"Mulai sekarang gue yang jadi tutor lo sampai ujian kenaikan kelas."
Awalnya Jiwangga hanya butuh Keisha sebagai tutornya, itupun dia tidak sudi berdekatan dengan anak ambis seperti Keisha.
Sayang seribu sayang, bukannya menjauh, Jiwangga malah dijodohkan dengan Keisha.
Lantas bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mashimeow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Razia
Jiwangga tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak datang di kelas bimbingan belajar milik Keisha. Bahkan setelah melihat tingkah manis dari gadis itu tidak membuat Jiwangga gentar. Seolah pertemuan di perpustakaan kala itu sama sekali tidak meninggalkan kesan manis untuknya.
Pemuda itu tetap menjadi dirinya sendiri yang selalu membuat keributan di SMA Manggala. Kemarin, Jiwangga, Tristan, River, dan Lucas baru saja memecahkan kaca jendela lab kimia. Mereka bermain bola kasti tidak kenal tempat berujung lemparan bola itu mengenai jendela. Beruntungnya tidak ada korban di dalamnya karena saat itu keadaan lab sedang kosong.
Hanya saja keempat pemuda bangor itu diminta untuk hormat bendera sampai jam pulang tiba. Dia mengiakan tetapi tidak benar-benar melaksanakannya. Di menit ke 40 Jiwangga mengajak tiga temannya untuk pergi ke tongkrongan dan tidak kembali sampai jam pembelajaran selesai.
Jiwangga melangkah masuk ke dalam kelas sambil merangkul pundak Julian akrab. Pemuda itu langsung berjalan menuju barisan bangku paling belakang. Tasnya dilempar asal ke atas meja sedangkan si pemilik mengambil ponsel dan login ke akun game onlinenya. Jiwangga juga menyumpal telinganya dengan earphone agar tidak terganggu oleh bisingnya suara siswa lain.
Memang pesona seorang Jiwangga Abram tidak perlu diragukan lagi. Baru saja dia duduk, seolah bagaikan magnet yang menarik perhatian banyak gadis. Mila melambaikan tangan ke arah pujaan hatinya. Pemuda itu hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada permainannya.
“Jiwa, nanti balik sekolah lo ada acara nggak?” tanya Mila seraya berjalan mendekat ke arah bangku Jiwangga. Gadis berambut hitam panjang lurus itu mengisi ruang kosong di sebelah Jiwangga untuk diduduki. Namun respon pemuda itu masih cuek dan dingin.
“Jalan yuk, gue kemarin iseng beli tiket bioskop tapi bingung mau nonton sama siapa.” Mila tidak putus asa karena diabaikan begitu saja oleh Jiwangga. Jemari mungilnya tergerak untuk mentoel tangan si tampan agar mendistraksi permainannya.
“Lo kalau mau nonton ya nonton aja sendiri,” balas ketus Jiwangga.
“Nggak seru dong kalau sendirian aja. Gue maunya nonton sama lo. Ayo nanti nonton ya,” rengek Mila sambil menggoyangkan tangan Jiwangga agresif.
Jiwangga menepis kasar tangan teman satu kelasnya itu dengan memberikan tatapan mata tajam. Ia tidak suka disentuh oleh orang yang memiliki maksud lain. Pemuda tampan dengan kulit sawo matang itu berniat ingin pindah duduk tetapi terhenti saat mendengar suara menggelegar dari Joshua.
“WOY BAKAL ADA RAZIA! CEPAT SIMPAN SEMUA BARANG-BARANG LO KALAU MAU AMAN,” teriak Joshua yang masuk ke dalam kelas dengan langkah terbirit-birit. Pemuda bertubuh bongsor itu menyambar tas di depan meja milik Jiwangga kasar. Berusaha menyembunyikan isi tasnya yang terlalu riskan untuk dibawa ke sekolah. Sepasang netra bulat itu melebar sempurna dan ada banyak sekali bulir keringat di sekitar keningnya. “Kelas sebelah udah digeledah dan banyak yang diambil,” sambung Joshua.
“Anjing, siapa yang tugas Josh?” tanya Yaffa.
“Keisha, Gilang, sama—“
“Gue,” kata seorang dengan badge nama Jeha Sebastian memotong ucapan Joshua secara lancang.
Beberapa anak OSIS masuk ke dalam kelas XI IPA 2 sambil membawa sebuah kotak kosong di tangan masing-masing. Kedatangan Jeha dan rekan-rekannya yang tanpa permisi membuat semua murid di dalam ruangan itu mematung. Semua terjadi begitu cepat sampai mereka tidak bisa mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Keisha mengambil bagian melakukan razia di deretan meja milik Jiwangga. Memang ada gunanya memohon pada Jeha saat menukar shift anak lain dengan dirinya. Gadis itu melakukan tugasnya dengan baik untuk menyita barang yang tidak seharusnya dibawa ke sekolah oleh teman-temannya. Kotak di tangan si cantik sudah terisi hampir separuh.
Semua berjalan lancar sampai di bangku terakhir milik Jiwangga. Keisha merasa ada hawa tidak menyenangkan yang ditunjukkan oleh sosok perempuan di sebelah si biang onar. Sedangkan pemuda yang biasa menjadi rivalnya ini terlihat biasa saja. Jiwangga hanya melihat ke arah Keisha dalam diam.
“Keluarin semua yang ada di tas lo,” kata Keisha.
“Nggak ada barang penting, lanjut aja ke anak lain,” balas Jiwangga.
“Cepat taruh di atas meja,” balas Keisha mengindahkan ucapan pemuda di hadapannya.
“Gue bilang nggak ada.” Jiwangga menarik tas ranselnya menjauh dari meja tetapi pergerakan dari Keisha lebih dulu menahannya.
“Kuping lo bisa berfungsi nggak sih? Jiwa bilang nggak ada ya artinya lo bisa lanjut,” sahut sinis Mila.
“Semua kan harus dibuktiin dulu benar atau nggaknya. Kalau asal ngomong doang jatuhnya gue nggak profesional dong. Dari pada lo sibuk khawatir ke Jiwangga, mending lo ambil tuh alat-alat make up lo nanti pulang sekolah di ruang BK,” lontar Keisha santai namun terdengar sinis.
Keisha membuka resleting tas milik Jiwangga dan memeriksa satu persatu isi di dalamnya. Atensi si puan tertuju ketika melihat sebuah pemantik api elektrik dan satu bungkus rokok yang masih utuh. Ada pula kunci motor pemuda itu berada dalam satu tempat yang sama. Keisha lalu mengambil keduanya dari dalam tas Jiwangga.
Jiwangga yang semula acuh lalu membulatkan matanya lebar sebab terkejut. Ia mencoba untuk meraih kembali kunci motornya dari genggaman tangan Keisha. Pemuda itu tak lagi duduk nyaman di kursi dan kini berdiri tepat sejajar dengan calon tutornya.
“Balikin kuncinya,” titah Jiwangga.
Keisha menggelengkan kepala enggan. “Kalau lo mau dua barang ini balik, ambil sendiri ke gue nanti setelah selesai kelas tutor,” tolak Keisha.
“Jangan bikin gue ngomong dua kali Keisha Zievanna,” kata Jiwangga dingin.
“Lo ambil sendiri nanti. Gue tunggu di kelas biasa,” ucap Keisha acuh.
Keisha membawa kotak berisi hasil razia ke depan kelas bersama teman-temannya yang lain. Ia melirik jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 06.50. Kurang dari 10 menit lagi bel masuk dibunyikan. Setelah tidak ada urusan lagi mereka langsung pergi keluar dari kelas XI IPA 2.
Jiwangga melampiaskan kekesalannya dengan menendang meja di hadapannya kencang. Dia tidak masalah jika Keisha ingin membawa rokok juga koreknya. Tidak dikembalikan pun tidak apa. Kalau kunci motornya yang diambil bukankah sudah keterlaluan? Melihat respon Jiwangga yang terlihat tidak baik-baik saja membuat Mila ketakutan.
***
Pak Cipto: Mbak, maaf hari ini Bapak nggak bisa jemput dulu ya. Punggung Bapak keseleo karena salah posisi tidur semalam.
Pak Cipto: Mbak Keisha nanti pulang sendiri dulu ya.
Pak Cipto: Bapak minta maaf ya nggak bisa jemput.
Keisha memberikan respon hati sebagai balasan atas pesan yang dikirimkan oleh Cipto. Baru saja perempuan itu keluar dari area sekolah menuju pos satpam depan. Penantiannya berujung sia-sia hari ini karena Jiwangga tidak juga datang. Hampir satu bulan belum menunjukkan hasil yang diinginkan.
Area sekolah benar-benar sepi karena semua murid sudah pasti pulang ke rumah masing-masing. Keisha sudah memesan ojek online tetapi belum ada satu pun yang mengambil pesanannya. Entah ini pengaruh sinyal yang buruk atau ada faktor lain. Hari semakin sore jujur saja membuat perasaan si cantik sedikit tidak tenang.
Keisha melihat pada langit yang semakin gelap. Tidak banyak siswa yang masih tinggal di sekolah. Kalau masih ada seseorang yang bisa diminta pertolongan, sudah pasti gadis itu akan meminta untuk diantar pulang.
“Belum pulang Kei?” tanya Julian.
Keisha menoleh dan mendapati presensi Julian bersama motor vespa matic sebagai tumpangannya. “Iya nih, supir gue nggak bisa jemput tuh lagi sakit pinggang katanya. Mau pesan ojol tapi dari tadi nggak ada yang nyangkut. Sebal banget gue,” jawab Keisha lesu.
“Ayo naik, gue antar balik.” Julian berkata sambil menepuk jok motornya yang memang kosong sejak awal. Pemuda dengan lubang cacatnya yang membuat wajahnya semakin menarik itu tidak berhenti untuk tersenyum ramah. Hal yang jarang sekali dia tunjukkan di keramaian.
“Nggak ngerepotin?” tanya Keisha.
“Gue ikhlas lahir batin boncengin lo,” balas Julian santai. “Lagian kapan lagi bisa antar crush gue kalau nggak sekarang,” gumam pemuda itu.
“Lo bilang apa barusan?” tanya Keisha memastikan.
“Hah? Enggak, lo salah dengar kali. Nih helmnya,” ucap Julian sambil memberikan helm cadangan dari dalam jok pada Keisha.
“Nanti gue ganti uang bensinnya ya begitu sampai rumah.” Keisha memakai helm itu kemudian. Ia tidak bisa menyatukan pengaitnya dengan benar. “Jul, ini kok nggak bisa ya dikaitin? Tolong dong,” pinta gadis itu.
Julian refleks membantu gadis pujaan hatinya itu dalam memasang kaitan helm. Berada dalam jarak sedekat ini dengan Keisha membuat Julian tidak bisa menahan degupan jantungnya yang cukup gila. “Apaan dah Kei. Nggak usah lo ganti kayak sama siapa aja. Kan udah sewajarnya teman saling bantu,” ucap Julian.
“Hehe makasih ya Jul. Gue nggak nyangka ternyata lo orangnya baik gini, nggak rese kayak anak-anak Chaos Brotherhood lainnya,” kekeh Keisha.
“Gue begini juga pilih-pilih kali Kei. Malas banget kalau harus selalu baik ke orang lain.”
Julian menghidupkan kembali mesin motornya dan menunggu Keisha untuk naik. Si cantik berpegangan pada pundak Julian sebagai tumpuan. Setelah menyamankan posisi, motor vespa matic itu melaju pergi meninggalkan kawasan sekolah.