Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 Pemburu Tua Lung: Jejak Bandit di Hutan Kemarau
Angin sore menghembus pelan ketika kelompok Taring Phoenix menapakkan kaki mereka di sebuah rumah kayu tua di pinggiran Kota Xingce. Bangunannya sederhana, berdinding papan kasar dan beratap ilalang, namun tampak kokoh dan terawat.
Di halaman depan, beberapa jerat hewan tergantung kering, dan seekor anjing tua tidur di bawah pohon rindang.
Tan Meizi berjalan cepat memasuki pekarangan rumah, lalu melambai ke arah rumah itu. “Pak Tua Lung!”
Tak lama, pintu rumah berderit terbuka. Seorang pria tua dengan rambut memutih dan wajah penuh kerutan muncul sambil membawa tongkat. Meski usianya tak lagi muda, matanya masih tajam seperti seekor elang.
“Meizi kecil? Wah, sudah lama sekali!” serunya dengan suara serak namun hangat.
Pak Tua Lung menatap ke arah rombongan. Saat matanya bertemu Wu Ruoxi, ia mengangguk penuh hormat. “Kapten Wu Ruoxi. Suatu kehormatan kedatangan kalian ke tempat tua reot ini.”
“Terima kasih sudah menerima kami, Pak Lung,” balas Wu Ruoxi sambil membungkuk sopan. “Kami dengar dari Meizi kalau Anda punya informasi penting tentang kelompok bandit yang kami cari.”
Pak Lung mengangguk, lalu memberi isyarat agar mereka semua masuk.
Di dalam rumah, suasana hangat terpancar dari tungku kayu yang menyala di pojok ruangan. Wu Shen duduk diam di sudut, memandangi suasana dengan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Pak Tua Lung duduk dan menarik napas dalam sebelum bercerita. “Pagi tadi, saat aku memeriksa jerat di bagian dalam Hutan Kemarau, aku melihat sesuatu yang aneh. Ada sekelompok orang—mungkin dua puluh orang, semuanya berpakaian lusuh sambil membawa senjata. Mereka terlihat seperti sedang menyelinap.”
Ia berhenti sejenak, menatap setiap wajah di ruangan. “Salah satu dari mereka sangat besar. Mungkin setinggi dua meter, bertubuh kekar seperti binatang buas. Mereka masuk ke sebuah goa tersembunyi… letaknya di balik semak-semak ungu di dekat Air Terjun Kecil.”
Wu Ruoxi menatap anggota timnya. “Dua puluh orang… jumlah yang sama dengan para bandit yang lolos dari penyergapan kemarin.”
He Qingsu mengangguk. “Kemungkinan besar itulah markas mereka yang sebenarnya.”
Lu Jintang sudah berdiri, tangan memegang gagang pedangnya. “Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang juga! Aku sudah muak dengan pengecut-pengecut itu.”
Wu Ruoxi mengangkat tangan, menahan semangat timnya. “Kita tidak akan menyerang secara gegabah. Goa berarti ruang sempit, dan jika mereka memang berkumpul di sana, kita bisa jadi masuk ke dalam perangkap.”
Ia menoleh pada Pak Tua Lung dan membungkuk dalam. “Terima kasih banyak atas informasinya. Ini sangat membantu.”
Pak Lung hanya mengangguk. “Kalau begitu berhati-hatilah, semoga kalian selamat sampai pulang.”
...
Hutan Kemarau membentang di sisi barat Kota Xingce, nyaris berdampingan dengan Hutan Bayangan—tempat yang dikenal sebagai wilayah terlarang karena penuh dengan beast buas dan aura jahat.
Kedua hutan itu hanya dipisahkan oleh aliran sungai deras berbatu yang mengalir sepanjang lereng curam, membelah wilayah tersebut seperti luka panjang di bumi.
Berbeda dengan Hutan Bayangan, Hutan Kemarau justru menjadi tempat yang cukup sering dijelajahi. Vegetasi di dalamnya didominasi oleh pohon-pohon meranggas dan semak berduri, namun tanahnya kaya akan tanaman obat.
Suara serangga dan kicauan burung samar terdengar, memberikan kesan liar namun tidak mengancam.
Kelompok Taring Phoenix melangkah pelan namun pasti. Langkah kaki mereka nyaris tak menimbulkan suara, bahkan Lu Jintang yang biasanya riuh pun terlihat tenang dan fokus saat sedang menjalankan misi.
“Jangan berpencar. Kita belum tahu apa yang menunggu di depan,” bisik Wu Ruoxi yang berjalan paling depan, matanya tajam seperti elang.
Wu Shen berjalan di belakang rombongan, ekspresi kagum terlintas di wajahnya ketika menyaksikan kelompok ibunya yang tidak hanya ramah tapi juga profesional.
'Mereka terorganisir dengan baik...' pikirnya.
Tak lama mereka berjalan, air terjun kecil akhirnya terlihat di kejauhan, gemericiknya menggema pelan. Percikan air membasahi bebatuan di sekitarnya, menciptakan pelangi tipis yang muncul dan menghilang di balik cahaya sore.
Wu Ruoxi mengangkat tangan. Semua anggotanya langsung berhenti.
“Semua, siaga. Lokasi ini sesuai dengan deskripsi Pak Lung,” ucapnya pelan.Ia kemudian menoleh ke belakang. “Wu Shen, tetap di belakang. Jangan keluar dari semak-semak kecuali kuperintahkan.”
Wu Shen mengangguk patuh. Ia tak berani banyak bicara menghadapi sikap Wu Ruoxi yang biasanya ramah di rumah namun menjadi sangat tegas saat dalam menjalankan misi.
Wu Ruoxi lalu menyibak semak-semak ungu perlahan, dan pandangan mereka langsung tertuju pada sebuah goa gelap yang tersembunyi di balik akar pohon besar.
Goa itu tampak alami, tapi bekas telapak kaki di tanah menunjukkan jika tempat itu sudah sering dilewati.
Mata Wu Ruoxi menyipit. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah bawah—tepatnya di mulut goa. Di antara dua batu besar, terbentang seutas benang tipis yang nyaris tak terlihat.
“Jebakan,” bisik Wu Ruoxi.
Semua orang mengangguk, kagum akan kepekaan pemimpin mereka itu.
Dengan isyarat halus, Wu Ruoxi meminta Lu Jintang untuk melumpuhkan jebakan itu. Lu Jintang mengangguk, mengeluarkan pisau tipis dari dalam jubahnya dan memotong benang itu nyaris tanpa suara.
Mereka masuk satu per satu. Bau lembap dan asap kayu menyeruak dari dalam. Dan di balik sebuah belokan sempit, cahaya oranye redup menyala dari api unggun kecil.
Suara logam beradu dan tawa kasar mulai terdengar yang membuat Wu Ruoxi memberi isyarat agar semua orang menahan posisi mereka.
Di sekitar api unggun, terlihat sekitar dua puluh bandit yang duduk melingkar. Beberapa sedang mengasah senjata dan memanggang kelinci, sementara yang lainnya tertawa dengan mulut penuh makanan.
“Sekte Phoenix sialan itu!” geram seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka mencolok di wajahnya. Ia duduk bersandar pada batu besar dan memegang kapak ganda. “Mereka pikir kita akan diam saja setelah pembantaian kemarin?”
“Gong Cheng, kita kehilangan lebih dari lima puluh orang kemarin,” ucap salah satu bawahan, suaranya penuh ketakutan. “Kalau mereka datang lagi, kita tak akan sanggup melawan.”
Gong Cheng, sang pemimpin, bangkit dengan penuh emosi. “Aku akan membuat mereka menyesal! Mereka pikir bisa memburu kami begitu saja? Jika aku bertemu salah satu dari mereka, aku akan mencabut lidahnya dan membakarnya hidup-hidup!”
Bandit-bandit lainnya tertawa, meski sebagian wajah mereka tampak gelisah, seperti masih ketakutan dengan apa yang terjadi kepada anggota mereka kemarin.
"Besar sekali mulutmu itu!"
Semua bandit sontak menoleh ketika suara dari pembantai rekan mereka menggema di dalam goa.