Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saudara yang jatuh
Langkah Arjuna mantap menyusuri pelataran megah Gunung Meru. Kirana dan Bara mengikuti dari belakang, masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa mereka kini benar-benar berada di dunia para dewa.
Gerbang istana utama terbuka lebar, dua penjaga berjubah cahaya membungkuk hormat menyambut kehadiran Arjuna. Aura kekuatan Arjuna yang telah kembali sebagai Dewa Angin begitu terasa menyelimuti udara. Petir sesekali menyambar di langit Meru, seolah menyambut tuannya kembali.
Dari dalam istana, empat sosok muncul satu per satu.
Dewi Indira melangkah paling depan. Rambutnya yang panjang berkilau seperti kilat, matanya tajam namun penuh kehangatan.
> “Akhirnya… sang adik keras kepala kembali juga,” ujarnya sambil tersenyum dan memeluk Arjuna erat. “Kau telah dewasa, Arjuna.”
Dewa Bhima menyusul dari samping, tubuhnya kekar seperti pahatan batu karang. Ia menepuk dada Arjuna dengan tawa keras.
> “Kau kembali, Arjuna! Aku sempat bertaruh kau takkan pernah bisa bangkit lagi. Tapi lihat dirimu sekarang!”
Dewi Saraswati, berselendang ungu dengan mata penuh keteduhan, melangkah anggun. Ia menyentuh dahi Arjuna lembut.
> “Kau membawa angin yang berbeda kali ini, adikku. Semoga hatimu kini lebih tenang.”
Namun saat ketiganya menyambut dengan hangat... satu sosok berdiri kaku di belakang mereka.
Dewa Nakula.
Wajahnya terkejut, bahkan terpukul. Matanya menyipit menatap Arjuna dari kejauhan.
> “Bagaimana bisa… kekuatanmu kembali?” desisnya pelan namun tajam.
Arjuna membalas tatapannya. Untuk pertama kalinya sejak kembali, mata Dewa Angin itu menggelap. Amarah yang telah lama ia pendam mulai bergejolak. Ia menatap lurus ke arah Nakula, mata mereka saling bertabrakan seperti dua badai yang akan segera meledak.
> “Kau tahu jawabannya, Nakula…”
“Dan aku akan menuntut semuanya.”
Kirana dan Bara hanya bisa berdiri kaku di belakang, merasakan ketegangan yang membekukan udara Meru.
Setelah ketegangan antara Arjuna dan Nakula mulai mereda, suasana di pelataran istana kembali hening. Namun, tak lama kemudian, sorot mata para dewa dan dewi perlahan beralih ke dua sosok asing yang berdiri gugup di belakang Arjuna.
Kirana dan Bara.
Dewi Indira melipat tangannya, sorot matanya menyipit penuh pertanyaan.
> “Arjuna… siapa mereka?” tanyanya dengan nada datar namun mengandung tekanan.
Dewa Bhima mencium aroma manusia dari kejauhan, mendengus pelan.
> “Manusia? Kau membawa manusia ke Meru?”
Dewi Saraswati melangkah lebih dekat, memperhatikan Kirana yang gugup dan Bara yang terus menunduk.
> “Kau tahu aturan, adikku. Dunia ini bukan untuk manusia. Energi Meru terlalu kuat untuk makhluk fana. Apa yang kau pikirkan?”
Bahkan Dewa Nakula, meski masih diliputi emosi, ikut menyeringai sinis.
> “Mungkin selama di Bumi, kau terlalu dekat dengan mereka hingga lupa batasan kita sebagai Dewa.”
Arjuna maju satu langkah, berdiri di depan Kirana dan Bara, melindungi mereka. Angin sepoi tiba-tiba berhembus lembut dari tubuhnya, seperti menyatakan bahwa keputusannya tak akan digoyahkan.
> “Mereka bukan manusia biasa,” ucap Arjuna tegas.
“Kirana dan Bara telah bersamaku sejak awal aku kehilangan segalanya. Mereka menyaksikan kehancuranku… dan kebangkitanku.”
> “Jika aku kembali sebagai Dewa, itu juga karena mereka.”
Dewi Indira menghela napas panjang, lalu memandang Kirana lebih dalam. Ia bisa merasakan ketulusan dan keberanian dalam diri gadis itu, meskipun tubuhnya fana.
> “Mereka harus kuat. Dunia ini bukan tempat yang aman, bahkan untuk para dewa.”
> “Jika mereka tinggal di sini, mereka harus siap dengan segala konsekuensinya.”
Arjuna menoleh ke Kirana dan Bara, menatap mereka penuh keyakinan.
> “Kalian bisa kembali ke dunia kalian… tapi jika tetap bersamaku, jalannya tak akan mudah.”
Kirana, meski sedikit gemetar, menatap balik dengan senyum kecil.
> “Aku sudah memilih, Arjuna. Dari awal.”
Bara, walau masih syok, mencoba tersenyum walau canggung.
> “Ya… asal gak tiap hari terbang kayak tadi juga udah cukup.”
Para dewa dan dewi mulai saling berpandangan. Meski masih ada keraguan, mereka mulai menerima kenyataan bahwa Arjuna kini bukan hanya Dewa Angin, tapi juga jembatan antara dunia manusia dan dunia para dewa.
Dan di langit Gunung Meru, angin kembali berputar, membawa takdir baru yang telah dimulai.
Langkah kaki Arjuna bergema di sepanjang lorong agung Istana Langit Gunung Meru. Di sisi kanan dan kirinya, ukiran langit dan petir menghiasi dinding yang megah, memantulkan sinar dari tubuhnya yang kini bersinar kembali sebagai Dewa Angin sepenuhnya. Kirana dan Bara mengikuti dari belakang, kagum sekaligus gugup saat mereka memasuki aula utama.
Di ujung aula, duduk dua sosok agung: Dewa Arka Dewa, raja segala dewa, ayah Arjuna yang dihormati dan ditakuti, serta Dewi Laksmi, dewi kemakmuran dan kasih, ibu Arjuna yang penuh kelembutan namun memiliki kekuatan besar dalam jiwa.
Saat langkah Arjuna semakin dekat, Dewi Laksmi bangkit dari singgasananya, matanya membelalak saat melihat sosok Kirana di belakang Arjuna. Sebuah senyum tulus merekah di wajah sang dewi, seperti melihat harapan yang tersembunyi selama ini.
> “Kau... kau membawanya ke sini?” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Arjuna sedikit mengangguk, lalu memandang ibunya dengan mata lembut.
> “Dia ada bersamaku… di saat aku kehilangan semuanya.”
Dewi Laksmi menatap Kirana, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah perlahan, dan tanpa ragu memeluk Kirana, membuat gadis itu membeku kaku, tak percaya dewi agung itu menyentuhnya.
> “Kau wanita yang baik… aku tahu itu. Aku sudah lama memperhatikanmu dari kejauhan. Kau menjaga putraku, bahkan saat ia sendiri merasa tak berharga…”
Kirana tak kuasa menahan air matanya, merasa dihargai lebih dari sebelumnya.
Arjuna menatap ayahnya. Dewa Arka Dewa berdiri tegak di atas singgasananya, dengan jubah emas yang menyala seperti matahari senja. Aura kekuasaan menyelimuti dirinya — menakutkan, tetapi sekaligus agung.
Mereka saling memandang, tanpa sepatah kata.
Keheningan mencekam istana.
Lalu, suara berat Arka Dewa memecah udara:
> "Kau kembali..."
"Setelah seratus tahun pengasingan. Setelah kau membuang kehormatanmu sebagai dewa."
Arjuna menunduk sejenak. Tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena menghormati. Lalu ia mengangkat wajahnya kembali, dengan keberanian baru.
> "Aku memang jatuh, Ayah. Aku kehilangan semuanya. Tapi manusia... manusia menyelamatkanku."
"Aku belajar dari mereka. Aku menemukan siapa aku sebenarnya."
Arka Dewa melangkah maju, langkahnya berat bagai gemuruh badai.
> "Dan sekarang... kau datang, dengan dua manusia. Memasuki Gunung Meru. Tempat suci yang bahkan para makhluk langit hormati."
Nadanya tajam, menusuk ke dada Arjuna.
Arjuna menarik napas dalam. Tangannya mengepal.
> "Kirana dan Bara bukan manusia biasa. Mereka lebih mulia dari banyak dewa di sini. Mereka ada di sisiku... saat aku bukan siapa-siapa. Saat aku bahkan lupa bahwa aku anakmu."
Dewa Arka Dewa berhenti di depan Arjuna.
Matanya menatap dalam. Di balik ketegasan itu… ada luka yang lama dipendam. Luka seorang ayah.
> "Aku membuangmu... karena aku takut kehilanganmu, Arjuna."
"Aku tak ingin putraku menjadi dewa yang sombong seperti yang pernah kutakuti di masa muda... Tapi ternyata, rasa sakit itu... menyiksaku setiap malam."
Arjuna terdiam.
Mata mereka bertemu. Tak ada lagi jarak kekuasaan. Hanya seorang ayah dan anak yang saling memendam rindu dalam diam.
Perlahan, Arjuna menjatuhkan diri berlutut.
> "Maafkan aku, Ayah..."
"Aku pulang... dan aku ingin menebus semuanya. Tak untuk diriku... tapi untuk dunia ini."
Dan untuk pertama kalinya dalam seratus tahun...
Dewa Arka Dewa memeluk putranya.
Memeluk dengan genggaman seorang ayah yang tak ingin kehilangan lagi.
> "Selamat kembali, Arjuna. Kini kau bukan hanya putraku. Kau adalah harapan seluruh alam."
Di tengah kemegahan aula istana Gunung Meru, setelah keheningan yang emosional antara ayah dan anak, tiba-tiba suara Bara memecah ketegangan dengan lantang:
> "Maaf, Dewa Arka Dewa, saya cuma mau nanya satu hal penting…"
Semua menoleh. Arjuna menatap Bara dengan pandangan waswas. Kirana langsung menyentuh lengan Bara, mencoba menahan.
Tapi Bara tetap berbicara dengan wajah polos:
> "Dewa kenal Zeus? Atau Odin? Atau... mungkin Dewa Sewa yang lain dari mitologi luar?"
Ruangan hening. Beberapa dewa menahan senyum. Namun Arka Dewa hanya mengangkat satu alis sebelum menjawab dengan tenang dan dalam:
> "Aku mengenal mereka. Pernah duduk dalam satu meja ketika langit di berbagai dimensi terancam oleh kehancuran. Dewa dari berbagai bangsa pernah bersatu dalam satu forum suci… Pertemuan Para Dewa."
Arjuna terbelalak.
> "Pertemuan Para Dewa… Kau tidak pernah memberitahuku soal itu."
Arka Dewa menatap Arjuna, lalu mengangguk perlahan.
> "Kau belum siap saat itu."
Namun Arjuna segera kembali serius. Ia menatap sang ayah dengan sorot tajam.
> "Kalau begitu, apakah Ayah tahu... bahwa Nakula telah menurunkan kekuatan ilahi kepada manusia fana bernama Andi Wijaya?"
Para dewa lain terdiam. Dewi Indira bahkan maju setapak.
> "Apa maksudmu, Arjuna?"
> "Jakarta pernah hampir hancur. Bumi berada di ujung tanduk. Aku sendiri yang harus menghadapinya… tanpa kekuatan penuh. Andi Wijaya, manusia yang diberi kekuatan oleh Nakula, membuat kekacauan demi kekacauan. Dan sekarang…"
Arjuna menghela napas, menatap sang ayah dalam.
"Dari The Vault, aku tahu Nakula punya koneksi dengan Ras Rakshasa. Di Bumi, orang-orang mulai kesurupan, mata mereka menghitam… mereka menyebut nama Ras Rakshasa."
Arka Dewa menutup matanya sejenak, napasnya berat.
> "Aku tahu sebagian dari yang terjadi…"
> "Jadi Ayah membiarkannya?" suara Arjuna meninggi.
"Nakula adalah saudara kami! Tapi dia memilih jalan yang menyimpang. Dan Ayah… Ayah diam?"
Arka Dewa membuka matanya, kali ini sorotnya tajam dan serius.
> "Nakula bukan anak yang mudah dikendalikan. Bahkan sejak kecil, amarah dan rasa iri menguasainya. Aku ingin melihat apakah dia masih bisa kembali… tanpa harus kubinasakan sendiri."
> "Tapi dia hampir menghancurkan dunia, Ayah!"
> "Dan itulah kenapa kau dikembalikan, Arjuna. Bukan hanya sebagai putra Meru… tapi sebagai harapan terakhir."
Arjuna mengepalkan tangan. Kirana dan Bara hanya bisa diam menyaksikan percakapan para dewa yang sarat emosi dan kekuatan.
> "Jika Nakula terus melangkah ke dalam kegelapan… aku akan menghentikannya."
Arka Dewa menatap putranya lama.
> "Jika saatnya tiba… dan itu adalah takdirmu… maka lakukanlah, Arjuna. Tapi jangan lupa… dia tetap saudaramu."