Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 32 — Something a Miss
“Kau kenapa? Sepertinya sedang banyak masalah,” kata Abimanyu saat melihat Ashana termenung sendirian di taman saat jam istirahat siang.
Ashana menoleh dan tersenyum saat Abimanyu meletakkan satu minuman kaleng dingin ke sampingnya. Perempuan itu cukup terkejut melihat kedatangan dokter bedah spesialis jantung itu.
“Se-sejak kapan Dokter Abi datang? Maaf, tadi aku sedang memikirkan sesuatu sampai tidak sadar," ucap Ashana sedikit tergagap karena gugup.
“Tidak apa-apa, pekerjaanmu pasti banyak, aku mengerti,” kata Abimanyu sambil tersenyum lembut. “Minumlah, sedikit membantu meredakan haus di siang hari yang terik begini.”
Ashana meraih kaleng minuman itu dan membukanya, namun tidak meminumnya, melainkan hanya memegangnya dengan kedua tangan.
“Jadi, bagaimana kondisinya?” tanya Abimanyu tiba-tiba.
“Kondisi … siapa?” tanya Ashana bingung.
“Siapa lagi? Tentu saja pasienmu, bagaimana keadaannya?” Abimanyu menatap ke depan. Banyak pasien dan perawat yang lalu lalang di rumah sakit.
Ashana merutuki dirinya yang tidak fokus saat ini. “Ah, soal itu, keadaannya sudah lebih baik, tinggal menjalani masa pemulihan saja.”
“Masalahmu pasti cukup rumit sampai kau tidak fokus begitu. Kau baik-baik saja?” tanya Abimanyu merasa khawatir pada perempuan itu. Beberapa kali ia perhatikan, Ashana selalu melamun sendirian.
Jika bisa, Abimanyu ingin mendengarkan keluh kesah perempuan itu. Menjadi bahu untuknya bersandar, menjadi tangan yang mampu menopang. Hanya saja, ia sadar posisinya sekarang. Dan itu tidak mungkin terjadi. Ashana hanya menganggapnya teman, dan akan selalu begitu.
Ashana tersenyum kaku, “Apakah terlihat begitu jelas?” Ashana menunduk malu. Rasanya canggung sekali saat seseorang menanyakan masalah hidup sementara ia tak tahu apapun tentang kita.
“Sebenarnya, ya … maksudku, siapapun pasti bisa melihat dengan jelas jika raut wajahmu begitu,” kelakar Abimanyu. “Ah, ya, aku minta maaf jika aku agak lancang.”
Ashana sedikit tersenyum mendengarnya. “Hidup memang tidak pernah lepas dari masalah kan, Dok?” kata Ashana dengan sedikit tawa pahit di akhir kalimat. “Begitu juga denganku, meski aku tak ingin, tapi masalah sepertinya selalu mengikutiku.”
“Benar, setiap hari kita selalu menghadapi masalah. Masalah yang begini dan masalah yang begitu. Masalah itu seperti air yang mengalir, Ashana.” Abimanyu menatap perempuan di depannya dengan senyum tersungging di bibir.
"Tapi, jika masalah itu seperti air, maka sebaiknya kita menjadi batu," lanjut Abimanyu.
"Batu? Kenapa batu?"
"Karena, meskipun air menghantam batu dengan kuat tapi batu tidak hancur. Anggaplah kita ibarat batu itu, Ashana. Yang tidak hancur meski masalah yang datang seperti ombak."
Ashana tertegun mendengar tiap kata yang dilontarkan Abimanyu untuknya. Seulas senyum tipis akhirnya terbit di bibir perempuan itu, membuat Abimanyu merasa sedikit lebih lega.
“Kau pasti bisa menyelesaikan apapun masalahmu, tak peduli itu masalah besar atau kecil, kau pasti bisa.”
Ashana tersenyum lalu mengangguk, ia cukup bersyukur memiliki teman seperti dokter Abimanyu. Yang selalu ada ketika ia membutuhkan. Meski hanya sekalimat kata yang memotivasi, tapi itu lebih dari cukup.
***
Sore hari, Bartha masih sibuk memeriksa laporan keuangan di ruangannya. Proses akuisisi itu belum sepenuhnya selesai, tapi ia merasa lega karena beberapa masalah keuangan perusahaan bisa tertangani tepat waktu.
Ketika mengingat bahwa seseorang yang membantu perusahaan Lazuardi untuk bangkit adalah Faza Nawasena, rahang Bartha mengetat. Ia merasa kesal bahkan hanya dengan mengingat namanya saja.
Tapi, jika bukan karena Faza, ia tak yakin dengan apa yang akan terjadi pada perusahaan ini. Mungkin, perusahaan ini akan mengalami masalah yang lebih besar dan ratusan karyawannya mungkin akan diberhentikan.
Bartha menghela napas berat saat melihat grafik angka saham yang masih naik turun. Setelah menerima investasi yang cukup besar, nilai saham tidak akan lantas langsung melonjak naik dan stabil. Tetapi setidaknya mereka bisa melunasi utang-utang pada kreditur serta membayar gaji karyawan.
Satu ketukan di pintu cukup untuk membuat atensinya teralihkan seketika. Ia mempersilakan siapapun yang ada di balik pintu untuk masuk.
“Apakah aku mengganggumu, Om?” tanya Ashana mengintip dari balik pintu. Ia tersenyum saat mendapati Bartha juga tersenyum ke arahnya dan mulai melangkah masuk.
Bartha bangkit dari duduknya dan menyambut Ashana dengan hangat. “Bagaimana kabarmu, Nak? Kau tidak memberitahuku jika akan datang. Ayo duduk dulu.”
Membimbing Ashana untuk duduk di sofa dan meminta salah seorang office boy untuk mengantarkan minuman ke ruangannya lewat intercom, Bartha akhirnya ikut duduk di seberang Ashana.
“Sebenarnya aku datang karena ingin menanyakan sesuatu, Om. Maaf jika aku tidak mengabari lebih dulu dan malah mengganggu, Om.” Ashana mulai menyampaikan maksud kedatangannya ke kantor pria itu.
“Tidak apa-apa, aku bisa mengerjakannya nanti. Apa yang ingin kau tanyakan? Pasti sesuatu yang sangat penting,” ucap Bartha berusaha untuk santai.
Apapun yang hendak Ashana tanyakan pastilah bukan sesuatu tentang perusahaan. Perempuan iotu tidak pernah repot-repot datang jika hanya untuk urusan perusahaan.
“Om Bartha sudah bekerja bersama ayah cukup lama, kan?”
Bartha mengernyit tapi kemudian mengangguk, “Ya, sudah cukup lama. Kenapa kau menanyakan itu?”
Ashana tersenyum samar, ia memilin-milin ujung kemejanya sebelum lanjut berbicara. “Jadi, Om pasti mengenal ayahku dengan sangat baik, bukan? Om juga pasi mengenal Faza, ya kan?”
Perasaan Bartha mulai tak enak. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Faza selalu bisa mengusik hatinya. sebagai seseorang yang lama bekerja bersama Danendra, ia tentu tahu apa saja tentang ayah Ashana. Tapi mengenai Faza, Bartha sendiri tak cukup yakin.
“Aku mengenal ayahmu dengan baik, Ashana. Bahkan kebiasaan-kebiasaan ayahmu, aku juga tahu. Tapi tentang suamimu … aku tidak terlalu mengenalnya.”
Ashana cukup kecewa mendengarnya, padahal ia baru saja berharap bahwa ia mungkin akan menemukan satu kebenaran. Kekecewaan Ashana dapat dilihat jelas oleh Bartha, membuat pria itu merasa simpati.
“Apakah Om juga tidak tahu kenapa ayah sangat membenci Faza?” tanya Ashana lagi yang langsung dibalas gelengan kepala Bartha.
Bartha tentu saja tahu kisah antara Ashana dan Faza, ia bahkan sering menjadi sasaran tempat curhat Danendra kala ia kesal dengan sikap sang putri semata wayangnya itu. Tetapi, hanya itu yang ia tahu.
“Aku turut sedih dengan apa yang terjadi padamu dan pria itu, Nak. Tapi sebagai seorang ayah, aku bisa mengerti apa yang dipikirkan Danendra saat itu,” kata Bartha.
Ashana menoleh, matanya yang menyiratkan kesedihan dan kekecewaan terhadap sang ayah dapat Bartha pahami. Tetapi, selalu ada fakta tersembunyi di setiap hal.
“Sebagai seorang ayah, kami hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak kami, Nak. Ayahmu juga demikian, meskipun harus kuakui caranya keliru. Tapi percayalah, dia sangat menyayangi keluarga.”
“Aku tahu itu, Om. Hanya saja aku masih tak mengerti kenapa ayah sangat membenci Faza. Ayah sampai rela membohongiku, putrinya sendiri. Ayah berbohong dan membuatku membenci Faza selama bertahun-tahun.” Suara Ashana mulai bergetar.
Tiap kali mengingat kebencian ayahnya terhadap Faza, selalu saja membuat pelupuk mata Ashana berair. Melihat kesedihan Ashana, Bartha menggeser duduknya, menepuk-nepuk bahu perempuan itu sebagai wujud kepeduliannya.
“Tidak ada yang bisa kulakukan untukmu dalam hal ini, Nak. Tapi, jika kau sungguh ingin tahu, cobalah cari kebenarannya di jurnal ayahmu.”
Ashana mengernyit, “Jurnal? Jurnal apa itu, Om?” tanyanya bingung.
“Ayahmu punya kebasaan kecil untuk mencatat hal-hal mengenai keputusannya di sebuah jurnal. Kau tidak tahu itu?”
Ashana menggeleng pelan, “Ayah tidak pernah memberitahuku tentang jurnal atau apapun itu.”
Bartha mengulas senyum tipisnya. “Carilah jurnal itu, siapa tahu kau akan menemukan jawabannya di sana. Aku yakin dia menyimpan jurnal itu di kamarnya.”
Ashana bernapas lega saat merasa menemukan titik temu dari setiap persoalannya dengan Faza. “Aku akan coba mencarinya, Om.”
“Semoga berhasil. Dengar sini … meskipun aku sebenarnya tidak menyukai pria itu, tetapi aku mengharapkan kebahagiaanmu,” ucap Bartha tulus diiringi senyuman.
Ashana mengangguk, “Terima kasih, Om. Aku pamit dulu, ya. Jaga dirimu dengan baik.”
kalo musal km liat Adzana pelukan sama abi ngono piye rasane
selamat berjuang bro