Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Al Ghani Akbar
Aku membutuhkan tiga puluh menit untuk bersiap. Setelah memastikan semuanya beres, aku langsung memacu mobil menuju kampus, lalu menelepon Ghani saat tiba di parkiran. Tak lama kemudian aku bisa melihat dia melangkah dengan tergesa dari dalam gedung sambil menjinjing sebuah kantong kertas berwarna cokelat di tangan kanan. Sedang tangan kirinya bergerak sesuai dengan langkah yang diambil.
“Ya Tuhan, aku masih belum terbiasa sama udara panas di sini.” Dia melipat seratus tujuh puluh lima sentimeter tubuhnya untuk masuk ke dalam mobilku. Sekonyong-konyongnya dia langsung mengatur posisi sistem air conditioner mobil dan mengarahkan wajahnya ke sana.
Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya. He is Ghani after all. Al Ghani Akbar, lulusan Magister Sains dari salah satu universitas terbaik yang ada di Indonesia. Kami bertemu waktu mengikuti seleksi tenaga pengajar yang diadakan universitas inj. Di pertemuan kedua setelah seleksi, aku, Ghani, Tere, Meggi, dan Juan, beberapa teman seperjuangan, memutuskan bertukar nomor telepon untuk berbagi informasi. Ketegangan seleksi waktu itu membuat kami berlima merasa punya sedikit keterikatan. Walaupun hanya aku dan Ghani yang berhasil lulus di antara kami berlima, kami masih meluangkan waktu untuk berkumpul bersama beberapa kali dalam setahun. Begitulah cerita versi singkatnya.
Aku tertawa. Sudah hampir satu tahun mencoba menyesuaikan diri dengan suhu Kota Padang, dia masih saja belum terbiasa. Aku jadi penasaran sedingin apa Kota Batu, kampungnya itu. “Kamu tuh seharusnya udah biasa disengat matahari tahu, Ghan! Udah setahun tinggal di sini kok, ya, masih ngeluh soal panas.” Aku mencibir.
Ghani memperbaiki posisi duduknya dan kini sudah menjauhkan wajahnya dari AC. “Awas, ya, kamu. Nanti aku bawa ke rumah mama lagi, lebih lama, kamu juga gak boleh protes soal suhunya. Oke? Seminggu mah gak ada apa-apanya.”
Aku menjulurkan lidah padanya sekali lagi.
"Nih!" Cowok brewokan itu lalu menyodorkan kantong kertas yang tadi dia letakkan di pangkuan. Kini aku bisa membaca mereknya dengan jelas. Bandeng Presto. “Mama kemarin titip ini buat kamu. Beliau kayaknya tahu kalau kamu suka banget sama ini.”
Aku menatap Ghani tak percaya. Meskipun sudah pernah bertemu dan sesekali melakukan panggilan telepon untuk bertukar kabar, aku tidak ingat pernah mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada olahan bandeng itu setelah dibawakan oleh seseorang di yayasan dulu. “Jangan bercanda deh kamu, Ghan! Pasti kamu kan yang ngasih tahu mama kamu? Kalau gak, dari mana beliau bisa tahu apa yang aku suka?”
Dia mengangkat bahunya, berlagak cuek. “Ah, sama aja itu mah. Yang penting kan Mama beliinnya buat kamu.”
Kupukul lengannya dengan gemas. Rasa tidak enak dan gugup seketika bercampur di dalam darah. "Iiii, Ghaniiii! Kamu bilang apa aja ke mama kamu soal aku? Aduuuh, kamu bikin aku malu aja pakai cerita-cerita segala. Iiiih!"
Ghani malah dengan berani-beraninya tertawa di atas kecanggunganku. Kuserang dia sekali lagi. "Ih!" rutukku sambil memukulnua untuk terakhir kali.
Akhirnya, tawa Ghani mereda. "Udah, ah. Jangan sok malu gitu. Mama senang kok bisa kasih kamu apa yang kamu suka."
Aku mengembuskan napas perlahan. Ah, aku jadi rindu dengan wanita yang sudah melahirkan cowok yang duduk di sampingku ini. Ingatan akan memori yang pernah kami bagi mengukir sebuah senyuman di wajahku. Segera saja kuambil kantong itu daei tangan Ghani dan memindahkannya ke kursi belakang. “Thanks ya, Ghan. Nanti aku kirim pesan ke Mama juga deh buat bilang makasih.”
Ghani tersenyum lembut sambil mengacak-acak rambutku. “Oke. Thanks, ya. Hati-hati nyetirnya, okay? Aku ada kelas tiga puluh menit lagi. Aku mau beli makan siang dulu.”
Oh! Hampir saja lupa. Aku lantas menjangkau sebuah kantong plastik yang kuletakkan di compartment yang ada di antara bangku kami. “Eh, iya. Nih. Tadi aku sempat mampir buat beli nasi rendang kesukaan kamu dulu sebelum ke sini. Sendok sama garpunya juga udah aku siapin di dalam kantong.”
Satu hal lagi, sudah hampir setahun ada di sini dan Ghani masih saja tidak mau makan nasi langsung menggunakan tangannya. Kadang aku mencemooh kebiasaannya itu, sudah jadi orang Padang kok masih enggak mau makan pake tangan.
Dan dia selalu menimpali ucapanku itu dengan argumennya sendiri. "Aku masih setengah Padang, ya. Masih merantau. Jadi, aku belum harus lah ngikut-ngikut tradisi sini. Besok kalau aku udah nikah sama orang Padang, nah, itu lain lagi ceritanya. Itu baru resmi aku jadi orang Padangnya."
Dasar, si Gelo.
Ghani sekonyong-konyongnya mengambil bungkusan itu. Sentum lembur yang ada di wajahnya kini semakin melebar. “Aku kayaknya harus benaran lamar kamu nih," ucapnya sambil menggoyangkan alisnya naik dan turun.
Inside joke kami yang lain.
Aku memutar bola mata, sudah hafal betul dengan kalimat yang baru saja dia katakan. “Yeah, memang. Tapi, tenggang waktunya baru saja berakhir dua puluh tiga detik yang lalu. Kamu telat.”
Ghani terbahak, tangannya kini membuka pintu mobil. “See you soon, Kay.” Dia mengedipkan sebelah matanya.
“See you, Ghan.”
****
"Kayaknya Ghani oke juga tuh, Kay.” Mimi berkometar seenaknya saat mobil memasuki jalanan. Aku baru saja menjemputnya di tempat pemberhentian bus jurusan Solok-Padang. Entah kenapa tiba-tiba saja dia mengirimkan chat minta dijemput di sana.
"Everything okay with you and Bang Rian?" Aku bertanya karena tidak biasanya dia melakukan sesuatu dengan tiba-tiba begini.
"Jangan mengalihkan pembicaraan deh. Aku lagi ngomongin Ghani tahu!"
"Kamu juga jangan mengalihkan pembicaraan, ya. Aku juga lagi ngomongin kamu sama Bang Rian. Kalian berantem?"
Dia menggeleng. "Enggak. Aku cuma lagi pengen jalan aja. Mendadak mau shopping. Lagi capek banget sama kerjaan di sekolah sama urusan kuliah."
Oookay. Sebagai satu-satunya fresh graduate yang mengajar di sekolah itu, Mimi dengan cepat mendapatkan kepercayaan dari pihak yayasan sekolahnya untuk memegang tampuk pimpinan. Sekarang dia juga sedang mengikuti kelas akhir pekan untuk program pascasarjana di universitas almamater kami.
"Oke, oke. Jadi, mau langsung ke mall apa gimana dulu?" Aku ingin tahu apa rencananya.
"Nyari kafe aja dulu, yok. Aku mau dengar cerita kamu nih!"
Aku meliriknya sekilas dengan kening berkerut. "Cerita apaan?"
"Heleh!" Mimi mengibaskan tangan. "Jangan pura-pura gak tahu apa yang aku bahas, deh!"
Aku menggelengkan kepala sembari terus menatap jalanan yang ramai di depan kami. Sore ini jalanan Kota Padang ramai seperti biasanya oleh kendaraan pekerja maupun mahasiswa yang menuju ke kediaman masing-masing. “Ya, lagian kamu ngomongnya ngasal. Maksudnya oke apa coba? Jangan mulai yang aneh-aneh deh, Mi.”
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️