Kawan Serumah

Langit tampak mendung, seolah ikut berduka bersama orang-orang yang berkumpul di pemakaman. Daun-daun berguguran dari pepohonan tinggi yang berdiri kokoh di sekitar, menciptakan nuansa sunyi yang semakin menyesakkan.

Di sudut pemakaman, deretan batu nisan berdiri dalam keheningan. Beberapa di antaranya mulai tertutup lumut, tanda telah lama tak dikunjungi. Namun, di antara nisan-nisan itu, ada satu liang lahad yang masih merah tanahnya, menjadi pusat perhatian mereka yang datang untuk memberi penghormatan terakhir.

Sore itu hujan turun membasahi seluruh area pemakaman, namun hal itu tidak mengentikan prosesi penguburan nenek Rahayu yang telah berpulang pagi tadi.

Isak tangis terdengar lirih dari keluarga terdekat. Kani duduk bersimpuh di sisi makam, tangannya gemetar saat menyentuh nisan yang masih baru. Bibirnya bergerak tanpa suara, mungkin sedang berdoa atau sekadar mengungkapkan perasaan kehilangan yang mendalam. Di sampingnya Baswara berdiri sambil memayunginya.

Tidak banyak orang yang hadir, hanya beberapa orang kenalan neneknya yang bisa dihitung dengan jari. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada Chika dan Axel yang turut hadir.

Beberapa jam kemudian pemakaman telah selesai dilaksanakan dan orang-orang mulai meninggalkan area itu karena hujan yang semakin deras.

Sementara Kani tidak ingin pergi dari sana, Baswara mengirimkan isyarat pada Axel dan pacarnya untuk pulang duluan, ia akan menemani wanita itu sampai puas berpamitan dengan sang nenek.

Kani menangis seraya mengucapkan kata terakhir pada sang nenek. Baswara bisa merasakannya juga, rasa sedih, kehilangan telah dan masih dirasanya sampai saat ini.

Tiba-tiba Dira datang menghampiri mereka dengan payung hitam di tangannya. Kani yang menyadarinya lalu berdiri memeluk wanita itu.

"Lebih baik kita pulang dulu ya, kau basah kuyup. Nenekmu akan sedih jika kau sakit," ucap Dira mengusap wajah Kani yang basah.

Dilihatnya Baswara yang tampak tidak bisa berbuat banyak. Dira pun bergegas membawa Kani pergi dari sana dengan Baswara mengikuti di belakang.

***

Hari berganti menjadi lebih cerah dari pada kemarin. Pagi itu terlihat Panji Rastomo sang manajer Eksekutif Hotel Wisteria sedang berada di sebuah pemakaman yang tidak terlalu ramai.

Dia berhenti tepat di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan Barga Rastomo. Ia merendahkan dirinya dan berjongkok di samping makam itu.

"Kau tau hubungan kita tidak pernah baik dari dulu," ucapnya seraya mengingat masa lalu.

"Ayah selalu menyayangimu lebih dari apapun. Baginya kau adalah kebanggaan sedangkan aku hanya pembuat onar tidak pantas menyandang nama Rastomo." Dihisapnya rokok dengan dalam dan menghembuskan asapnya dengan tenang.

"Kini anakmu dengan sombongnya mulai mengusikku. Ayah selalu memberiku hukuman tiap aku melakukan kesalahan, kau tau itu kan? Sekarang giliran anakmu yang harus menerima hukuman itu," ucapnya sambil mematikan rokoknya di atas batu nisan milik mendiang kakak laki-lakinya itu dan beranjak pergi dari sana.

Panji yang ambisius dan punya dendam sejak lama dengan keluarga sang kakak ingin berusaha merebut posisi CEO di Hotel Wisteria dari tangan keponakannya, Baswara.

Selama ini dia selalu menerima dengan terpaksa atas posisinya yang dia anggap tidak cocok untuk ia tempati.

Dia merencanakan sebuah ide licik sejak lama dan menunggu waktu yang tepat. Beruntung istrinya yang bodoh membuatnya sangat yakin untuk memulai rencana itu.

Panji kembali ke kantornya yang terletak di di bawah ruangan Baswara. Ruanganya  penuh dengan dokumen yang sudah dirapikan oleh sekertarisnya, Galih.

"Hotel ini seharusnya jadi milikku. Kau tahu itu. Aku menghabiskan beberapa tahun ini sebagai manajer eksekutif sialan ini. Aku ingin sesuatu yang lebih besar." Galih berkerja sudah cukup lama dengan pria itu. Tidak ada hal yang ia tutupi pada sekertarisnya itu, ia teramat percaya padanya.

"Tapi pak Baswara cukup cerdas, Pak. Hotel ini berkembang pesat di bawah kepemimpinannya," ucap Galih sambil mengingat apa saja prestasi Baswara yang pernah diketahuinya.

"Cerdas? Dia hanya beruntung bukan karena keahliannya. Sudah saatnya aku bertindak, aku tidak bisa menunggu lebih lama." Panji mengepalkan tangannya tanda ia sangat bersemangat denga apa yang ada di dalam kepalanya kini.

"Jadi apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya Galih yang bisa dibilang sangat setia pada pria itu.

"Kita akan buat laporan palsu tentang penggelapan dana. Ketika dewan direksi mendengar itu, Baswara takkan punya pilihan selain mundur. Setelah itu, aku akan ambil alih posisi yang memang seharusnya menjadi milikku." Galih ragu, tetapi tidak berani menolak.