Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mempertahankan yang tak seharusnya dipertahankan
Beberapa kali Runa memanggil pamannya karena tidak lagi menimpali. “Paman, jangan bilang jika Paman benar-benar menyukai sahabatku.” Kata Runa dengan sorot mata tajam.
“Runa, jangan mengurusi urusanku. Lebih baik kamu menikah karena jika hidup di desa kamu akan mendengar kata ‘perawan tua’,” ejek Aroon karena tidak ingin Runa terus menerus memojokkannya.
“Cih, dasar munafik. Jika Paman benar-benar menyukainya, maka aku akan mendukung.” Sontak perkataan Runa membuat Aroon menatap keponakannya dengan rasa tidak percaya. Entah apa yang ada di pikirannya hingga mendukung sebuah perselingkuhan.
“Runa, dengar baik-baik. Ini bukan novel atau drama yang ada di televisi yang harus mendukung sebuah perselingkuhan,” dengus Aroon, setelah menyeruput secangkir kopi. Ia pun pergi dan tak lagi mendengar celoteh keponakannya itu.
________________
Sedangkan di tempat lain.
Hening, pagi yang tak seperti biasanya dan sedikit bersuasana hening.
Bukan tanpa alasan jika Luna belum juga keluar, bahkan pemandangan di pagi hari sudah membuatnya hatinya tertusuk oleh sembilu. Kehangatan yang seharusnya menjadi miliknya, kini dimenangkan oleh orang lain.
Sekejam itukah kisah rumah tangga mereka? Antara ingin menyerah dan terus bertahan, menjadikan Luna hancur bak kepingan kaca.
“Mas, selama aku mampu. Selama itu juga aku akan bertahan, membiarkanmu seperti sekarang, itu sama saja akan membuatmu berada di garis finish.” Perlahan mengusap air matanya, bersiap untuk ke sekolah karena dengan begitu, untuk sesaat masalah akan hilang.
Dari luar sana, terlihat jika kedua insan bak pasangan paling bahagia. Bercanda di dapur dan menyiapkan sarapan pagi. Tanpa menyadari ada hati yang terluka disebabkan oleh mereka.
“Bu, Ibu sudah bangun?” Dengan wajah ceria Emilia menegur mantan gurunya itu.
“Uhm, maaf karena ibu kesiangan.” Jawab Luna dengan wajah berusaha ia sembunyikan.
“Tidak apa-apa, karena yang membuat menu pagi ini adalah mas Arindra. Kita sarapan sebelum Ibu berangkat!” ajak Emilia seraya menggandeng tangan Luna.
“Inikah rumah lain yang kamu inginkan Mas, lalu apa gunanya kamu membangun bahtera rumah tangga denganku?” Pertanyaan itu tertahan, rasanya tak sanggup jika harus mengungkapkannya.
Luna tidak menolak dan langsung menuju ke arah meja makan bersama Emilia.
Rupanya di meja Arindra sudah menyiapkan sepiring nasi beserta lauk kesukaannya. Hal tersebut semakin membuat Luna ingin menjerit.
“Bu, kata mas Arin ini adalah menu kesukaan Ibu.” Kata Emi.
“Itu benar, sejak dia masih muda. Aku selalu melihat makanan ini di depannya,” timpal Arin dengan tawa kecil.
“Tuhan, kenapa sesakit ini. Dia masih ingat dengan makanan kesukaanku, tapi kenapa dia lupa siapa aku.” Hati mana yang tak sakit jika harus menjalani kehidupan seperti ini. Namun, Luna hanya bisa menahan sampai benar-benar tidak mampu lagi dan berada di titik lelah.
“Sayang, makan yang banyak.” Kata-kata yang dikeluarkan Arin seolah bentuk dari rasa peduli. Luna pun menerima tanpa ekspresi.
“Aku sudah kenyang, kalian lanjutkan saja. Aku lupa jika harus mengurangi porsi makanku juga,” pamit Luna dengan dada bergetar.
“Sayang, aku bawakan bekal, ya?” Lagi, bahkan Arin tidak menyerah dan terus memperlihatkan kepedulian batin sang istri yang kini terluka parah.
“Nanti siang kami ada acara dan berniat untuk makan di luar.” Jawab Luna.
Arin pun yang mengerti langsung mengangguk. Tidak ingin menyita waktu istrinya, ia pun lekas mengantar ke luar rumah.
Luna sudah pergi, kini hanya ada Arin dan Emilia.
“Mas, sepertinya aku harus segera pindah. Aku merasa malu ketika bersama bu Luna,” ujar Emi.
“Memangnya kamu sudah mendapat pekerjaan?” tanya Arin.
“Belum, aku masih mencari. Sulit jika harus membagi waktu untuk kuliah juga, makanya belum ada yang menerimaku.” Jawab Emi dengan sedikit kecewa.
“Em, maaf. Perusahaanku belum ada lowongan, jadi aku tidak bisa membantumu. Kita tunggu sampai kamu menemukannya,” usul Arin terhadap Emi.
“Bu Luna terlalu baik untuk aku yang sudah mengecewakannya. Seandainya aku tidak kembali, mungkin kejadian ini tak akan terjadi.”
Perasaan bersalah mulai menghantuinya. Meski mantan gurunya terlihat baik-baik saja, bukan berarti wanita berusia 30 tahun itu kecewa atas pengkhianatan darinya dan suaminya.
“Emi, dengarkan aku baik-baik. Meski kamu tidak kembali, bahkan bagiku sulit untuk berjalan yang semestinya. Merasa bahwa ada sesuatu hilang dari dalam sini, bahkan berusaha melawan perasaan itu, semakin aku tidak dapat melakukannya.”
“Faktanya kamu sudah melukai bu guru! Jika saja kamu berani sedikit. Mungkin tak akan serumit ini,” sahut Emilia.
“Aku salah, tapi aku juga tidak bisa memperbaikinya.”
“Itu karena kamu pengecut!” Seraya meninggalkan Arin di meja makan sendirian, Emi pun memilih pergi dan terus merenungkan setiap kejadian demi kejadian yang seharusnya bisa dicegah.
“Emi, tunggu. Kamu mau ke mana?”
“Ingin berjemur di bawah sinar matahari, ingin tahu seberapa panasnya itu.” Setelah menjawab Emi pun pergi.