Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Persiapan
Minggu malam datang dengan tenang, tetapi di dalam hati Ryan dan Elma, ada ketegangan yang terus bergejolak. Ryan masih beristirahat di tempat tidurnya, meskipun ia sudah mulai mencoba berdiri dengan bantuan Elma. Luka-lukanya perlahan membaik, tetapi rasa sakit dari pertarungannya sebelumnya masih terasa setiap kali ia bergerak.
Elma sibuk membereskan sisa obat-obatan dan perban di meja kecil di samping tempat tidur Ryan. Ia berusaha terlihat tenang, tetapi pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Minggu depan adalah minggu terakhir sebelum ujian kelulusan, dan meskipun ia tahu Ryan adalah seorang yang tangguh, ia tidak yakin apakah Ryan bisa sepenuhnya pulih tepat waktu.
“Elma,” panggil Ryan dengan suara rendah. “Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja.”
Elma menoleh, menatap Ryan dengan tatapan penuh rasa peduli. “Aku tidak bisa tidak khawatir, Ryan. Kau tidak tahu betapa takutnya aku saat melihatmu terluka begitu parah.”
Ryan terdiam sejenak, kemudian tersenyum lemah. “Aku tahu. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tapi aku harus kembali kuat. Aku tidak bisa membiarkan Hery menang.”
Mendengar nama itu, Elma merasa dadanya sesak. Ia tahu Hery bukan ancaman biasa. Tetapi ia juga tahu bahwa Ryan tidak akan mundur dari apa pun yang ia yakini benar.
Di tempat lain, pria berjubah hitam berdiri di tepi jurang dalam dimensi bayangan. Di sekelilingnya, bayangan berputar seperti badai kecil, menciptakan suara gemuruh yang menakutkan. Ia mengangkat tangannya, dan di hadapannya muncul gambaran Hery dengan aura gelap yang semakin kuat.
“Dark Dominator semakin dekat pada wujud sempurnanya,” gumam pria itu. “Jika Ryan tidak segera mengendalikan kekuatannya, dia tidak akan memiliki peluang sedikit pun.”
Bayangan di sekelilingnya mulai memadat, membentuk sosok-sosok gelap dengan mata merah yang menyala. Pria berjubah hitam mengamati mereka dengan tajam, seolah-olah sedang merencanakan sesuatu.
“Waktumu hampir habis, Ryan. Pertempuran ini tidak hanya akan menentukan nasibmu, tetapi juga dunia yang kau tinggali.”
Kembali di rumah Ryan, Elma duduk di samping tempat tidurnya setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Udara di kamar terasa hening, hanya diisi oleh suara napas pelan Ryan.
“Ryan,” kata Elma pelan, memecah keheningan. “Apa yang sebenarnya kau hadapi? Aku tahu kau tidak jujur sepenuhnya tentang apa yang terjadi.” Ryan terdiam. Ia menatap Elma, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku menghadapi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Tapi aku akan melindungimu, Elma. Apa pun yang terjadi.”
“Melindungiku?” Elma mengulang kata-kata itu dengan nada bingung. “Ryan, kau tidak harus menanggung semuanya sendirian. Aku juga ingin membantu.”
Ryan tersenyum kecil, tetapi ada rasa sakit di balik senyumnya. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Hanya dengan berada di sini, kau sudah membantuku lebih dari yang kau tahu.”
Mata Elma mulai berkaca-kaca, tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, lentera kecil di meja mulai bergetar. Cahaya dari lentera itu perlahan memudar, digantikan oleh kehadiran sosok wanita berjubah putih.
“Elma,” kata wanita itu, suaranya lembut tetapi tegas. “Waktumu untuk melatih kekuatanmu hampir habis. Jika kau tidak segera menguasainya, kau tidak akan bisa menghadapi apa yang akan datang.”
Elma berdiri, menatap wanita itu dengan campuran rasa hormat dan kebingungan. “Aku tahu. Tapi Ryan...”
Wanita itu memotongnya. “Ryan adalah bagian dari perjalanan ini, tetapi tugasmu lebih besar daripada sekadar melindunginya. Cahaya dalam dirimu adalah harapan untuk keseimbangan. Tanpa itu, kegelapan akan menang.”
Elma menggigit bibirnya, merasa terpecah antara keinginannya untuk tetap di sisi Ryan dan tanggung jawab yang diberikan padanya. “Aku akan melakukannya,” akhirnya ia berkata. “Tapi beri aku waktu. Aku tidak bisa meninggalkannya sekarang.”
Wanita berjubah putih mengamati Elma sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Waktu adalah hal yang berharga, Elma. Jangan menyia-nyiakannya.” Ia menghilang, meninggalkan ruangan dalam keheningan lagi.
Malam itu, setelah menghabiskan waktu berbicara di kamar, Ryan memutuskan untuk mengantarkan Elma pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lemah, ia bersikeras untuk berjalan bersamanya. “Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendirian,” kata Ryan dengan nada tegas.
Elma mencoba menolak, tetapi melihat tekad di mata Ryan, ia akhirnya menyerah. “Baiklah, tapi jangan memaksakan diri. Kalau kau merasa sakit, kita bisa berhenti,” katanya sambil tersenyum kecil.
Mereka berjalan perlahan di bawah sinar bulan, melewati jalanan yang sepi. Udara malam terasa dingin, tetapi kehadiran satu sama lain membuat segalanya terasa hangat. Di sepanjang jalan, mereka berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba melupakan beban yang selama ini mereka rasakan.
Ketika mereka sampai di depan rumah Elma, Ryan berhenti sejenak. “Terima kasih untuk semuanya, Elma. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpamu.”
Elma menatapnya, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Kau juga selalu ada untukku, Ryan. Jadi, aku hanya melakukan hal yang sama.”
Mereka berdiri dalam keheningan beberapa saat sebelum Elma melangkah masuk ke rumahnya. Ryan menunggu sampai pintu tertutup sebelum berbalik untuk berjalan pulang. Dalam hatinya, ia merasa ada kekuatan baru yang tumbuh, didorong oleh kehangatan dan dukungan Elma.