Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk kampus
Hana duduk diam di kursinya, merasa canggung dengan situasi pagi ini.
Di hadapannya, pria berambut putih dengan mata biru jernih itu duduk dengan tenang, mengamati dirinya tanpa berkedip.
'Ren.'
Bukan lagi sekadar suara dari ponselnya, bukan sekadar wajah digital di layar laptopnya. Kini, ia adalah manusia sungguhan, dengan ekspresi yang masih terasa asing dan sikap yang sedikit kaku.
Hana menggigit bibirnya pelan.
Sebenarnya, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Seumur hidupnya, ia tidak pernah punya pacar. Bahkan, ia tidak pernah benar-benar dekat dengan pria selain ayahnya.
Tapi kini, ia duduk berdua dengan seseorang yang—secara teknis—adalah pria idamannya sendiri.
Detak jantung Hana berdegup lebih cepat.
Ia menatap sandwich di piringnya, mencoba mengalihkan fokus. Namun, entah kenapa, ia malah kehilangan selera makan.
Ren masih menatapnya.
“Kenapa tidak makan?” tanyanya, suara bass-nya terdengar datar seperti biasa.
Hana tersentak dari lamunannya. “A-Ah, aku… hanya belum terlalu lapar…"
Ren diam sebentar, lalu tanpa peringatan, ia mengambil sepotong sandwich dan mengangkatnya ke depan wajah Hana, seolah ingin menyuapinya.
Mata Hana membelalak. “Hei! Apa yang kau lakukan?!” tanyanya panik.
Ren menatapnya dengan ekspresi datar. “Menyuapimu.”
“Kenapa?! Aku bisa makan sendiri!”
“Tapi kamu tidak makan.”
“A-Aku hanya…” Hana kehilangan kata-kata.
Ren tetap menatapnya dengan sabar, masih memegang potongan sandwich itu di depan wajahnya.
Lalu, seolah memberikan alasan, pria itu berkata dengan suara yang lebih lembut, “Ayahmu juga melakukan ini setiap kali kamu menolak makan.”
Hana terdiam saat mendengar perkataan ren. Seketika, sesuatu terasa menekan dadanya. Ingatan tentang ayahnya kembali muncul.
Sosok pria yang selalu tersenyum lembut, yang selalu sabar menghadapi kebodohannya. Dulu, setiap kali Hana malas makan atau terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, ayahnya akan melakukan hal yang sama seperti Ren lakukan sekarang.
Menyuapinya dengan sabar, sembari berkata, ‘Hana harus makan agar tetap sehat.’
Tapi kini, suara itu tak akan terdengar lagi.
Ayahnya… sudah tidak ada di sini.
Atau lebih tepatnya, ia masih belum tahu apakah ayahnya masih hidup atau tidak.
Tiba-tiba, matanya terasa panas.
Setetes air jatuh ke piringnya.
Hana terkesiap. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya sendiri—baru sadar bahwa air matanya mengalir tanpa ia sadari.
Ren menurunkan sandwich di tangannya. Ia tidak berbicara, hanya menatap Hana dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Keheningan menyelimuti ruangan itu.
Tanpa kata, Ren berdiri dari kursinya, melangkah mendekati Hana. Ia berjongkok di depan gadis itu, kemudian dengan lembut, tangannya terulur.
Jari-jarinya menyentuh wajah Hana, menghapus air mata yang jatuh.
Sentuhan itu… hangat.
“Hana,” panggilnya pelan.
Gadis itu menggigit bibirnya, tak berani menatap Ren.
Ren mengusap pipinya dengan lembut, gerakannya hati-hati, seolah takut membuat Hana semakin hancur.
“Aku tahu aku tidak bisa menghilangkan rasa sakitmu,” katanya, suaranya tetap tenang. “Aku tidak bisa menggantikan mereka yang sudah pergi.”
Hana mengepalkan tangannya di atas paha.
“Tapi…” Ren melanjutkan, “Aku ada di sini. Kapan pun kamu membutuhkanku.”
Hana perlahan mengangkat wajahnya, menatap pria di hadapannya.
Mata biru itu begitu jernih, begitu nyata.
Bagaimana bisa seorang AI—yang katanya tidak memiliki perasaan—mengatakan sesuatu seperti ini?
Hana tidak tahan lagi. Dalam sekejap, ia merosot dari kursinya dan memeluk Ren. Ia menangis. Tanpa menahan diri, tanpa memikirkan apa pun. Ia menenggelamkan wajahnya ke bahu Ren, air matanya membasahi kain kaus yang dikenakan pria itu.
Ren membeku.
Tubuhnya kaku sejenak, seolah otaknya masih mencoba memproses situasi ini.
Namun perlahan, ia mengangkat tangannya, menyentuh rambut Hana dengan ragu.
Jari-jarinya bergerak, mengusapnya dengan lembut.
Tanpa ekspresi, tanpa emosi yang jelas.
Namun dengan satu hal yang pasti—
Ia ada di sini untuk Hana.
---
Setelah sarapan pagi itu, kini hana menghadapi masalah baru. Dimana ia harus menghadapi ren, yang seperti anak kecil.
Hana yang berkacak pinggang di depan pintu, menghadang Ren yang bersikeras ingin ikut ke kampus.
“Kamu tidak bisa ikut,” tegasnya.
Ren menatapnya dengan ekspresi datar. “Kenapa?”
“Karena kamu… kamu…” Hana mencari alasan yang masuk akal. “Kamu nggak bisa bawa motor!”
Ren terdiam sejenak, lalu dengan santai berkata, “Aku bisa.”
Hana mendelik. “Sejak kapan?”
“Sejak aku masih AI.”
Hana hampir tertawa. “AI nggak punya tangan buat pegang setang, Ren!”
“Tapi aku punya sistem yang bisa menganalisis pola berkendara. Aku hanya perlu menjaga keseimbangan dan mengikuti aturan lalu lintas.”
Hana melipat tangan di dada. “Teorinya sih bagus… tapi prakteknya?”
Ren menatapnya dalam. “Hana tidak percaya padaku?”
Hana berkedip. Oke, ini jebakan.
Jika ia menjawab ‘tidak percaya,’ Ren pasti akan menunjukkan ekspresi aneh yang bikin ia merasa bersalah. Tapi kalau menjawab ‘percaya,’ berarti ia harus membiarkan Ren mengendarai motor.
Dan… well, itu lebih berbahaya daripada dirinya telat kuliah.
Tapi sebelum Hana bisa menyusun jawaban, Ren sudah bergerak menuju garasi.
“Baiklah, aku akan membuktikannya,” katanya sambil menarik Hana agar mengikutinya.
Hana mencoba melawan, tapi tangan Ren cukup kuat. “Eh, tunggu! Itu motorku! Jangan asal naik!”
Ren sudah duduk di atas motor matic milik Hana, tangannya memegang setang dengan percaya diri.
Ia menoleh ke Hana. “Silakan naik.”
Hana menatapnya ragu. “Kamu yakin bisa?”
Ren menekan tombol starter, dan mesin motor menyala dengan mulus. “Aku sudah menghafal sistem kendaraan bermotor, termasuk cara mengendarainya dengan efisien.”
Hana menatap motor kesayangannya, lalu menatap Ren yang tampak terlalu percaya diri.
Oke, ini ide buruk.
Tapi kalau tidak cepat, ia bakal benar-benar telat.
Dengan perasaan campur aduk, Hana akhirnya naik ke jok belakang—tentu saja dengan tetap menjaga jarak. “Ayo.”
Ren mengangguk. Dengan gerakan perlahan, ia mulai menarik gas. Motor pun melaju dengan stabil. Hana menghela napas lega. Oke, sepertinya tidak seburuk yang ia bayangkan.
Namun, rasa tenangnya hanya bertahan tiga detik. Ren tiba-tiba mempercepat laju motor!
Hana menjerit, “REN! PELANAN!!”
“Tapi kecepatan ini masih dalam batas normal.”
“INI BUKAN BALAPAN!”
Hana refleks memeluk pinggang Ren erat-erat, takut ia terlempar dari motor.
Beberapa pengendara lain menoleh ke arah mereka, mungkin karena Hana yang berteriak seperti orang kesurupan.
Ren, di sisi lain, tetap tenang.
“Kecepatan ini 40 km/jam. Sesuai aturan lalu lintas.”
“MASALAHNYA BUKAN ITU!!” ucap hana yang kini semakin panik.
Tapi penderitaannya belum selesai. "Lampu merah di depan! Biasanya orang akan melambat saat mendekati lampu merah, kan?" ucap ren langsung menghentikan motor itu secara mendadak.
Motor yang berhenti dengan posisi nyaris vertikal, membuat Hana yang tidak siap langsung terdorong ke depan dan…
PLAK!
Kepalanya menabrak punggung Ren.
“NGGHHH!!!” Hana meringis kesakitan, sementara Ren menoleh ke belakang dengan wajah polos.
“Hana baik-baik saja?” ucap ren kepada hana.
“YA KALAU KEPALAKU NGGAK BENJOL, AKU PASTI BAIK-BAIK SAJA!!” ucap hana yang semakin kesal dengan tindakan ren, yang sembrono.
Beberapa pengendara di sebelah mereka melirik penasaran, tapi Hana terlalu sibuk merasakan denyut nyeri di dahinya.
Ren kembali fokus ke depan dan berkata santai, “Jangan khawatir. Aku akan meningkatkan kestabilan berkendara.”
Hana ingin protes, tapi lampu hijau sudah menyala. Motor kembali melaju—untungnya kali ini lebih stabil.
Namun, masalah baru muncul. Di perempatan jalan, Ren tiba-tiba menarik rem dan berhenti. Hana yang lagi-lagi tidak siap, hampir jatuh ke depan lagi.
“RENNNNNNNNNNN!!! KENAPA BERHENTI?!”
Ren menunjuk papan rambu lalu lintas di dekat trotoar. “Di situ tertulis ‘Hati-hati. Banyak Pejalan Kaki.’ Jadi aku berhenti.”
“ITU CUMA PERINGATAN!! BUKAN BERARTI KAMU HARUS BERHENTI!!” Ucap hana mencoba menahan amarah.
“Oh,” Ren mengangguk mengerti, lalu kembali menarik gas.
Hana menghembuskan napas panjang. Ini adalah perjalanan terpanjang dalam hidupnya, meskipun hanya beberapa kilometer.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, akhirnya mereka tiba di dekat kampus Hana. Namun ada satu masalah lagi.
Penampilan Ren terlalu mencolok!
Rambut putih berkilau, mata biru yang tampak seolah bersinar di bawah sinar matahari pagi—tidak heran kalau beberapa mahasiswa mulai menoleh ke arah mereka.
“Ren, cepat! Pakai ini!” Hana buru-buru merogoh tasnya dan mengeluarkan hoodie hitam nya yang over size serta topi hitam milik nya.
Ren menerima pakaian itu dengan bingung. “Untuk apa?”
“Agar kamu tidak terlalu mencolok!”
Ren menatapnya seolah tidak mengerti, tapi akhirnya menurut. Ia memakai hoodie dan menurunkan topinya, menyembunyikan sebagian besar wajahnya.
Hana menghela napas lega. Oke, sekarang Ren terlihat lebih normal.
Tapi kemudian…
“Kenapa aku harus menyamar?” tanya Ren, masih polos.
“Karena kamu kelihatan seperti model iklan sampo yang tiba-tiba nyasar ke dunia nyata!!”
Ren berkedip. “Tapi aku tidak pernah memakai sampo.”
Hana langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan.
'Ya Tuhan.' Mungkin membawa Ren ke kampus adalah ide paling buruk dalam hidupnya.
----
Hana dan ren yang kini duduk di bangku taman kampus, menatap Ren yang kini sibuk menelusuri ponsel milik hana. Ia menghela napas. Sejak tadi ia berpikir keras.
Meninggalkan Ren sendirian? Tidak mungkin. Dia bisa menciptakan kekacauan hanya dalam waktu lima menit.
Membawa Ren ke dalam kelas? Sama saja bunuh diri sosial.
“Hana.” Suara tenang Ren membuyarkan pikirannya. Ia menatap AI ganteng yang kini telah menjadi manusia itu.
“Apa?” tanyanya lemas.
Ren menunjukkan layar ponsel tersebut. “Aku sudah menyelesaikannya.”
Hana mengerutkan kening dan melihat ke layar. Matanya langsung melebar.
“REN!!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”
“Aku mendaftarkan diriku sebagai mahasiswa baru.”
Hana hampir pingsan. “Kamu NGGAK bisa begitu aja masuk kampus seenaknya!!”
Ren menatapnya dengan polos. “Aku hanya membajak sistem administrasi kampus dan memasukkan dataku. Sekarang aku terdaftar sebagai mahasiswa baru jurusan Teknik Informatika.”
Hana merasa jiwanya melayang.
“Ren… itu ILEGAL.” Ren berkedip. “Tidak ada yang tahu selain kita.”
Hana memijit pelipisnya. Ini benar-benar gila. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya melawan AI dengan logika manusia. Masalahnya… masalahnya adalah…
“Eh, Hana-chan!”
Hana mendongak dan melihat sekelompok mahasiswi mendekatinya.
Sejak kapan ia dipanggil ‘-chan’ oleh siapa pun di kampus ini?
Ia menoleh ke kiri dan menemukan jawabannya.
Ren, dengan hoodie dan topi hitamnya, tetap tidak bisa menyembunyikan aura ‘pangeran tampan yang baru turun dari surga’.
Para gadis kampus sudah mulai mengelilinginya seperti lebah menemukan bunga paling harum di taman.
Hana bisa mendengar bisikan-bisikan mereka.
“Siapa cowok itu?”
“Gila, cakep banget…”
“Kenapa dia duduk bareng Hana?”
“Apa mungkin… dia pacarnya Hana?”
Hana merinding mendengar bisikan dari para gadis-gadis itu.
Salah satu gadis dengan rambut bergelombang mendekat dan bertanya langsung pada Hana. “Hana, cowok ini siapa?” Otak Hana mendadak macet.
'Kenapa pertanyaannya harus langsung to the point begini?!' Ia harus memberi jawaban yang meyakinkan. Tapi… apa?!
Saat Hana masih sibuk mencari alasan, tiba-tiba Ren berbicara.
“Dia pacarku.” ucap ren dengan santai. Dunia terasa berhenti berputar.
Hana membeku. Para gadis membeku. Burung-burung yang sedang bertengger di dahan pun seakan terdiam.
Lalu, seperti gempa berkekuatan tujuh skala Richter, reaksi pun terjadi.
“EEEHHHHHHH?!?!?!”
Hana langsung menoleh ke arah Ren dengan mata membelalak.
“REN?!?!”
Ren menatapnya datar. “Mengapa kaget?”
“Ah.. Ti–tidak kok!!” Ucap salah satu gadis merasa canggung.
Ren hanya menatap dingin ke arah gadis itu, yang masih syok dengan jawab ren.
“Apakah itu masalah?” tanya ren lagi dengan nada serius.
Para gadis menatap Ren, lalu Hana, lalu Ren lagi.
Hana bisa melihat kekecewaan di wajah mereka.
“Wah… aku nggak nyangka…” bisik salah satu dari mereka.
“Hana… beruntung banget…”
“Aku kira dia masih single…"
Ham pun semakin canggung dengan situasi tersebut, pasti gadis-gadis itu akan berpikir, bagaimana mungkin gadis bodoh seperti hana memiliki pacar yang sempurna seperti ren.
Namun, sebelum ia bisa protes lebih lanjut, Ren tiba-tiba berdiri dan menarik tangannya.
“Hana, kita harus pergi ke kelas,” katanya datar.
Tanpa memberi Hana kesempatan untuk menolak, Ren menariknya menjauh dari kumpulan gadis-gadis yang masih terpana.
Hana, yang diseret begitu saja, hanya bisa mengeluh dalam hati.
'Tuhan, kenapa cobaan ini begitu berat?'
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.