Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 – Bayang-Bayang yang Tak Pernah Diinginkan
Bab 35 – Bayang-Bayang yang Tak Pernah Diinginkan
Langkah-langkah Nadine terasa berat sore itu. Bukan karena lelah bekerja, tetapi karena pandangan mata orang-orang yang entah kenapa terasa semakin menusuk. Bisik-bisik kecil terdengar di setiap lorong, setiap sudut ruang pantry, bahkan saat ia sekadar menyapu lantai lobi. Tatapan mereka berbeda. Bukan tatapan biasa, melainkan tatapan menilai… mencurigai… seolah ia melakukan sesuatu yang salah.
Nadine menarik napas panjang di depan ruang penyimpanan alat kebersihan. Ia menutup matanya sejenak, mencoba meredam kegelisahan yang sudah mengganjal sejak pagi. Tapi semuanya makin jelas ketika seseorang membisikkan satu kalimat yang membuat darahnya membeku.
"Itu dia yang dekat sama Pak Randy, kan?"
Tangannya yang memegang gagang pel lantai sedikit gemetar. Ia segera menjauh, pura-pura tak mendengar. Tapi hatinya mulai sesak. Ia tidak pernah menginginkan ini… perhatian semacam itu. Dia hanya ingin bekerja dengan tenang, hidup sederhana tanpa disorot siapa pun.
Dan sore itu, semuanya seolah memuncak ketika ia menemukan Randy berdiri di ujung koridor, menunggunya.
"Nadine," panggilnya pelan.
Nadine langsung menunduk dan hendak berjalan menjauh, namun Randy menahan langkahnya dengan suara tegas, “Tunggu.”
“Pak Randy… saya sedang bekerja,” jawabnya tanpa berani menatap wajah lelaki itu.
“Kita perlu bicara. Sebentar saja.”
Nadine akhirnya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada kemarahan kecil di matanya. “Tentang apa lagi, Pak?”
“Bukan tentang pekerjaan. Tentang kita.”
“Kita?” Nadine tertawa getir, suaranya nyaris bergetar. “Tidak ada ‘kita’, Pak. Jangan membuat semuanya jadi lebih sulit.”
Randy melangkah lebih dekat, nadanya mulai melembut. “Aku tahu kamu gelisah. Aku tahu kamu merasa tidak nyaman. Tapi aku butuh bicara, hanya sebentar saja.”
Nadine menggeleng pelan. “Saya tidak ingin terlibat lebih jauh. Saya hanya cleaning service di kantor ini. Saya tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan Anda.”
“Kamu bukan hanya itu, Nadine…” suara Randy terdengar lirih, nyaris seperti pengakuan. “Kamu tahu, dari awal aku tidak pernah melihat kamu seperti yang orang lain lihat.”
“Tapi orang lain tetap melihat saya seperti itu, Pak!” Nadine membalas, suaranya meninggi untuk pertama kali. “Dan sekarang mereka mulai berbisik. Menatap saya seolah saya memanjat ke atas. Padahal saya tidak pernah meminta apapun!”
Randy terdiam. Ia tidak pernah melihat Nadine semarah ini. Ia selalu mengenalnya sebagai sosok yang tenang, sabar, dan lembut. Tapi hari ini… dia menunjukkan sisi lain. Sisi yang selama ini dipendam terlalu lama.
“Saya minta maaf,” ucap Randy akhirnya. “Saya tidak bermaksud membuat hidupmu sulit. Tapi aku… tidak bisa pura-pura seolah tidak peduli.”
Nadine memalingkan wajah. Matanya mulai berkaca. “Terus apa yang Pak Randy inginkan? Ingin saya pura-pura tidak melihat semua ini? Ingin saya berlagak seolah tidak ada apa-apa saat semua orang mulai mencibir di belakang saya?”
Randy menunduk. Ia tahu, Nadine benar. Dunia mereka terlalu berbeda. Terlalu jauh. Tapi ia juga tahu, hatinya tak bisa mundur begitu saja.
“Ayahku tahu tentang kamu.”
Nadine langsung menatapnya, terkejut. “Apa?”
“Dia ingin aku membawa kamu ke rumah.”
Wajah Nadine mendadak pucat. Napasnya memburu. “Kenapa… kenapa Anda harus menyeret saya sejauh itu? Saya bukan siapa-siapa…”
“Karena kamu berarti untukku,” potong Randy pelan. “Karena aku ingin memperjuangkan kamu.”
Nadine menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak yang hampir pecah. “Jangan lakukan ini, Pak. Jangan memperjuangkan saya kalau akhirnya saya yang akan hancur.”
Randy ingin mendekat, ingin menyentuh bahunya, ingin meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tahu, bukan itu yang dibutuhkan Nadine saat ini.
“Aku hanya minta satu hal…” katanya pelan. “Percayalah padaku. Biar aku yang melawan semua ini, bukan kamu.”
Nadine memalingkan wajah, menghapus air matanya cepat-cepat sebelum orang lain melihat. “Saya butuh waktu, Pak Randy… saya butuh waktu untuk berpikir. Saya terlalu lelah untuk ikut dalam hidup orang lain lagi.”
Randy mengangguk, meski hatinya menjerit. “Ambillah waktu itu. Tapi tolong, jangan menjauh dariku…”
Dan sore itu, keduanya berpisah dengan hati yang sama-sama penuh luka. Tidak ada jawaban pasti. Tidak ada janji. Hanya dua jiwa yang saling menatap… dengan harapan yang masih menggantung di udara.