NovelToon NovelToon
Penyesalan Anak Dan Suami

Penyesalan Anak Dan Suami

Status: tamat
Genre:Tamat / Keluarga / Penyesalan Suami
Popularitas:4.3M
Nilai: 4.9
Nama Author: D'wie

Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.

Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BSC 19

Amar tampak kebingungan. Padahal dia sudah bersiap untuk pergi bekerja, tapi bagaimana dengan kedua anaknya? Sementara itu, Nana sudah berangkat lebih dulu ke sekolah. Selain itu, bagaimana pula dengan Aliyah?

Amar menghela nafas panjang. Bingung. Gaffi dan Amri belum mandi sama sekali. Amar lantas menggaruk tengkuknya. Ia tidak pernah memandikan anak-anaknya sama sekali. Saat sibuk bergelut dengan pikirannya, suara pintu diketuk terdengar di telinganya. Dengan Amri di gendongan nanti, Amar pun segera menuju depan dan membuka pintu. Hingga tampaklah seorang wanita paruh baya yang ia ketahui merupakan salah satu tetangga mereka. Jarak rumahnya berselang 5 rumah.

"Assalamualaikum," ucap ibu itu.

"Wa'alaikumussalam salam. Ada apa ya, Bu?"

"Oh ya pak Amar, Aya dengar Bu Aliyah sakit? Apa itu benar? Saya beberapa hari tadi pulang kampung jadi baru tahu pagi ini. Oh ya, ini oleh-oleh untuk Bu Aliyah dan anak-anak," ucap ibu itu menyerahkan sebuah kantong berwarna hitam kearah Amar.

Amar pun menyambutnya dengan senyum tipis, "terima kasih, Bu. Mengenai Aliyah, ibu benar. Istri saya sedang dirawat di rumah sakit saat ini."

"Astaghfirullah, memang ibu Aliyah sakit apa? Saya sering sekali lihat Bu Aliyah tampak sangat pucat. Tapi setiap saya tanya, Bu Aliyah selalu bilang tidak apa-apa."

'Jangankan dengan orang lain, dengan suaminya sendiri saja Aliyah tidak pernah membahas sakitnya.'

Ah, Amar lupa, bagaimana Aliyah mau bercerita, sedang Amar saja seolah tak pernah ada waktu untuk keluarga kecilnya itu. Amar juga tak pernah mau mendengar keluh kesah Aliyah. Jadi wajar kalau Aliyah tak pernah ingin membahas apa yang ia alami dengan orang lain. Apalagi Aliyah termasuk perempuan pendiam. Ia tak pernah membuka aibnya maupun keluarganya khususnya suaminya dengan orang lain. Meskipun itu dengan keluarganya sendiri.

Wajah Amar tampak sendu, tetangga Amar jadi tak enak hati ingin menanyainya kembali.

"Ah, kalau pak Amar belum bisa mengatakannya, tak apa. Semoga ibu Aliyah segera sembuh seperti sedia kala ya, Pak. Oh ya, saya kemari sebenarnya sekalian ingin mengambil pakaian saya."

"Pakaian ibu? Maksudnya?"

"Bapak tidak tahu, Bu Aliyah mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci warga sini. Saya termasuk salah satunya. Karena baju saya sudah diberikan sejak seminggu yang lalu, mungkin baju-baju saya sudah dicuci. Bisa pak Amar bantu ambilkan baju saya itu?"

Jelas saja, Amar membelalakkan matanya. Ia tak pernah tahu kalau Aliyah mengambil upahan mencuci pakaian tetangganya. Sejak kapan? Dan kenapa?

Amar seketika teringat, akhir-akhir ini lauk pauk lengkap dan enak. Baik sarapan maupun makan malam, semua menu benar-benar sesuai seleranya. Padahal Aliyah tak pernah lagi mengeluhkan uang belanja yang kurang.

'Apa karena itu?' batinnya bertanya-tanya.

Kepala Amar mengangguk pelan. Didudukkannya Amri di sofa ruang tamu, tapi Amri justru berteriak tak ingin ditinggalkan. Amar hanya bisa menghela nafas panjang. Ia pun kembali meraih Amri ke dalam gendongannya dan berjalan menuju ruang dimana Aliyah menyimpan pakaian yang telah dicuci, namun belum sempat disetrika.

Sesampainya di sana, Amar melihat ada beberapa kantong berukuran besar. Lalu Amar memeriksanya, ternyata semuanya berisi pakaian. Bahu Amar merosot. Terlalu banyak kejutan yang baru ia ketahui setelah Aliyah mengalami koma. Tak dapat ia tampik, ia benar-benar suami yang jahat. Ia tak pernah mau mengerti istrinya sendiri. Ia selalu mengabaikan istrinya sendiri. Dan kini fakta kedzalimannya yang lain ia temukan lagi. Ia telah membuat Aliyah terpaksa mencari uang tambahan dengan mencuci pakaian tetangganya. Betapa bodohnya dia. Betapa mengerikan dirinya. Sebagai suami, seharusnya ia bisa menjadi rumah untuk istrinya, namun sebaliknya, ia justru menjadi neraka bagi istri dan anak-anaknya.

...***...

Amar telah berdiri di depan kantornya. Sambil menggendong Amri dan menggandeng Gaffi, Amar masuk ke dalam kantor yang tampak sepi. Bukan sepi karena tak ada orang, melainkan sepi karena semua sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Amar sudah bertekad, akan mengambil cuti selama 1 Minggu untuk mengurus Aliyah dan anak-anaknya. Ia harap, dalam satu Minggu ini Aliyah ada kemajuan. Ia berharap, dalam satu Minggu ini, Aliyah segera sadarkan diri.

Amar lantas masuk ke ruang HRD. Ia bertemu dengan pimpinan HRD dan menyerahkan surat cuti miliknya.

"Untuk persetujuan, silahkan pak Amar temui pak Tommy terlebih dahulu," ujar kepala staf HRD.

Amar lantas mengangguk dan gegas menuju ruangan sang atasan.

Kini Amar telah berada diruang atasannya. Ia pun mengatakan tujuan kedatangannya. Sebenarnya atasannya itu tidak setuju Amar mengambil cuti dadakan seperti ini, tapi melihat wajah polos kedua putra Amar membuat hati atasannya luluh.

"Baiklah. Aku berikan izin, tapi hanya satu Minggu. Tidak lebih, apa kau mengerti?"

"Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih," ucap Amar seraya tersenyum kecil.

Saat akan turun ke lobi, tiba-tiba Amar berpapasan dengan Nafisa. Nafisa lantas menyapanya dan memintanya berbicara sebentar.

"Apa? Jadi istri Mas sakit kanker otak? Duh, kasihan sekali. Jadi bagaimana dengan anak-anak? Siapa yang mengurus mereka?"

Amar menghela nafas panjang, "itulah yang jadi masalahnya. Aku benar-benar kerepotan mengurus mereka, sementara ada Aliyah yang harus aku perhatikan. Bisa saja aku menghubungi ibuku, tapi ia pasti akan marah padaku saat mengetahui keadaan Aliyah yang tidak baik-baik saja. Terlebih kalau kedua orang tua Aliyah tau, mereka pasti sedih dan khawatir," keluh Amar. Nafisa lantas mendekat dan mengusap punggung Amar dengan penuh perhatian.

"Kalau mas mau, aku bisa membantu. Mas jaga saja mbak Aliyah, biar aku yang jagain anak-anak. Bukankah aku juga sudah dekat dengan Nana. Aku yakin, Nana pasti akan senang saat bertemu denganku nanti," ujar Nafisa penuh keyakinan.

Amar tampak berpikir, "apa aku tidak merepotkan mu?"

Nafisa menggeleng cepat, "tidak. Aku justru dengan senang hati membantumu. Bagaimana? Mas setuju dengan penawaran ku?"

Bibir Amar seketika merekah lebar, "terima kasih, Fisa. Kau sungguh baik," puji Amar merasa senang atas bantuan yang Nafisa tawarkan.

Setelah berbincang sejenak, Amar pun segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Setibanya di sana, Amar justru kebingungan sebab sesuai peraturan, anak kecil dilarang masuk ke dalam rumah sakit. Bukan tanpa alasan, rumah sakit bukanlah tempat yang ramah untuk anak-anak. Alhasil, Amar pun hanya bisa terduduk di taman rumah sakit dengan wajah muram.

Sejenak ia menoleh ke arah dua anaknya. Anak yang biasanya selalu ceria dengan tawa dan segenap tingkah polahnya kini jadi anak yang pemurung. Bahkan semenjak Aliyah jatuh sakit, ia belum pernah melihat tawa anak-anaknya lagi.

"Gaffi, Amri, mau es krim?" tawar Amar saat melihat penjual es krim tak jauh dari pagar pembatas rumah sakit.

Kepala Gaffi menggeleng, sedangkan Amri mengangguk.

"Amri mau?" Amri lantas mengangguk malu-malu.

"Gaffi, beneran nggak mau?" Gaffi mengangguk sebagai jawaban. "Lantas Gaffi mau apa?"

"Abang Affi mau ibu," ujarnya dengan wajah sendu. Ada rasa yang bergetar hebat dalam dadanya. Perih mencengkeram. Sesak menyiksa kalbu. Tak terbayang kalau Aliyah benar-benar pergi meninggalkan mereka, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan nasib anak-anaknya kelak?

"Abang Gaffi tunggu di sini, ya. Ayah mau ke sana sebentar beli es krim," ucap Amar. Gaffi mengangguk sendu. Sementara Amar menemani Amri membeli es krim.

Setelah membeli es krim, Amar kembali duduk di samping Gaffi.

"Abang mau cicip?" tawar Amar seraya menyodorkan cone es krim ke arah Gaffi. Tapi Gaffi tetap dengan pendiriannya. Ia tak ingin es krim. Yang diinginkannya hanya ibunya. Ya, ibu. Hanya ibunya. Tak ada yang lain.

Amar hanya bisa menghela nafas panjang. Mengapa sulit sekali untuk mendekati anaknya itu. Namun Amar tidak menyalahkan anak-anaknya. Ia sadar, semua berasal dari perbuatannya sendiri. Dia yang terlalu abai akan anak-anaknya. Pun beberapa kali anaknya itu melihat bagaimana ia memarahi Aliyah dan terakhir kali ia melihat bagaimana Amar membentak Amri karena tak bisa diam.

...***...

...HAPPY READING ❤️❤️❤️...

1
Erna Masliana
sakit jiwa
Erna Masliana
tidak apa-apa gundulmu
Erna Masliana
petugas bodoh.. tidur ngopi aja sana..di suruh jaga malah santai
Erna Masliana
kemana Polisi yang katanya mau jaga
Erna Masliana
lapor polisi dong... lagian Polisi kok lama banget nangkep Budi.. bukannya Budi itu buronan y
Erna Masliana
woy ngaca... situ udah tuwir
Erna Masliana
ayo saling serang sampe salah satu diantara kalian masuk penjara
Erna Masliana
😂😂😂😂 sampah ya memang harus di buang..ngotorin
Erna Masliana
nikmati penyesalanmu...Bu Naima nikah sm Pak Akmal ajalah
Erna Masliana
assiiiik jodohnya Bunda Naima
Erna Masliana
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Erna Masliana
👍👍👍👍 najis
Erna Masliana
langsung kasuskan ajalah...lama.. drama
Erna Masliana
bukannya tadi Aliyah didalam y🤔
Erna Masliana
tunjukkan dong
Erna Masliana
bagus... najis... biar semua tetangga tau sekalian
Erna Masliana
si bibi hebat 👍👍
wajib dilaporkan tuh... biar kapok
Erna Masliana
kalian saling gampar dong ribut terus kecelakaan deh.. biar gak ada jahat lagi
Erna Masliana
nu bener yeuh... semoga y ..amiin
Erna Masliana
bagus ni👏👏👏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!