", jawab Garvi. "Ibuku masih dalam masa pemulihan", sambungnya. Lalu diikuti anggukan Nesha.
Terlihat raut wajah Nesha yang kecewa. Padahal pernikahan ini sudah berjalan dua bulan, tapi tak pernah sekalipun bertemu dengan ibu mertuanya.
"Ayo jalan-jalan sore", ajak Garvi membujuk Nesha.
"Kemana, Mas?" Nesha mengernyitkan dahi, tumben suaminya itu ngajak keluar.
"Baiklah. Saya akan bersiap, Mas." Nesha segera pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Meskipun sudah berstatus suami istri, Nesha dan Garvi masih membatasi diri masing-masing. Bahkan mereka jarang sekali melakukan kontak fisik. Apalagi melakukan hubungan suami istri.
"Kamu ngapain?" Tanya Nisha yang melihat kakaknya itu membawa baju ganti.
"Ganti baju", jawab Nesha enteng.
"Hah?" mulut Nisha ternganga lebar mendengar jawaban Nesha. "Kan bisa dikamar? Ngapain di kamar mandi?"
"Ada Mas Garvi di kamar".
"Kalian kan udah nikah, ngapain malu? Dasar aneh", celetuk Nisha. Kemudian Nisha kembali ke kamarnya setelah mengisi botol air minum.
"Iya, ya. Kayaknya aneh hubunganku dengan Mas Garvi. Dia nggak pernah sekalipun menyentuhku. Bahkan memegang tanganku pun tak pernah kecuali saat memakai kan cincin pernikahan ini", batin Nesha seraya mengangkat tangan kanan yang tersemat cincin di jari manisnya.
Ia kembali ke kamar, Garvi sedang menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya. Tubuh yang bertelanjang dada.
Lagi-lagi Nesha malu setiap kali Garvi tak memakai kaos. Padahal ia sudah berkali-kali melihat pemandangan indah seperti itu.
"Sebelum berangkat, ada yang mau ku kasih ke kamu", ucap Garvi seraya memakai kembali kaosnya.
"Apa Mas?"
Garvi membuka dompet usang yang pernah Nesha lihat sebelumnya. Lalu mengambil beberapa lembar uang berwarna merah.
"Ini nafkah yang kuberikan. Mungkin tak banyak, semoga bisa memenuhi kebutuhanmu", Garvi menaruh lembaran uang tersebut ditangan Nesha.
Hati Nesha terasa berdesir mendengar kata 'nafkah' terucap dari Garvi. Ini adalah nafkah materi pertama yang ia terima. Belum nafkah lainnya. Eh, nafkah lainnya? Tiba-tiba wajah Nesha memerah karena memikirkan hal lain.
"Kamu kenapa?" Garvi bingung melihat wajah Nesha yang tiba-tiba merona. "Kamu sakit?" lalu ia menempelkan telapak tangannya di dahi Nesha.
"Saya nggak sakit, Mas. Ayo berangkat!" ajak Nesha seraya menepis tangan Garvi. Ia tak ingin lama-lama ditatap oleh suaminya.
Mereka berdua naik motor menyusuri jalanan kota. Lalu berhenti di taman untuk membeli cilok.
"Apa ini?" Tanya Garvi ketika Nesha menyerahkan seplastik cilok. Nesha terpaku dengan pertanyaan Garvi yang seolah belum pernah makan cilok. Padahal biasanya cilok adalah makanan favorit tukang ojol kalau lagi nunggu penumpang atau orderan.
"Mas nggak pernah makan cilok?" Nesha balik tanya sembari mengernyitkan dahi curiga.
"Ma-maksudku apa ini penjual langganan kamu?" Garvi berkilah. Ia sangat gugup.
"Bukan, Mas. Makan aja, enak kok", jawab Nesha tanpa curiga lagi.
Lalu Garvi menggigit ujung plastik dan memakan cilok di pinggir jalan sambil menikmati suasana sore hari yang sejuk.
"Gini aja udah nikmat, ya?" Gumam Garvi. Lalu menoleh Nesha yang duduk disampingnya. Ia menatap intens istri dadakannya itu. Wajah kecil dengan hidung mancung, lalu tahi lalat kecil di bawah bibir sudut kanan serta mata sayu yang tampak teduh. Wajahnya sangat mirip bapak mertuanya.
Tak terasa senja sore berubah menjadi petang dan berganti malam. Nesha dan Garvi pun memutuskan untuk pulang.
Sebelum pulang, Nesha menyempatkan untuk membeli Martabak manis dan martabak telur untuk oleh-oleh orang rumah.
Sesampainya di rumah, semua sedang berkumpul di ruang tamu, kecuali Pak Edi. Beserta anggota keluarga baru, Fandi.
"Assalamualaikum", ucap Garvi dan Nesha barengan. "Waalaikumsalam", jawab semua orang kompak.
"Bu, ini martabak manis dan telor", ujar Nesha seraya meletakkan dua kantong kresek putih diatas meja.
"Baru gajian kamu, Nes?" Tanya Nisha sambil membuka salah kresek.
"Iya alhamdulillah. Tadi dikasih uang juga sama Mas Garvi." jawab Nesha ikut duduk bersama.
"Besok ibu bayar arisan dan juga cicilan daster, Nes. Belum lagi kopi bapakmu juga habis. Kamu belum beli sabun mandi dan sabun cuci, kan?" cerocos Bu Rumi sembari mengunyah martabak telur.
"Itu kewajiban Nesha, Bu?" Tanya Garvi dengan santai.
"Kan biasanya yang beli Nesha. Emangnya kenapa? Kamu keberatan?" Nisha melirik tajam kearah Garvi. Kali ini ia tak takut karena ada ibu dan Fandi yang pasti akan membelanya.
"Memangnya dirumah ini hanya ada istri saya? Selama ini uang kamu buat apa?" Garvi menegakkan tubuhnya sambil mendongakkan kepala. Suara bariton tegasnya mengintimidasi sang adik ipar. Membuat Nisha sedikit menciut.
Tak terima jika istrinya terlihat ketakutan, Fandi dengan gagah membela Nisha.
"Istriku itu butuh perawatan biar tetep cantik. Kalau istrimu kan udah biasa penampilan kucel. Ya mending uangnya digunakan untuk beli kebutuhan, kan?" sahut Fandi sambil mengelus wajah Nisha. Ia memandang remeh Garvi dan Nesha.
Sedangkan Bu Rumi hanya mengangguk membenarkan ucapan menantu 'si paling kaya' itu.
"Dasar mental miskin!" seru Garvi dengan santai namun menusuk. Membuat semua orang terbelalak.
Nesha menarik lengan suaminya agar tak meneruskan perdebatan ini. "Udah mas, ayo masuk kamar aja".
Garvi pun berdiri sambil mengeluarkan dompet seraya menarik dua lembar uang kertas dan melemparnya diatas meja. "Buat beli kebutuhan kalian!"
Fandi, Nisha dan Bu Rumi melongo melihat dua lembar uang asing bertuliskan angka 100 dollar.