Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
☀️☀️☀️
Air mata itu jatuh lagi. Tanpa suara, tanpa isak. Hanya mengalir pelan di pipi pucat Niken, yang duduk terpaku di sudut ruang tengah rumahnya yang sepi. Gelap menyelimuti langit di luar jendela, dan hanya lampu temaram di ruang tamu yang menemani kesendiriannya. Matanya menatap kosong ke arah lantai, namun pikirannya sibuk memutar ulang kalimat-kalimat menyakitkan yang terucap beberapa hari lalu.
"Rahimmu terlalu dingin, Bu. Kau tidak bisa memberi Damar keturunan. Lalu, untuk apa seorang pria mempertahankan wanita sepertimu?"
Tania, wanita yang selalu berwujud Dewi saat sedang bersama dengan Damar itu bermulut sangat pedas. Meski Niken selalu bersikap kuat saat menghadapi wanita itu, nyatanya Niken bisa kalah juga.
Niken memeluk lututnya sendiri, tubuhnya bergetar pelan. Bukan karena dingin, tapi karena luka di hatinya yang belum sembuh juga. Rasanya hina sekali dianggap tak layak menjadi seorang istri hanya karena satu hal: ia sulit punya anak. Sejak rumah tangganya dengan Damar hancur karena hal itu, ia menutup rapat pintu hatinya.
Apa semua pria memang sama? Cinta mereka hanya sampai di batas kesempurnaan. Begitu tahu ada kekurangan, mereka pergi tanpa menoleh lagi. Tak peduli seberapa tulus cinta yang ia beri.
Ting.... Tong....
Bel rumah berdentang memecah kesunyian.
Dengan malas, Niken bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia membuka perlahan, dan di sana berdiri sosok yang sudah sangat ia kenal.
“Fayola?”
Senyum hangat menghiasi wajah sahabatnya yang membawa dua kantong besar berisi makanan. “Aku bawain banyak makanan. Kamu pasti belum makan kan?” ucap Fayola sambil masuk dan langsung menuju dapur.
Niken hanya mengangguk pelan.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Fayola sambil menata makanan di meja. “Ayo makan bersama, setelah itu minum obat. Malam ini aku menginap di sini, agar bisa menjagamu.”
Mata Niken berkaca-kaca lagi. Kali ini ia tak mampu menahan tangisnya. Tubuhnya lemas, dan ia pun jatuh ke pelukan Fayola.
“Kenapa, Ken? Kau masih belum bisa move on dari Damar?” tanya Fayola, lembut, sambil membelai punggung sahabatnya.
“Bukan.... Bukan soal Damar. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa ke dia,” jawab Niken dengan suara parau. “Aku hanya.... Belum bisa terima kenyataan. Aku sulit untuk punya anak, La. Itu kelemahanku. Semua orang memperlakukanku seolah-olah aku gagal sebagai perempuan. Termasuk Tania.... Dan mantan ibu mertuaku.”
Fayola menatap sahabatnya dengan iba. “Ken, kau harus ingat. Tuhan memang memberimu satu kekurangan. Tapi Dia juga memberimu banyak kelebihan. Kau cantik, sukses, mandiri, kuat. Kau selalu bisa dapat apa pun yang kamu mau. Tidak semua perempuan punya kekuatan seperti itu.”
Niken menghapus air matanya perlahan. Ada kehangatan yang menyusup di balik dingin hatinya.
“Terima kasih, La. Kau memang temanku yang paling baik.” bisiknya.
“Dan satu lagi,” tambah Fayola, menatap serius. “Buka lagi hatimu untuk pria baru. Jangan terus menyiksa diri. Luka itu akan sembuh kalau kau mau memberi kesempatan lagi.”
Niken diam. Dalam hatinya, sesuatu perlahan berubah. Mungkin... sudah waktunya ia mulai menyembuhkan diri. Mungkin, tidak semua pria akan meninggalkannya karena kekurangannya. Mungkin, ada seseorang di luar sana yang akan menerima dirinya seutuhnya.
Tapi... apa ia berani mencobanya lagi?
***
Pagi yang hangat menyusup masuk lewat sela tirai jendela, membasuh ruang tamu dengan cahaya keemasan. Aroma teh melati menguar dari cangkir di meja, menenangkan suasana hati yang semalam sempat kusut. Fayola duduk di sofa, mengenakan piyama garis-garis dengan rambut yang masih sedikit kusut. Ia menyeruput tehnya sambil menatap Niken yang sibuk melipat selimut di lantai.
“Kau kelihatan lebih tenang pagi ini,” ucap Fayola, membuka percakapan.
Niken tersenyum kecil. “Terimakasih sudah mau menginap semalam. Aku butuh ditemani.”
Fayola mengangguk. “Aku sahabatmu, Ken. Kapan pun kau butuh, aku akan datang.”
Setelah beberapa saat hening, Fayola meletakkan cangkirnya di atas meja dan menatap Niken dengan sorot penuh pertimbangan. “Ken, kenapa kau tidak coba dekati Bastian?”
Niken berhenti melipat selimut. Ia menoleh dengan dahi berkerut. “Bastian?”
“Iya, Bastian. Si pengacara itu. Kau sering cerita tentang dia. Aku lihat kalian akrab. Dia baik, sopan, tampan, mapan juga. Jenis pria yang banyak wanita mau, lho.”
Niken tertawa pendek, tapi nada tawanya pahit. “La, dia lebih muda tiga tahun dariku. Aku tidak suka berondong. Nikah dengan yang lebih tua saja bisa kecewa, apalagi dengan yang lebih muda.”
Fayola mengangkat bahu. “Ken, jangan terlalu cepat menilai. Coba aja PDKT dulu. Siapa tahu cocok. Aku tidak memintamu langsung nikah dengan dia, kok. Cuma… kasih kesempatan saja. Kalau ternyata tidak cocok, ya kau tinggal mundur.”
Niken menghela napas, lalu duduk di samping Fayola. “Aku takut itu malah bikin hubungan kami canggung. Dia itu temanku, Yo. Kami udah akrab dari dulu. Kalau aku nyoba deketin dia, dan ternyata dia nggak punya perasaan yang sama, aku bisa kehilangan dia sebagai teman.”
“Tapi kau juga tidak akan pernah tahu kalau kamu tidak mencoba. Bastian menyukaimu, aku bisa lihat dari sorot matanya saat menatapmu,” Fayola menimpali lembut. “Kau bilang sendiri, Bastian itu selalu ada kalau kau butuh. Dia tidak pernah menilai kamu dari kekuranganmu. Apa kau yakin dia cuma menganggap kamu teman?”
Niken terdiam. Hatinya berdebar pelan mendengar kata-kata Fayola. Ia ingat bagaimana Bastian selalu membela dirinya saat orang-orang mulai menyinggung soal rahim dingin atau status jandanya. Ia juga ingat bagaimana pria itu selalu tersenyum padanya, menatapnya seolah tak ada yang perlu disesali dari dirinya.
Tapi... berani kah ia membuka hatinya lagi?
“Aku cuma takut berharap, La. Kalau gagal lagi, aku tidak yakin bisa kuat.”
Fayola menggenggam tangan sahabatnya. “Kau kuat, Ken. Bahkan saat kau tidak merasa begitu. Hanya saja, kadang kekuatan itu butuh dorongan. Mungkin... Bastian bisa jadi salah satu dorongan itu.”
Niken menatap mata sahabatnya, dan untuk pertama kalinya, ada secercah ragu yang terasa manis. Apa benar Bastian menyukainya?
Bersambung....