"Shaka! Nimas sedang hamil anakku. Tolong nikahi dia, jaga dia seperti kau jaga orang yang kau cintai. Ada darahku yang mengalir di janin yang sedang di kandung. Terima kasih."
Itu adalah amanah terakhir dari Bryan, Kakak dari Shaka. Sejak saat itu Shaka benar-benar menjalankan amanah dari sang Kakak meskipun ia sendiri sudah memiliki kekasih yang ia pacari selama dua tahun.
Tidak mudah bagi Shaka saat sedang menjalani apa yang sudah di amanahkan oleh Bryan. Berbagai tentangan dari sang kekasih dan juga kedua orang tuanya tak bisa ia hindari.
Mampukah Shaka menjalani bahtera rumah tangga dengan wanita yang bahkan belum ia kenal? Sampai kapan Shaka kuat menjalankan amanah yang di limpahkan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Hampir Khilaf
Di malam berikutnya, setelah acara makan malam yang menyesakkan itu, Shaka dan Nimas berada di kampung halaman Nimas. Mereka sampai di sana siang hari, dan malam hari ini mereka akan kembali ke kota untuk pernikahan yang akan di gelar dua hari lagi.
Banyak pertanyaan yang diajukan oleh Ayah Nimas mengenai pernikahan yang serba mendadak bahkan tanpa lamaran. Sempat curiga karena dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh Ayahnya, Nimas yang paling banyak menjawab, tentu saja dengan berbagai kebohongan.
Shaka kurang suka dengan apa yang dilakukan oleh Nimas. Hal apapun yang diawali dengan kebohongan akan berujung dengan kebohongan-kebohongan lainnya. Memang akan terasa sulit jika hari ini mereka mengatakan hal yang sebenarnya, pasti akan menyakiti hati kedua orang tua Nimas, tapi akan lebih menyakitkan jika mereka tahu anaknya itu berbohong. Mereka akan mengalami sakit hati yang berkali-kali lipat.
Namun, Shaka juga tidak berucap apapun ketika Nimas melakukan itu. Pria itu mencoba untuk lebih mengerti gadis itu bahwa, ia melakukan itu juga pasti karena takut dengan reaksi kedua orang tuanya. Ia tidak mau memaksakan egonya jika itu membuat semua malah berantakan.
"Ada yang mabuk nggak, nih?" kelakar Shaka berusaha untuk mencairkan suasana yang dirasa sangat tegang. Shaka yang ceria dan ekstrovert tidak suka dengan suasana seperti ini.
"Aku biasanya suka mabuk, Kak. Tapi kayaknya ini nggak akan mabuk, mobil Kakak bagus. Mbak Nimas pinter juga cari suami."
Ocehan Nino direspon tawa oleh Shaka. Sedangkan manusia lainnya menatapnya dengan mendelik, mungkin saja mereka sungkan dengan Shaka.
Nino memang lebih ekspresif dari pada Nimas. Lebih supel dan banyak bicara, anak remaja itu nampaknya akan cocok jika bersama dengan Shaka. Mereka sama-sama recehnya.
"Kamu juga harus punya mobil nanti, ya. Kamu mau kuliah di mana setelah lulus?"
"Nggak tahu, kayaknya aku mau kerja aka, Kak."
"Jangan dong, ikut Kakak aja mau? Kuliah di kota. Nanti tinggal bareng sama Kakak nggak apa-apa, kalau mau belajar mandiri, bisa ngekos nanti."
"Aduh, Nak Shaka. Belum apa-apa kok sudah merepotkan," sahut Ibu Nimas tak enak hati.
"Kita, kan keluarga, Bu. Nggak merepotkan kok. Kan untuk masa depan Nino juga. Nanti kalau dapat kerjaan bagus, kan kita juga yang seneng. Nanti bisa nyenengin Ibu sama Ayah juga, bisa menjamin kehidupan istrinya juga nanti."
"Jauh banget ngomongnya Kak Shaka. Nanti akan aku pikirkan, Kak kuliah di mana."
Nimas sejak tadi diam karena ia sedang menahan mual. Perutnya terasa diaduk saat ini. Namun, ia berusaha untuk menahannya dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Shaka, kalau ada pom belok sebentar, ya. Aku mau ke kamar mandi."
Shaka lalu menoleh ke arah Nimas, melihat wajahnya yang pucat nampaknya ia tahu apa yang sedang dirasakan oleh gadis itu. Shaka memang luar biasa. Pria itu terlalu sempurna untuk menjadi seseorang, karena pria idaman yang diimpikan oleh kaum hawa kebanyakan ada di diri Shaka.
"Iya, di depan sana ada pom kayaknya. Pakai ini dulu," bisik Shaka sembari melirik ke belakang.
Pria itu menyerahkan sebotol kecil minyak angin. Nimas nampak ragu menerimanya, namun di detik berikutnya Shaka menganggukkan kepala seakan meyakinkan Nimas.
Melihat perhatian-perhatian yang disodorkan oleh Shaka membuat jiwa egois Nimas sedikit bicara kali ini. Ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia bisa memiliki pria ini selamanya, apakah suatu hari nanti ia akan mendapatkan hati, cinta, dan juga jiwa raga pria yang sedang berada di sampingnya ini? Bukan hal yang aneh jika Nimas berharap lebih. Perhatian dan juga ketulusan yang Shaka beri membuat Nimas merasa beruntung mengenalnya.
Begitu mobil berbelok ke arah pom bensin, Nimas seketika berlari menuju toilet. Gadis itu mendekap erat mulutnya agar tidak muntah di tengah jalan.
"Mbak Nimas kenapa Kak Shaka? Apa dia mabuk? Tumben?" Nino heran melihat kakaknya yang mendekap mulutnya. Karena ia tahu, sejak dulu Nimas tak pernah mabuk menaiki kendaraan apapun.
"Mungkin saja, kalian tunggu di sini sebentar, ya. Biar aku yang nyusul."
Shaka meninggalkan mobil sama dengan Nimas tadi, dengan tergesa-gesa seakan ia harus segera sampai di sana.
"Beruntung, ya kita punya menantu yang perhatian sama anak kita. Nimas pasti bahagia nanti, Ayah lega, Bu. Nimas menepati janji untuk menjaga diri hingga sah menjadi milik seseorang. Apa yang Ayah takutkan tidak terjadi."
Ayah Nimas dulu sebenarnya tidak mengizinkan Nimas pergi ke kota karena beliau takut jika Nimas akan bablasan soal pergaulan. Dan ternyata yang terjadi sesungguhnya adalah kebalikannya.
"Itulah pentingnya kita mempercayai anak."
Beralih pada Shaka yang sedang mencari di mana toilet yang Nimas masuki, semua pintu tertutup membuat ia bingung.
"Nimas, kamu di mana?" teriak Shaka.
"Aku di sini," jawab Nimas membuka pintu yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Wajah gadis itu nampak semakin pucat dan lemas. Mungkin saja banyak makanan yang kembali ia muntahkan sehingga kehabisan tenaga.
"Kamu pucet banget, Nimas. Kamu muntah banyak?"
Belum sempat menjawab, Nimas sudah kembali masuk ke dalam kamar mandi yang segera di susul oleh Shaka. Pria itu membantu Nimas dengan memijat pelan tengkuknya.
"Ini salah aku, seharusnya aku nggak ngajak pulang malam ini. Kamu pasti kecapean. Akhir-akhir ini muntah kamu nggak parah dan sekarang malah makin parah. Aku minta maaf," ujar Shaka masih memijat tengkuk calon istrinya.
"Nggak apa-apa. Ini, kan terjadi pada semua wanita hamil. Jangan merasa bersalah. Aku nggak apa-apa kok."
"Nggak apa-apa gimana? Ini kamu muntah banyak, belum yang tadi. Coba minyaknya tadi kamu oles ke badan kamu, deh. Biar anget."
"Ini udah mendingan kita balik ke mobil, yuk!"
"Serius? Aku nggak mau lanjut perjalanan kalau kamu belum sehat bener."
"Ya mau tidur di mana emang? Nggak apa-apa, Shaka. Akan lebih baik jika kita bisa cepat sampai rumah biar aku cepat istirahat."
"Ya udah kalau memang itu yang kamu mau." Shaka membantu membersihkan sudut bibir Nimas yang terdapat noda.
Untuk sejenak mereka saling pandang dalam diam dan lekat. Keheningan yang terasa menyelinap di bawah atap kamar mandi umum itu membuat mereka terbawa suasana. Shaka tanpa sadar mendekatkan kepalanya ke wajah Nimas, semakin lama semakin dekat dan
"Mbak Nimas, Kak Shaka? Kalian baik-baik saja?" teriak Nino dari luar.
Sadar dengan posisi mereka, Shaka segera menjauh dari wajah Nimas. Keduanya nampak salah tingkah.
"Kita keluar sekarang, ternyata kita sudah terlalu lama di kamar mandi," ujar Nimas berucap dengan gugup.