NovelToon NovelToon
Deepen The Role: Water Flow

Deepen The Role: Water Flow

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Spiritual / Vampir / Manusia Serigala / Mengubah Takdir / Keluarga
Popularitas:434
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

"Cahaya akan menuntun kita pulang"

Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?

Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Step

"Sebentar'' sahut Benjamin pagi itu, ketika seseorang mengetuk pintu rumah. Benjamin segera membukanya. "Jen? Ada apa?" tanya Benjamin terheran ketika pagi itu Jennifer berkunjung ke rumah.

Sejenak Jennifer terdiam. Ia memeluk Benjamin. "Dia jahat, Ben" ujar Jennifer mulai menangis. Benjamin yang bingung membalas pelukan itu lalu mengelus pelan rambut gadis itu.

Beberapa saat setelahnya, "Jadi selama ini kau berpacaran dengan John?" tanya Benjamin terkejut. Jennifer mengangguk-angguk kecil seraya menghapus air matanya.

"Aku mengira dia tidak akan main perempuan di belakangku. Ternyata aku memergoki mereka berdua tidur bersama tadi" jawab Jennifer menunduk dan menahan tangisannya.

"Dasar bodoh. Kau gadis cantik, dan berkencan dengan John si tukang mandang fisik? Dulu dia juga begitu menyukai Marella. Tapi sejak aku berkencan dengan Marella, John tampaknya langsung move on" ujar Benjamin tidak habis pikir dengan laki-laki pilihan Jennifer.

"Aku tidak memberitahu Arnest ataupun Ange walaupun mereka di rumah. Mereka pasti akan mencari John dan menghajarnya" gumam Jennifer ragu seraya kembali menangis.

"Justru kau salah melapor. Rasanya aku ingin memukulnya" jawab Benjamin bisa mendengar apa yang diucapkan Jennifer.

"Aku mohon jangan membuat masalah lain. Aku merasa malu untuk bertemunya" ujar Jennifer seraya memohon.

Benjamin berdecak kesal. "Merasa malu, atau kau tidak mau aku menyakitinya karena kau masih mencintainya?" tanya Benjamin. Jennifer terdiam.

Benjamin menghela nafas lelah. "Dengar, apapun yang kau katakan aku tidak akan mendengarkannya" ujar Benjamin menyilangkan kedua lengannya.

Jennifer menatapnya penuh permohonan. "Oh ayolah, supaya dia sadar. Memangnya dia tidur dengan siapa?" tanya Benjamin terheran.

Sejenak Jennifer terdiam. "Aku akan langsung berangkat menuju apartemennya jika kau tidak menjawab" ancam Benjamin.

"Anne" jawab Jennifer ragu. Benjamin yang mendengarnya terpaku. "Kau menangisi penggoda?" tanya Benjamin menahan tawanya.

Jennifer mengangguk-angguk kecil. "HAHAHAHAHA" tawa Benjamin menggelegar di ruangan itu.

"Tunggu saja, sebentar lagi kau hanya akan mendengar surat pengunduran diri dari sekolah" ujar Benjamin tertawa kecil seraya mendekati sepupunya itu. Ia membiarkan Jennifer menggandeng tangannya seraya menyandarkan kepalanya di pundak lebar Benjamin.

"Kau memang kurang ajar. Datang saat butuh"

Di sisi lain,

"Joseph, sarapan!" panggil Ocla pada putra bungsunya. Isabelle, kakak pertama Joseph sedari tadi duduk santai di meja makan seraya membawa buku.

"Bagaimana keadaan Abigail?" tanya Justin membaca koran. "Jemma tadi mengobati lukanya. Lebih parah dari perkiraanku" jawab Isabella mengganti halaman terbaru buku itu.

"Apa Josh sudah bangun?" tanya Ocla sibuk memasak. "Tadi malam dia tampak begitu lelah, jadi aku membiarkannya" jawab Isabelle tertawa kecil. Isabelle beralih memperhatikan Justin.

Ayahnya itu tampak lebih memikirkan sesuatu, daripada membaca koran.

"Apa ada yang mengganggu pikiran ayah?" tanya Isabelle terheran. Justin menghela nafas lelah.

"Mengapa masalah demi masalah seakan gali lubang tutup lubang? Seakan kita mengambil kesempatan lain untuk menutup masalah, tapi masalah baru muncul"

Isabelle memiringkan kepalanya bingung. "Maksud ayah?" tanya Isabelle terheran. "Christina mengirimku surat" jawab Justin tampak mulai serius.

"Lalu surat itu berisi apa??" tanya Jemma penasaran. "Ada laporan beberapa anggota Canis hilang di wilayah mereka" jawab Justin ragu.

"Hilang? Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Ocla terkejut. "Aku juga tidak tahu. Dia dan rekannya sedang mencari tahu apa penyebab utama menghilangnya mereka"

Jemma yang mendengarnya tertegun. "Ayah" panggil Jemma dengan ragu. "Ada apa, nak?" tanya Justin terheran.

"Apa akhir-akhir ini, kalian mendapat masalah? Entah itu Joseph, atau ayah, atau ibu, atau mungkin.. teman bermain Joseph?" tanya Jemma seakan memastikan sesuatu.

Justin dan Ocla saling memberi pandangan. "Banyak masalah sudah kami alami selama ini, nak. Hanya saja kami selalu bisa mengatasinya" jawab Justin seraya menghela nafas lelah.

Jemma tetap menunjukkan tatapan serius seraya menaikkan sebelah alisnya. "Joseph?" tanya Jemma. Ocla dan Justin terdiam.

Tatapan ketiganya beralih ketika Joseph memasuki ruang makan. "Ada apa?" tanya Joseph terheran ketika mereka menatapnya aneh. Justin menghela nafas.

"Dia dan si peniru sering menghabiskan waktu bersama" ujar Justin. Jemma bangkit berdiri. Tatapan tajamnya terlihat.

"Kau tahu bukan?"

"Ya, aku tahu. Aku tidak berkencan dengannya, aku sering berkunjung ke rumahnya karena-"

"Jangan mengikutkan orang lain dalam pembicaraan ini"

Joseph terdiam. Berdebat dengan Jemma lebih merepotkan daripada berdebat dengan Justin.

"Mau Benjamin yang sering berkunjung ke sana, atau Damian sekalipun atau Morenthes, Mia, dan Vincent siapapun. Kau tidak seharusnya terlibat apapun dengannya" ketus Jemma dengan tatapan tajam.

"Aku juga tetap menjaga jaraknya" Joseph memberinya pembelaan. "Tetap saja, Josh. Kenapa sekarang kau jadi lebih keras kepala?" tanya Jemma terheran.

Joseph mengerutkan keningnya. "Aku bisa mengurus masalahku sekarang. Tidak perlu sekeras itu" ujar Joseph mengerutkan keningnya.

"Masalahmu juga masalah keluarga. Kau laki-laki, Joseph. Kau harusnya berpikir maju karena kau yang akan jadi pewaris. Jika terjadi sesuatu padamu, kami juga yang akan kerepotan" jawab Jemma tidak setuju.

"Pewaris, pewaris, dan pewaris. Kalian selalu menekanku, menuntutku masalah pewaris ini" gumam Joseph menahan amarahnya.

"Sepenting apa menjadi pewaris ini?"

"Joseph!"

Justin menatap putranya tajam. "Kenapa? Ayah juga mendukung Jemma? Sejak kecil kalian selalu menuntutku, memberiku pelajaran tambahan dan itu melelahkan" keluh Joseph.

"Sejak kapan kau jadi sekurang ajar ini?" tanya Jemma mendekat dan menatap adiknya tidak percaya. "Kalian menyudutkanku. Aku dan dia bahkan hanya sekedar berteman saja. Kalian selalu menuduhku berkencan dengannya. Aku juga sadar aku dan dia tidak akan bisa bersama" jawab Joseph berusaha tetap tenang.

Ketiganya terdiam mendengar penjelasan Joseph. Remaja itu berubah pikiran untuk sarapan di luar saja. Ketika ia berbalik dan hendak meninggalkan keluarganya, "Apapun itu, kau harus menjauhinya segera" ujar Jemma berhasil menghentikan langkah.

"Aku tidak akan melakukan itu"

"Jangan keras kepala Joseph!"

Joseph segera berbalik. Isabelle di sana. Menatap tajam Joseph.

"Ini keputusan dan hakku"

"Kau pewaris, kau putra tunggal. Joseph!"

"Aku tidak mau jadi pewaris. Segala sesuatu tentang Canis tidak berharga bagiku. Kalian-"

Ucapan Joseph terhenti ketika sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Ocla, ibunya adalah orang yang melakukannya.

"Jika bagimu Canis tidak berharga, sama dengan kami juga tidak berarti bagimu. Termasuk mendiang kakekmu, nak" ketus Ocla berusaha tenang dan menahan air matanya.

Joseph menatap ibunya terkejut. Itu adalah tamparan pertama Joseph dari ibunya.

Nafas Joseph tidak teratur dan akhirnya ia memilih pergi.

"Josh!"

"Biarkan saja, Jemma"

"Ayah, bagaimana jika dia pergi-"

"Dia akan ke rumah Benjamin"

Jemma segera terdiam.

...----------------...

"Ya? Sebentar" sahut Benjamin yang masih mengantuk. Tangannya meraba-raba, mencari keberadaan gagang pintu. Pikirannya masih mengawang-ngawang di udara.

Tadi malam ia terlalu banyak mengobrol dengan Bernandez. Remaja itu baru tidur 3 jam yang lalu.

"Pagi, Ben" sapa seseorang yang dikenalinya. Benjamin menggosok matanya. Sejenak semuanya gelap dan buram. Setelah matanya benar-benar terbuka, "Joseph?!"

Beberapa saat,

"Jujur saja, jika aku di sana aku juga akan memberimu satu tinjuan" ujar Benjamin menunggu Joseph yang memasak.

Joseph tidak segera menjawab. "Aku benci peraturan keluargaku, Ben" jawab Joseph ragu. "Apa yang begitu kau benci? Kau seharusnya bersyukur, kau dapat sesuatu yang anggota lain tidak mendapatkannya. Kau cucu kesayangan pemimpin sukumu dulu. Lebih tepatnya kakekmu" ujar Benjamin menasehati.

"Ben.. kau tahu bukan jika aku mandul?"

Benjamin terdiam mendengarnya. Ia ingat penjelasan itu. "Lalu?" tanya Benjamin dengan ekspresi ragu untuk melanjutkan topik itu.

Joseph yang tadinya menghentikan acara memasaknya kembali melanjutkan. Ia tidak segera menjawab. Ia menghela nafas lelah.

"Aku abadi, dan sama dengan aku mandul. Satu-satunya cara untuk memecahkan 'kutukan' ini.. adalah dengan aku menemukan cinta sejati. Ini hal yang sama terjadi pada kakek"

Benjamin menatap sahabatnya tertegun. Ia bisa melihat dari tatapan sendu Joseph, ada makna kesedihan di sana.

"Bukankah-"

"Mereka ingin aku bisa punya keturunan. Artinya, tidak dengan Esmeralda. Dia vampir, Ben. Dia juga orang yang membunuh kakek dan Ed"

Benjamin mengerutkan keningnya. Benjamin akhirnya menghela nafas memaklumi.

Permasalahan sahabatnya ini, hanyalah dia yang tetap ingin berkomunikasi dan berhubungan dengan gadis yang dicintainya tanpa harus memiliki, namun keluarganya trauma dengan gadis pembunuh kakek dan anggota andalan suku Canis itu.

"Josh, bisakah aku memberimu saran?" tanya Benjamin ragu. Kemungkinan Joseph menerima sarannya hanyalah 0,1%.

"Saran apa? Apapun itu akan kupikirkan" Benjamin tentu terkejut mendengarnya. Joseph yang keras kepala ini hendak menerima masukan darinya sekarang.

"Ikuti alur keluargamu. Setelahnya, jelaskan keinginanmu"

Joseph terdiam. Ia memindahkan bacon, sosis, dan telur goreng ke piring setelah matang.

"Ben, asal kau tahu. Keinginanku hanya satu. Aku tidak mau jadi pewaris. Aku merasa Morenthes atau Mia lebih cocok" ujar Joseph memberikan sarapan Benjamin lalu duduk di hadapannya.

"Kau bersungguh?" tanya Benjamin terkejut. "Itu lebih baik, Ben. Mereka bisa memberikan keturunan" jawab Joseph mulai menikmati sarapannya pagi itu.

Benjamin tertawa kecil seraya menggeleng-geleng pelan. "Kenapa?" tanya Joseph terheran.

"Apa yang membuatmu tidak mau memutus komunikasi dengannya? Kau sangat bersih keras"

Joseph terdiam. Dia tertawa kecil. "Entahlah, aku tergerak saja" jawab Joseph.

"Apa kau akan seperti ini sampai menikah? Kau pasti ke rumah Damian jika aku tetap tinggal di Chicago" ledek Benjamin mengenai kebiasaan mengadu sahabatnya itu.

"Hahaha. Aku akan selalu melakukannya sampai kau muak"

Di sisi lain,

"Perhatikan jalanmu, Espe" pesan Sharon ketika Esmeralda hampir saja menabrak kulkas. "Kain sialan ini, berapa lama dia terus menempel di mataku?" tanya Esmeralda jutek.

Sharon tertawa kecil mendengarnya. "Kemarilah" panggil Sharon. Uniknya, walaupun gadis itu dibuat badmood, dia tetap menghampiri Sharon.

Sharon segera meraih tangan gadis itu, mengarahkannya duduk di sebelahnya.

"Ada yang ingin kupesankan padamu" ujar Sharon menatap lurus. "Mengenai?" tanya Esmeralda menyandarkan punggungnya.

Sharon menghela nafas. "Jauhi, Joseph" Esmeralda menghela nafas malas.

"Aku tahu kau muak mendengarnya. Tapi ini demi kebaikanmu" ujar Sharon segera menahan Esmeralda yang hendak pergi.

"Katakan saja apa masalah utamanya" perintah Esmeralda dengan nada dingin seperti biasanya. Sharon terdiam. Ia ragu.

"Jika aku bertanya padamu, bisakah kau jujur?" tanya Sharon. Esmeralda mengerutkan keningnya terheran. "Ya" jawab Esmeralda segera.

"Kau kenal Rise Morgans?" tanya Sharon. Esmeralda terdiam. Sharon bisa mengetahui jawaban itu hanya dengan melihat ekspresi itu.

"Kau sudah bilang kau bisa berkata jujur"'

"Ya. Aku mengenalnya"

Sharon menghela nafas. "Apa kau tahu, Mia adalah putrinya?" tanya Sharon lagi.

Esmeralda menatap Sharon terkejut. "Maksudmu?" tanya Esmeralda mengerutkan keningnya tidak percaya.

Sharon menghela nafas memaklumi. "Mia adalah putri dari Marieline Rothrout dan Rise Morgans, pria yang kau bunuh belasan tahun lalu bukan?"

Esmeralda tampak tidak tenang. Ekspresinya tampak khawatir. "Canis tidak tahu kau membunuhnya. Ini alasan aku memintamu untuk menjauhi Joseph. Mungkin akibatnya lebih buruk jika Joseph mengetahui fakta ini dari orang lain. Tapi jika Justin tahu, dia akan lebih murka. Rahasia ini, hanya diketahui oleh Jowell kakek Joseph, dan Moses"

Nama terakhir yang disebutkan Sharon membuat Esmeralda bingung, sekaligus asing. "Moses?" gumam Esmeralda merasa asing.

"Dia kenalan kami, jauh sebelum ayah mengadopsimu" jawab Sharon segera.

"Kesimpulannya. Mulai dari sekarang, jauhi Joseph. Apalagi saat ini, Isabelle dan Jemma sedang berlibur di sini"

Pesan itulah yang disampaikan Sharon, sebelum akhirnya ia beranjak kembali ke kamar.

Tanpa mereka sadari, Marella sudah mendengar percakapan itu. Wajahnya memucat tidak percaya. Esmeralda membunuh, ayah Mia?

......................

"Esme membunuh ayah Mia?" tanya Benjamin terkejut. "Mereka berbicara serius. Aku takut jika Canis justru mengetahuinya"

Malam ini, Benjamin mengajak Marella untuk menghirup udara segar. Walaupun kaki gadis itu belum pulih, setidaknya ada Benjamin yang bisa membantu Marella mengatasi hal itu.

"Joseph bisa saja menyimpan rahasia itu seorang diri jika dia tahu. Tapi itu tidak akan lama. Cepat atau lambat mereka pasti tahu" ujar Benjamin menatap lurus.

"Apa yang akan terjadi jika Canis tahu?" tanya Marella penasaran. "Mereka akan menghukumnya. Banyak oknum jahat di dalam Canis" jawab Benjamin tampak khawatir.

Marella yang mendengarnya tentu ikut khawatir. "Oknum jahat?" gumam Marella menatap lurus.

"Pagi-pagi tadi Joseph datang ke rumah. Dia bilang, dia baru saja mendapat masalah. Mungkin malam ini dia menginap di rumah Rain, atau Morenthes" ujar Benjamin melapor.

"Apa penyebabnya?" tanya Marella terheran. "Sama. Dia berdebat dengan Jemma, dan dia mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Ocla berpihak pada Jemma" jawab Benjamin tertawa kecil memaklumi.

Benjamin sudah sering mendengar curhatan Joseph mengenai perlakuan berbeda antara dirinya dengan keduanya kakaknya.

"Apa Joseph dan keluarganya akan membaik?" tanya Marella penasaran.

"Mungkin masalah yang ini beda. Aku rasa bisa seminggu mungkin?" Benjamin mengangkat bahunya juga bingung dengan situasi sahabatnya. "Manusia berkepala panas memang julukan yang cocok untuknya"

Benjamin tertawa kecil mendengarnya. Marella menyandarkan kepalanya di bahu Benjamin.

"Apa semua akan baik-baik saja? Kenapa masalah demi masalah semakin banyak bermunculan?" tanya Marella bingung.

"Mungkin memang sudah alurnya" jawab Benjamin tertawa kecil.

Di sisi lain,

"Malam, Keith. Apa lukamu sudah sembuh?" tanya Garon menyambut Keith yang berkunjung malam itu.

"Sudah lumayan. Di mana yang lain?" tanya Keith terheran ketika melihat suasana rumah keluarga Gerald yang sepi.

"Veronica menemani Jessi keluar kota untuk bertemu pasien. Patrick dan Sharon seperti biasanya. Patricia dan Marella berkencan. Dan hanya aku dengan Esmeralda di rumah"

Keith mengangguk-angguk kecil. "Duduklah. Apa kau ingin sesuatu?" tanya Garon menawari pria itu. "Ahk, tidak perlu repot-repot. Aku hanya ingin berkunjung saja" jawab Keith tertawa kecil.

"Sudah berapa lama kau di sini? Kau tidak memberi kabar apapun" ujar Garon tetap menyuguhkan sekaleng soda.

"Baru-baru ini, belum ada 1 bulan"

(Bukan lagu ya woi)

"Siapa bocah kemarin? Kalian sampai meluangkan tenaga untuk mencarinya" tanya Keith penasaran.

"Dia kekasih anak bungsuku. Akhir-akhir ini dia banyak terlibat masalah yang harus berurusan dengan vampir-vampir seperti kami. Jadi aku merasa aku bertanggung jawab"

Keith mengangguk-angguk paham. "Dia tampaknya bukan anak manusia biasa" ujar Keith seakan mengetahui sesuatu.

"Maksudmu?" tanya Garon terheran sekaligus penasaran. "Ada beberapa hal yang disembunyikan olehnya. Tapi kalian tidak sadar. Aku bisa melihatnya, dari cara dia melawan Franz" jawab Keith mulai membuka kaleng minumam soda yang disuguhkan padanya.

(Yaela, lu mah sok nolak keith)

"Kau tidak punya tujuan jahat bukan?" tanya Garon sedikit waspada.

"Astaga. Aku justru ingin mengenal bocah itu dan teman-temannya. Mereka menarik" jawab Keith tertawa kecil.

Garon tampak merasa lega. "Garon, bisakah kau membantuku?" tanya Keith mulai serius.

"Untuk?" tanya Garon penasaran. "Mencari dalang pembunuh orang tuaku"

......................

"Hey, Josh. Lebih baik kau meminta maaf. Perkataanmu pada mereka juga salah" saran Morenthes ketika Joseph fokus menonton televisi. Joseph tidak menjawab.

Morenthes menghela nafas lelah, memaklumi sifat keras kepala temannya itu.

Morenthes hendak ke kamar dan membiarkan Joseph meluapkan emosinya. "Aku tidak mau jadi pewaris" ujar Joseph tanpa menoleh.

Langkah Morenthes terhenti. "Kenapa? Bukankah lebih hebat jika kau adalah pewaris?" tanya Morenthes terheran.

"Ada yang aneh dengan semua ini. Aku tidak mau. Jadi, bantulah aku mencari tahu sumber masalahnya"

1
Leon I
terrimakasih banyak, yah! stay tune untuk Dear Dream🫵
palupi
padahal sempat geregetan jg sama jemma, eh taunya nyambung season 3.
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
palupi
ok...
selamat berjuang /Good/
palupi
suka sama cerita model gini karena pertemanan mereka.
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
Leon I
hehehe siap! terimakasih yah, nanti dibuatkan visual protagonis dan antagonisnya
palupi
tambah banyak tokohnya yg muncul.
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
palupi
tambah seru...
lanjut thor 🙏❤️
Leon I
baik segera dilaksanakan tuan!!
palupi
luar biasa 👍
palupi
up lagi thor 🙏💕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!