Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAYA HAMIL
Seorang gadis muda menyusuri koridor demi koridor rumah sakit. Memperhatikan tiap pria berjas putih. Sudah hampir satu jam dia berkeliling namun belum juga menemukan orang yang dia cari. Rasanya sia-sia saja bolos sekolah hari ini jika tak berhasil menemukan orang tersebut. Tapi dia belum mau menyerah. Lebih tepatnya tak mau menyerah, terus melangkahkan kaki menapaki lantai rumah sakit besar tersebut.
Dia adalah Alula. Gadis yang masih duduk dibangku kelas XII itu menyamarkan seragamnya dengan memakai hoody over size yang hanya menampakkan sedikit rok abu-abunya. Jangan sampai ada yang mencecarnya karena keluyuran dijam sekolah seperti saat ini.
Disaat kakinya mulai terasa pegal, matanya menangkap sosok yang dia cari sejak tadi. Tak mau kehilangan jejak, dia berlari menghampiri pria berjas putih itu sambil berteriak.
"Dokter, Dokter, Mas Dokter."
Tak sia-sia, yang dia panggil akhirnya berhenti. Menoleh dan tampak mencari-cari orang yang mungkin saja memanggilnya.
Alula mempercapat langkah, berhenti tepat didepan Dokter tersebut dengan nafas tersengal. Matanya tertuju pada name tag yang tersemat dijas putih yang dikenakan sang Dokter. Disana tertera Dr. Aydin shadiq.
"Kamu????" Dokter Aydin belum sepenuhnya lupa dengan wajah gadis didepannya.
"Ya, saya gadis yang waktu itu," sahut Alula.
"Oh.." Dokter Aydin menggut-manggut. Perasaannya mendadak kacau. Tak bisa dipungkiri, bertemu kembali dengan Alula membuat dia otomatis teringat dengan hari itu. "Ada keperluan apa disini? Saudara kamu ada yang sakit?"
Alula menggeleng.
"Lalu siapa, teman kamu?"
Lagi-lagi Alula menggeleng.
"Lalu," Aydin mengerutkan kening. "Ada keperluan apa di rumah sakit?"
Alula tak langsung menjawab. Aydin bisa menangkap keraguan diwajahnya. Namun setelah beberapa detik hanya diam, akhirnya Alula bersuara lirih sambil menunduk. "Saya hamil."
"Hamil?" Hanya kata itu yang mampu ditangkap oleh indra pendengaran Aydin. "Oh..nganter saudara kamu cek kehamilan?"
"Bukan," Alula menggeleng sambil mengangkat wajahnya.
"Lalu, siapa yang hamil?"
"Sa-saya," sahutnya sambil menunjuk diri sendiri.
"Kamu," respon Aydin santai. Namun beberapa detik kemudian, raut wajahnya berubah. "Apa, ka-kamu? Kamu hamil?" tanyanya dengan wajah pias. Jantungnya mulai berdetak kencang tanpa terkendali. Dia menatap tak percaya kearah perut yang tertutup hoody tersebut. "Ja-jangan bilang kalau itu?"
"Ya, ini anak Mas Dokter."
Jeder
Tak ada angin tak ada hujan, Aydin bagai langsung tersambar petir. Langit seakan runtuh dan langsung menimpanya. Kabar ini sungguh mengejutkan. Jika benar gadis yang berdiri dihadapannya itu hamil anaknya, apa yang harus dia lakukan.
"Saya hamil, Dok. Saya hamil anak_" Aydin langsung membungkam mulut Alula. Melihat sekeliling dengan wajah cemas, takut ada yang mendengar. Nama baiknya bisa hancur jika ada yang tahu dia menghamili seorang gadis, dan karier yang baru dia bangun setahun ini, akan hancur berantakan.
"Kita bicarakan ditempat lain," ujar Aydin sembari melepaskan tangannya dari mulut Alula. Dia pegang pergelangan tangan gadis itu lalu menariknya pergi dari sana. Namun tiba-tiba, langkah kakinya terhenti saat menyadari jam kerjanya belum selesai, bahkan baru dimulai beberapa jam tadi.
"Ada apa, Dok?"
Aydin menghela nafas berat. "Kita bicarakan nanti, aku masih harus kerja." Dia mengambil ponsel dari saku jasnya. "Berapa nomor telepon kamu?"
"Saya tidak ingat." Jawaban Alula membuat mata Aydin langsung melotot.
"Hal pribadi seperti itu saja, kau tidak ingat. Tapi bisa-bisanya kau ingat jika kita pernah tidur bersama," celetuk Aydin. Wajah kesal pria itu membuat Alula menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan, berusaha untuk tidak terpancing amarah. Karena ada hal yang lebih penting dari sekedar marah-marah saat ini. Lupa nomor telepon, menurutnya itu hal yang wajar. Tapi lupa pada wajah pria yang telah merenggut mahkotanya, tidak akan mungkin. "Cepat catat nomor teleponku," titahnya.
Alula mengambil ponsel dari tas ranselnya, dan tanpa sengaja, Aydin yang menunduk melihat rok yang dikenakan gadis itu. Keningnya mengkerut, rok abu-abu itu mirip dengan seragam SMA.
"Berapa nomornya?" tanya Alula yang sudah siap dengan ponselnya. Aydin yang masih fokus pada rok Alula, tak menyadari jika gadis itu bertanya. "Dok, be_"
"Kamu....." Mata Aydin masih terkunci pada rok abu-abu. "Kamu masih sekolah?"
"Iya."
"Shittt," Aydin langsung mengumpat. "Double shitt," ulangnya sambil menarik kasar rambutnya kebelakang. Ini tak hanya bencana baginya, tapi kiamat. Apa yang harus dia lakukan pada gadis yang masih sekolah dihadapannya itu. Belum lagi jika gadis itu dibawah umur, bisa-bisa dia kena pasal berlapis jika tak mau tanggung jawab.
"Dok, Dokter," Alula kembali memanggil namun Aydin tak menyahuti. "Mas dokter," dia menepuk bahu Aydin, membuat pria itu langsung menoleh. "Berapa nomor telepon, Mas dokter?"
Aydin menyaut ponsel ditangan Alula, menekan nomor yang sudah dia hafal diluar kepala lalu melalukan misscall ke nomor ponselnya sendiri tersebut. "Sudah, pergilah," ujarnya lemas. Namun belum juga Alula beranjak selanhkah, justru dia yang lebih dulu pergi. Dengan langkah lunglai, kembali ketempat dia tugas. Masalah besar menantinya, apa yang harus dia lakukan? Menikah? Astaga, menikah masih sangat jauh dari angannya. Masih ingin meniti karier. Tapi kalau tidak menikah, tegakah dia menyuruh gadis SMA itu menggugurkan kandungannya?