Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Di atas atap lantai 36 gedung pencakar langit itu, Deon akhirnya bisa bernapas. Jauh dari ruang kantor yang menyesakkan, jauh dari senior menyebalkan, dan terutama jauh dari ayahnya.
Di sini, dia bebas. Bebas mengumpat, berteriak sekuat tenaga, bahkan menendang angin seolah itu bisa menghantam semua orang yang membuat harinya berantakan.
Angin kencang menerpa tubuhnya, tapi Deon tak peduli. Dengan tangan gemetar, dia merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik.
Api menyala, asap pertama dihisap dalam-dalam sebelum dihembuskannya bersama segala kekesalan yang mengendap di dadanya.
Hening.
Setidaknya sampai tiba-tiba…
SREK!
Sebuah tangan tiba-tiba merebut rokok dari jarinya lalu melemparkannya ke lantai, sebelum dengan santai menginjaknya sampai padam.
Deon menoleh, matanya membelalak. “Lo apaan sih?!” bentaknya, tak terima rokoknya diperlakukan seperti sampah.
Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambutnya tergerai tertiup angin, tangan kanannya memegang segelas kopi.
Dia menyesap minumannya tanpa rasa bersalah sedikit pun sebelum akhirnya melirik Deon dengan tatapan malas.
“Mereka bakal lebih menyiksa lo kalau tahu lo merokok,” ucapnya santai.
Deon menyipitkan mata. “Maksud lo?”
Perempuan itu mengangkat bahu acuh. “Anak magang dilarang merokok di kantor ini.”
“What?! Peraturan siapa kek gitu?!” Deon hampir tertawa. Ini kantor atau sekolah?
Perempuan itu hanya kembali menyeruput kopinya tanpa menjawab.
Deon menatapnya penuh selidik. “Lo siapa sih? Datang-datang berani banget matiin rokok gue.”
Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi seakan pertanyaan Deon tidak penting.
“Gue? Gue bukan siapa-siapa. Sama kayak lo, cuma anak magang.”
Deon mengernyit, makin penasaran. “Terus ngapain lo di sini?”
Perempuan itu akhirnya menatap Deon, senyum tipis terukir di wajahnya. “Mungkin... sama kayak lo. Melampiaskan amarah.”
Deon melirik perempuan di sebelahnya dengan mata menyipit. Angin kencang menerpa rambutnya, tapi dia tetap berdiri santai, menyeruput kopinya seakan dunia tidak ada urusannya dengan dia.
Sikapnya itu membuat Deon sedikit terganggu. “Lo nggak ada kerjaan, ya?” tanyanya akhirnya.
Perempuan itu melirik sekilas, lalu mengangkat bahu. “Harusnya gue tanya lo balik. Anak magang bolos kerja di atap gedung, bukan ide cerdas.”
Deon mendengus. “Ya, karena kerja gue cuma disuruh ini-itu kayak pesuruh. Jadi, apa salahnya gue kabur sebentar?”
Perempuan itu terkekeh kecil. “Oh, jadi lo korban juga?”
Deon menoleh cepat. “Korban?”
Perempuan itu menyesap kopinya lagi sebelum menjawab. “Anak magang di sini cuma punya dua pilihan, kerja rodi atau jadi sasaran empuk senior-senior sok kuasa.” Dia melirik Deon dengan ekspresi datar. “Tebak, lo masuk kategori yang mana?”
Deon mengangkat alis. “Kalau gue bisa, gue milih kategori keluar dari sini sekarang juga.”
Perempuan itu terkekeh, kali ini lebih lama. “Sayangnya, itu bukan opsi.”
Deon memperhatikan perempuan itu lebih lama. Caranya bicara santai, seakan dia sudah tahu semua neraka yang ada di tempat ini. “Lo udah berapa lama magang di sini?” tanyanya akhirnya.
Perempuan itu menatap langit sebentar, berpikir. “Cukup lama sampai tahu kalau lo bakal balik ke bawah dengan lebih banyak masalah setelah ini.”
Deon mendengus. “Lo meramal, sekarang?”
“Nggak perlu. Senior lo pasti lagi cari-cari lo di bawah. Percaya sama gue.”
Deon mendesah, kepalanya menengadah ke langit. “Ya Tuhan, kenapa gue harus ada di tempat ini…”
Perempuan itu menepuk pundaknya ringan sebelum beranjak pergi. “Tanya aja ke yang nyuruh lo magang di sini.”
Deon menoleh, nyaris memanggilnya lagi, tapi perempuan itu sudah berjalan santai menuju pintu atap.
Sebelum masuk, dia melirik ke belakang dan menyeringai. “Oh ya, kalau lo butuh tempat kabur, atap ini tempat aman… asal jangan ketahuan.”
Dan dengan itu, dia menghilang.
Deon mengerutkan kening, lalu terkekeh sendiri. “Gue bahkan nggak tahu nama lo, tapi lo lebih masuk akal daripada semua senior gue di bawah.”
Sial.
Sepertinya dia baru saja menemukan satu-satunya orang waras di tempat ini.
__
Deon masih berdiri di tempatnya, menatap pintu atap yang baru saja tertutup di belakang perempuan itu. Angin menerpa wajahnya, tapi pikirannya masih sibuk memproses obrolan tadi.
Siapa sebenarnya cewek itu?
Dia menghela napas panjang, menendang kecil ujung sepatunya ke lantai. “Gue bahkan nggak tahu namanya…” gumamnya sendiri.
Tapi sebelum dia bisa merenung lebih jauh..
BREEETTT!!
Pintu atap mendadak terbuka kasar.
"DEON!!!”
Deon nyaris lompat karena teriakan itu. Di ambang pintu, seorang seniornya berdiri dengan wajah merah padam, seperti siap mencabik-cabiknya hidup-hidup.
“LO NGAPAIN DI SINI?! KABUR DARI KERJAAN, HAH?!”
Deon mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum miring. “Yaelah, Bang. Gue cuma cari angin.”
Seniornya menggeram, wajahnya makin berkerut karena emosi. “LO GUE SURUH AMBIL DOKUMEN, MALAH KABUR KE SINI BUAT NGEROKOK?!”
Deon mengangkat tangan. “Tenang, tenang… tuh rokok aja udah mati.”
Seniornya melirik ke lantai, melihat puntung rokok yang sudah diinjak habis. Matanya menyipit. “Siapa yang matiin?”
Deon tersenyum kecil, mengingat kejadian barusan. “Malaikat penjaga anak magang,” jawabnya santai.
Seniornya makin bingung, tapi jelas tidak punya waktu untuk membahas hal itu. “GUE KASIH WAKTU LIMA DETIK BUAT LO TURUN, KALAU NGGAK-”
“Ya, ya, ya… gue ngerti,” potong Deon dengan malas. Dia melangkah santai menuju pintu, melewati seniornya yang masih mengomel keras.
Saat menuruni tangga darurat, pikirannya masih kembali ke perempuan tadi.
Anak magang yang kabur ke atap buat ngopi dan seenaknya sendiri nginjek rokok orang lain?
Senyum kecil terukir di wajahnya.
Sepertinya kantor neraka ini baru saja jadi sedikit lebih menarik.
Begitu kembali ke lantai tempatnya bekerja, Deon langsung disambut tatapan tajam dari para senior.
Beberapa melipat tangan di dada, sementara yang lain hanya menatapnya dengan seringai puas, seperti baru saja menangkap buronan yang kabur dari penjara.
"Magang baru kok udah berani hilang tanpa izin?" salah satu senior bersuara dengan nada mengejek.
Deon mengangkat bahu santai. "Gue cuma cari udara segar, Bang. Gak ada aturan magang dilarang bernapas, kan?"
Tawa kecil terdengar dari sudut ruangan, tapi langsung teredam saat senior yang lain melangkah maju dan menghantamkan setumpuk dokumen ke mejanya.
"Nih, kerjaan lo. Beresin sebelum jam makan siang."
Deon melirik tumpukan itu dengan ekspresi malas. "Gue magang jadi pegawai administrasi atau pesuruh, sih?"
"Lo magang jadi apa aja yang kami suruh."
Deon mendengus, menjatuhkan diri ke kursi, lalu mengambil dokumen pertama. Tapi belum sempat dia membalik halaman, seseorang tiba-tiba menepuk keras meja di depannya.
BRAK!
"JANGAN BANYAK PROTES, BOCAH! DI SINI LO KERJA, BUKAN LIBURAN!"
Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Deon.
Tapi alih-alih ketakutan, Deon hanya tersenyum miring. "Tenang aja, Bang. Gue kerja kok."
Tangannya mulai menandai beberapa dokumen, pura-pura serius membaca. Lalu, dengan nada santai, dia menambahkan.
"Tapi kalau ada satu aja yang nyuruh gue beli makan atau mijitin pundak lagi… jangan salahin gue kalau ada dokumen penting yang tiba-tiba ‘hilang’ dari meja atasan."
Keheningan memenuhi ruangan. Beberapa senior saling pandang, sementara yang lain mulai mengetik lebih pelan.
Deon menyeringai kecil, lalu kembali fokus ke dokumen di tangannya.
Sejak hari itu Deon sadar, kalau dia mau bertahan di kantor ini tanpa jadi budak, dia harus main cerdik. Dan itu berarti… waktunya balas dendam dengan cara yang lebih menyenangkan.
Hari pertama misinya dimulai dengan sesuatu yang sederhana.
Ketika salah satu seniornya meninggalkan meja untuk ke toilet, Deon dengan santai mengambil mouse-nya dan menempelkan selembar kecil selotip di bawah sensor. Hasilnya? Saat senior itu kembali dan mencoba menggerakkan kursor… mouse-nya mati total.
"Loh? Kok nggak gerak?" Senior itu mulai mengguncang-guncangkan mouse, menekan tombol dengan panik.
Deon pura-pura fokus mengetik, menahan tawa saat senior itu mengumpat dan akhirnya memanggil IT support. Butuh waktu 30 menit sebelum mereka sadar masalahnya hanya sepotong selotip kecil.
Satu poin untuk Deon.
Keesokan harinya, Deon naik level.
Dia mengganti shortcut desktop salah satu senior dengan link ke video tutorial tari tradisional. Jadi setiap kali senior itu mengklik file kerjaannya… muncullah penari-penari yang dengan semangat mengajarkan gerakan tangan gemulai.
Reaksi seniornya? “ANJIR APAAN INI?! KENAPA FILE GUE JADI BEGINI?!”
Sementara yang lain menahan tawa, Deon hanya pura-pura menatap layar dengan polos. “Mungkin komputer abang pengen lo lebih fleksibel dalam bekerja.”
Dua poin untuk Deon.
Tapi puncak kejahilannya terjadi saat makan siang.
Salah satu senior yang paling sering menyuruhnya beli kopi meletakkan gelasnya di meja, seperti biasa.
Tanpa ragu, Deon merogoh sakunya, mengeluarkan satu sachet garam, lalu menuangkan sedikit ke dalam kopi senior itu saat dia lengah.
Beberapa menit kemudian...
"PTUUHH!! APAAN NIH? KOPI RASA AIR LAUT?!"
Ruangan langsung pecah oleh tawa.
Deon hanya menyandarkan punggung ke kursinya, tersenyum puas. Tiga poin.
Senior-seniornya mulai curiga, tapi tak ada yang bisa membuktikan bahwa Deon-lah dalangnya.
Satu hal yang pasti, mereka mungkin bisa memperlakukannya seperti pesuruh, tapi mereka tidak akan pernah menang mudah.