"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan dengan perasaan bercampur aduk. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seolah-olah menandakan betapa berat langkah yang ia ambil hari ini.
Dalam genggamannya, ada sebuah amplop putih berisi surat pengunduran diri. Amplop itu terasa lebih berat dari seharusnya, seakan-akan membuat semua keraguan dan rasa takutnya.
Dengan napas panjang, Lily melangkah menuju ruangan HRD yang berada di lantai tiga. Setiap langkahnya terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang tak terelakkan.
Ruangan-ruangan di sepanjang lorong yang biasa ia lewati kini tampak lebih dingin dan asing dari biasanya. Mata beberapa karyawan sempat melirik ke arahnya, namun tidak ada yang menanyakan apa pun. Mereka semua terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Setibanya di depan pintu ruangan HRD, Lily berhenti sejenak. Tangannya gemetar ketika mengetuk pintu kayu itu. Satu ketukan, dua ketukan, lalu suara dari dalam ruangan mempersilakannya masuk.
Pria di balik meja dengan nada netral, tanpa melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
Lily membuka pintu dan melangkah masuk. Pandangan pria itu akhirnya terangkat dari dokumen yang ia periksa. Matanya menyapu Lily sekilas, dan ekspresinya tetap datar, seperti biasa.
"Ada apa?" tanyanya singkat sembari menyilangkan tangan di atas meja.
Lily menelan ludah dan memberanikan diri. Ia mengulurkan amplop putih itu ke arah pria tersebut. "Saya ingin mengajukan surat pengunduran diri," ucapnya dengan suara terdengar sedikit bergetar, namun ia berusaha terdengar tegas.
Pria itu mengernyit ringan, lalu mengambil amplop itu dari tangan Lily. Ia membuka surat tersebut, membaca isi singkatnya dengan alis sedikit terangkat.
Ketika selesai membaca ia meletakkan kertas itu di mejanya dan menatap Lily dengan pandangan penuh penilaian.
"Kenapa?" tanyanya lebih seperti formalitas dari pada rasa ingin tahu yang tulus.
"Saya ingin pulang ke desa untuk mengurus nenek saya. Selain itu, saya berencana memulai usaha kecil-kecilan di sana," jawab Lily mencoba terdengar meyakinkan meskipun ia tahu alasan itu hanyalah separuh dari kebenaran.
Pria itu mengangguk pelan, namun tidak ada rasa simpatik di wajahnya. "Sayang sekali. Padahal pekerjaanmu cukup bagus di sini," ucapnya lebih sebagai komentar dari pada pujian.
Lily hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus merespons apa. Dalam hati, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah diterima sepenuhnya di perusahaan ini.
Ia hanyalah seorang karyawan dengan posisi rendah, yang kehadirannya sering kali diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya.
"Yah, kalau itu memang keputusanmu," lanjut pria itu sambil menandatangani surat tersebut. "Lagi pula, setelah kau diturunkan ke posisi cleaning service, aku rasa kau cukup malu. Aku mengerti. Mungkin ini cara terbaik untukmu."
Kata-kata itu menusuk hati Lily, namun ia menahannya. Ia hanya mengangguk pelan tanpa membalas. Tidak ada gunanya memperpanjang percakapan ini.
Sebelum meninggalkan ruangan, Lily mencoba mengutarakan permintaan terakhirnya. "Tolong, saya ingin surat pengunduran diri ini tidak disampaikan ke siapa pun, setidaknya untuk sementara waktu."
Pria itu mengangkat alis, lalu tertawa kecil seolah permintaan itu konyol. "Siapa yang peduli? Semua orang di sini terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka bahkan tidak akan menyadari kau pergi," jawabnya dengan nada sinis.
Lily terdiam, terhenyak mendengar jawaban itu. Kata-kata itu mengukuhkan apa yang selama ini ia rasakan, bahwa ia hanyalah sosok tak berarti di tempat ini.
Ia menundukkan pandangannya, mengucapkan terima kasih singkat, lalu keluar dari ruangan dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya.
Ketika akhirnya ia berjalan keluar dari gedung perusahaan, Lily merasakan napasnya sedikit lega. Namun, di balik rasa lega itu, ada kekhawatiran yang mengendap-endap di pikirannya.
Ia tahu keputusan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, entah itu kebebasan, atau malapetaka.
Tanpa menoleh ke belakang, Lily melangkah pergi, bertekad untuk meninggalkan segalanya sebelum Zhen kembali dan menemukan bahwa ia telah menghilang.
Lily berjalan cepat keluar dari gedung perusahaan, tangannya masih gemetar setelah percakapannya dengan HRD. Ia menahan napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa gugup yang terus menderanya.
Ketika ia mencapai trotoar di depan gedung, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela turun, memperlihatkan wajah Elyza yang terlihat tegang namun penuh determinasi.
"Masuk," ucap Elyza singkat.
Tanpa banyak berpikir, Lily membuka pintu mobil dan segera masuk. Elyza segera menekan pedal gas, membawa mereka menjauh dari gedung itu dengan kecepatan yang cukup membuat Lily terhenyak ke kursinya.
"Kau sudah siap untuk ini kan?" tanya Elyza, matanya fokus pada jalanan di depan. Suaranya terdengar tegas, seperti seseorang yang tak menerima jawaban selain iya.
Lily mengangguk pelan meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. "Aku tidak tau, El. Aku tidak yakin apakah ini benar-benar akan menyelesaikan semuanya."
Elyza mendesah, tangannya menggenggam setir dengan erat. "Kalau kau terus terjebak dalam ketakutan dan kebimbangan, kau tidak akan pernah lepas dari semua ini. Tuan Zhen, Hugo, perusahaan itu, mereka semua bukan hanya menghalangimu, tapi mereka bisa menghancurkanmu."
Lily terdiam, menatap ke luar jendela mobil. Jalanan kota yang biasa ia lihat kini terasa begitu asing, seolah-olah semuanya berubah hanya karena keputusan yang ia ambil hari ini.
"Kau harus punya tekad untuk keluar dari semua masalah ini," lanjut Elyza, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Ini bukan hanya soal pekerjaan atau tuan Zhen. Ini soal hidupmu. Kau berhak untuk merasa aman dan bebas. Dan kau tidak akan mendapatkannya kalau kau terus tinggal di sini."
Lily menunduk, memikirkan kata-kata Elyza. Ia tahu sahabatnya benar. Hidupnya selama ini memang seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Setiap langkah terasa seperti perjuangan untuk bertahan, tanpa tahu kapan ia akan terjatuh.
"Aku hanya, aku takut, El," bisiknya. "Aku takut tuan Zhen akan mencariku, menemukan aku, dan aku tidak tau apa yang akan dia lakukan padaku."
Elyza mengangguk pelan, memahami ketakutan yang menghantui sahabatnya. "Aku tau. Aku tau ini tidak mudah. Tapi dengar, aku ada di sini untuk membantumu. Kita akan pergi jauh, keluar dari negara ini. Kau akan menggunakan identitas baru, memulai hidup baru. Aku sudah menyiapkan semuanya."
Lily menoleh ke arah Elyza, matanya penuh rasa terima kasih sekaligus ketidakpastian. "Kau benar-benar yakin ini akan berhasil?"
Elyza mengangguk dengan keyakinan penuh. "Ya. Tapi hanya jika kau juga yakin. Kau harus percaya pada dirimu sendiri, bahwa kau bisa lepas dari semua ini. Ini satu-satunya cara."
Lily menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Elyza benar. Ia harus berani mengambil langkah ini, meninggalkan semua yang ia kenal demi menyelamatkan dirinya sendiri.
"Baiklah," ucap Lily dengan suaranya terdengar lebih tegas. "Aku akan melakukannya."
Elyza tersenyum tipis, lega mendengar keputusan Lily. "Bagus. Kau tidak akan menyesalinya. Percayalah padaku."
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰