Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH TUJUH
Sungguh, dua bulan terakhir terasa seperti penjara tak kasat mata bagi Nara. Setiap harinya, Nara semakin merasakan dinginnya sikap Gala yang begitu menusuk tulang, seolah keberadaannya hanyalah bayangan.
Nara tahu, dulu dia memang tidak pernah menginginkan pernikahan ini, tapi saat ini Nara tidak menyangka rasanya akan sesakit ini, diabaikan oleh Gala, dosen sekaligus suaminya itu.
"Turunlah, saya masih ada kegiatan di luar," ucap Gala datar, bahkan tanpa menoleh ke arah Nara. Dengan getir Nara menggigit bibirnya, menahan perih yang menjalari dadanya.
"Ya, dan kamu akan pulang larut malam lagi,bukan begitu Prof?" tanya Nara dengan nada sinis, meskipun di dalam hati Nara menjerit meminta perhatian. Tapi, Gala tetap seperti batu—keras, dingin, dan tak tergoyahkan.
"Ya, saya pulang larut. Jangan lupa kunci pintunya," katanya sambil berlalu begitu saja, meninggalkan Nara di ambang keheningan. Suara deru mobil Gala yang menjauh satu-satunya bukti keberadaannya barusan.
Nara terdiam, menggenggam kenop pintu lobi apartemen dengan erat, berharap Gala akan kembali. Namun, harapan itu terlalu naif. "Kenapa jadi seperti ini?" bisik Nara pelan, menahan air mata yang ingin jatuh.
Nara tak pernah menyangka akan jatuh cinta secepat itu pada pak dosennya itu—cinta yang kini menjadi beban paling berat dalam hidupnya. Rasa itu melukai setiap kali Nara menyadari bahwa dia tak mungkin memiliki hati suaminya, karena Gala pernah mengatakan jika ia hanya mencintai satu wanita yang Nara tak tahu siapa wanita yang selalu ada di dalam hatinya.
Saat ini bagi Nara, Gala adalah badai, dan dirinya hanyalah daun rapuh yang berusaha bertahan dalam terpaan angin.
Nara terdiam, matanya memandang lekat ke arah mobil Gala yang perlahan menghilang di tikungan jalan. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum saat mengingat sikap Gala yang kini terasa asing.Nara merasakan dinginnya hati Gala yang sekarang, seolah menjadi dinding es yang tak bisa ditembus oleh hangatnya cinta yang dia tawarkan.
Di apartemen yang semakin terasa hampa, Nara berjalan lesu kembali ke dalam. Setiap langkahnya terasa berat. Dia mencoba mengusir rasa sepi dengan menyalakan televisi, namun suara dari layar kaca itu tak mampu mengisi kekosongan hatinya.
Malam itu, Nara duduk termenung di sofa, memeluk bantal sambil menatap nanar ke luar jendela. Pemandangan kota yang biasanya indah, kini hanya terasa suram dan menyesakkan. Dia merenung, bertanya-tanya apa yang salah dari dirinya sehingga suaminya menjadi begitu asing dan dingin.
Air matanya entah kenapa tiba tiba membanjiri pipi putihnya, yang tak lagi bisa dia tahan. Air mata mengalir deras, mencerminkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Namun, tidak ada yang bisa mendengar isak tangisnya, tidak ada yang bisa mengerti perasaannya.
Nara merasa begitu sendiri dalam kesendirian yang menyakitkan, terperangkap dalam pernikahan yang seolah tidak lebih dari sekedar permohonan dari seorang kakak.
Malam itu, entah setan dari mana yang membisikkannya, sehingga Nara melakukan hal konyol. Dengan lembut, ia menggantikan kimono biasanya dengan lingerie seksi berenda tipis berwarna merah menyala, bahkan hampir tak berbekas di kulit mulusnya.
"Semoga ini bisa memikat hati Prof Gala," gumamnya, penuh harap sambil menatap dirinya yang terpantul dalam cermin. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, waktu yang selalu ditunggu-tunggu; saat Gala kembali dari pergumulannya dengan dunia luar.
Dengan napas yang tertahan, Nara membaringkan diri di atas ranjang, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang begitu memikat di balik remang-remang cahaya lampu tidur,tanpa sehelai selimut menutupi tubuhnya.
Namun, menit demi menit berlalu tanpa tanda-tanda Gala masuk ke dalam kamar. Nara terus menunggu, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mungkin terlalu berlebihan.Tapi, semakin lama, harapan mulai memudar, perlahan harapan Nara tenggelam oleh keheningan malam yang menusuk.
“Kenapa dia masih belum masuk,” gumam Nara.Namun, di balik dinding keyakinan yang ia bangun, kekecewaan perlahan-lahan merayap masuk. Tanpa Nara sadari, kelelahan akhirnya merenggutnya, membawa wanita cantik itu ke dalam dunia mimpi.Nara tak lagi mendengar langkah Gala saat akhirnya pintu kamar terbuka perlahan.
Gala masuk dengan raut wajah lesu, mungkin hari yang berat telah menyita semua tenaganya. Tapi tiba-tiba dia terhenti, matanya yang terkantuk, melebar sempurna seakan menyaksikan sesuatu yang benar-benar tidak ia duga.
Gala mendekat, dengan air ludah mengganjal di tenggorokan.
“Astagfirullah…apa dia tak merasa kedinginan” gumam Gala dengan polosnya. Bahkan Gala tak terpikir jika apa yang Nara lakukan semuanya untuknya. Gala lantas duduk di bibir ranjang menatap Nara lekat, perlahan tangannya mengelus kepala Nara dengan penuh cinta.
Tapi Nara tak merasakan apa-apa, terlelap di balik duni mimpi. Nara tidak sadar apa yang Gala lakukan padanya kali ini.
Dengan tergesa-gesa, Gala menarik selimut, menutupi tubuh istrinya, wajahnya terlihat tegang bercampur canggung. Lalu dia melangkah cepat keluar dari kamar, mengurungkan niatnya untuk mandi.
“Astagfirullah, apa yang aku pikirkan ini?” Gumam Gala terus menelan saliva dengan serat. Gala terduduk di sofa ruang tamu, tatapannya kosong menembus kegelapan malam. Lampu hanya menyala redup, memberikan suasana yang semakin membuat perasaannya tercekik. L
Dada Gala berdesir setiap kali bayangan Nara berkelebat dalam benaknya, wanita dengan senyum yang mampu meluluhkan setiap gundah dalam hatinya.Tubuh Nara yang sempurna, terbungkus gaun tidur seksi, terus menghantui pikiran Gala.
Ingatan tentang berbagai momen saat Nara tertawa lepas, matanya berbinar penuh kebahagiaan, membuat Gala semakin resah. Dia lantas terus menggelengkan kepalanya, berusaha keras menenangkan nafsu yang mulai membara.
“Ooo...sial, ujian apa lagi ini,” gerutu Gala, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tangannya bergetar, mengingat betapa lembutnya kulit Nara saat ia tak sengaja menyentuhnya kulit leher Nara saat memasangkan selimut ketubuh Nara.
Namun Gala selalu mengingat batasannya, batasan yang telah Nara tetapkan dengan jelas pada hari mereka menikah—bahwa Nara tidak ingin disentuh hingga usianya menginjak dua puluh tahun.Gala bangkit, berjalan mondar-mandir di ruang tengah, mencoba mengalihkan pikirannya.
Dia membuka jendela, menghirup udara malam yang sejuk, berharap angin malam bisa membawa lara yang membelenggu hatinya. Namun, semakin dia mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin kuat pula bayang Nara menghiasi setiap sudut pikirannya.Dengan hati yang terasa tertekan, Gala kembali terduduk, menatap langit malam melalui jendela yang terbuka lebar.
“Sabar, Gala. Sabar...jangan hancurkan kepercayaannya, hanya karena nafsu” bisiknya pada diri sendiri, berusaha keras memegang teguh janji yang telah ia buat kepada wanita yang kini sah menjadi istrinya. Kesabaran, hal yang harus ia pelihara demi mendapatkan cinta sang istri.
Malam itu Gala terjaga sepanjang malan, Gala menyibukkan dengan penelitian baru yang tengah Gala garap bersama timnya.
Mata Nara terbuka saat fajar menyingsing, memandang ke sisi ranjang hanya untuk menemukan kehampaan. Hati gadis itu menyusut, kecewa tiba-tiba melukai dadanya. "Heemm... Bahkan penampilanku tidak cukup untuk menahannya di sampingku. Betapa memalukannya..." gumam Nara, hatinya terasa pilu.
Dengan gerakan yang diliputi rasa malu, ia melempar lingerie yang dipakainya kedalam lemari dan menggantinya dengan baju tidur yang lebih sopan, sebelum kembali berbaring di atas ranjang, meraih selimut dengan tergesa-gesa, pura pura tertidur.
Sementara di ruang tengah, Gala berjuang melawan pikiran-pikirannya sendiri, mencoba mempertahankan kewarasannya kepada mahasiswi yang menjadi kekasih hatinya.
Dengan langkah yang hati-hati dan perasaan yang bercampur, ia membuka pintu dan mendekati ranjang Nara.
"Bangunlah, ambil wudu, sudah subuh," bisik Gala lembut, namun tetap terdengar dingin, berusaha menyembunyikan kegelisahannya disetiap suaranya.
Nara pura-pura terbangun, membuka mata dan menyibak selimut hampir bersamaan. Ekspresi Gala terbaca bingung, keningnya mengernyit dalam keheranan.
"Hem... ternyata semalam hanyalah sebuah pikiran kotorku saja, bagaimana mungkin aku membayangkan dia mengenakan gaun tidur itu?" Gala menggeleng, berusaha meyakinkan dirinya. "Apa aku mulai kehilangan akal, berpikir hal seabsurd itu?" decaknya dalam hati, menyeringai mengejek diri sendiri.
"Prof...ada apa?" tanya Nara dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Oh.. tidak, segera ambil wudu," jawab Gala dengan nada mendesak. Nara merasakan ada yang tidak beres dengan pak dosennya itu, keanehan terpancar dari sorot mata Gala yang tak biasa.
"Apa yang terjadi dengan Prof Gala? Mengapa pandangannya begitu mengganggu,pikiranku? Sungguh tidak wajar," gumam Nara dalam hati, rasa curiganya semakin memuncak.