NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab13

Asyik melepas rindu, Nathan dan Thalita benar-benar larut dalam dunia mereka sendiri. Pelukan, tatapan, dan senyuman mereka bertaut tanpa beban. Mereka tak menyadari bahwa dari kejauhan, sepasang mata tajam memperhatikan mereka dengan geram—mata yang menyimpan bara emosi yang berusaha dikendalikan.

Tiba-tiba, suara pengumuman terdengar nyaring memenuhi seluruh ruang tunggu bandara.

"Para penumpang dengan tujuan Paris, dipersilahkan menuju Gate 3."

Nathan dan Thalita saling melempar senyum. Dengan penuh kelembutan, Nathan menggenggam tangan Thalita dan menuntunnya melewati barisan penumpang lainnya. Petugas bandara menyambut mereka di pintu masuk keberangkatan.

Mereka berjalan bergandengan, tanpa menoleh ke belakang, tanpa menyadari bahwa punggung mereka meninggalkan luka dalam di hati seseorang yang baru saja menyaksikan semuanya.

Seseorang menghela napas panjang, dan tersenyum kecil di bibirnya, menelan emosi yang masih berkecamuk. Kemudian ia berbalik, melangkah keluar dari bandara tanpa sepatah kata pun .

*

*

*

Pagi yang cerah menyapa taman luas di belakang mansion keluarga Darmawan. Udara masih segar, embun masih menggantung di ujung-ujung daun, dan matahari perlahan menyinari setiap sudut bunga yang bermekaran indah.

Maura berjalan pelan di samping Oma Margaret yang menggunakan tongkatnya. Wajah tua itu terlihat begitu bahagia, senyumnya mengembang saat memandangi bunga-bunga kesayangannya yang tumbuh subur. Maura setia menemani, sesekali membetulkan topi lebar milik sang Oma agar tidak terhempas angin.

“Lihat itu, Maura... anggrek putihnya mulai berbunga lagi,” ucap Oma Margaret dengan suara penuh kebanggaan.

Maura menoleh dan tersenyum. “Cantik sekali, Oma. Warnanya bersih dan segar... Terkena air dari langit.”

Oma tertawa kecil. “Kamu pandai juga merangkai kata. Tak heran cucuku betah di dekat mu .”

Maura hanya menunduk sambil tersenyum malu. “Ah, Oma... saya cuma suka bunga,kenapa malah sampai pada cucu Oma..”.

“Dan saya suka kamu,” ucap Oma lembut. “Sejak kamu datang, rumah ini terasa lebih hidup. Tidak hanya penuh dengan suara, tapi juga dengan ketulusan dan kehangatan mu maura .”

Maura memegang lengan Oma dengan lebih erat, sedikit terharu mendengarnya. Sudah lama ia tak mendengar seseorang berkata seperti itu padanya. Sejak meninggalkan kampung halaman dan harus hidup mandiri, kebahagiaan sederhana seperti ini sangat berharga baginya.

Setelah puas berkeliling taman, mereka masuk kembali ke dalam rumah. Maura membantu Oma duduk di ruang santai, lalu segera menuju dapur untuk menyiapkan minuman hangat.

Setelah sarapan pagi , Oma tiba-tiba berkata, “Hari ini kita masak yang spesial, yuk.”

“Untuk siapa, Oma?” tanya Maura sambil membereskan piring.

“Untuk Shaka. Dia lama tak merasakan masakan Oma. kemaren  sempat mampir ke rumah lagi, tapi Oma ngak masak ,padahal dia pasti kangen makanan buatan Oma .. dan mungkin kangen kamu juga.” Oma melirik nakal.

Maura langsung memerah wajahnya. “Aduh, Oma... jangan menggoda saya begitu. Bukan nya cucu Oma sudah punya tunangan ?”.

Oma hanya tertawa. “ Oma tak pernah setuju Shaka menikah dengan Thalita. Oma lebih setuju kalau kamu yang jadi istrinya Shaka.bagaimana?.....apa kamu setuju ?” 

Maura memerah mukanya ,mendengar Oma berkata begitu “ Oma…..”.

Oma hanya tertawa dan menarik tangan maura lembut . “Ayo bantu Oma di dapur. Kita masak ayam panggang madu dan sup krim jagung. Kesukaan Shaka sejak kecil.”

Mereka berdua pun mulai sibuk di dapur. Maura memotong sayuran, sementara Oma mengarahkan bumbu-bumbu rahasia khas keluarga. Sesekali mereka bercanda, tertawa, dan bernostalgia tentang masa kecil  Shaka.

Menjelang sore, makanan sudah tertata rapi di dalam kotak makan mewah. Oma menyuruh sopirnya menyiapkan mobil.

“Antarkan ini ke apartemen Shaka, ya, Maura. Bilang dari Oma. Jangan bilang dari kamu saja, nanti dia bisa GR.”

Maura tersenyum dan mengangguk. Ia mengenakan cardigan tipis dan membawa kotak makanan dengan hati-hati. Mobil pun melaju perlahan meninggalkan mansion, membawa Maura menuju apartemen tempat Shaka tinggal.

Dalam hati, Maura bertanya-tanya… apakah Shaka akan senang menerima makanan ini? Apakah ia akan terkejut melihat Maura yang datang membawakannya?

Perjalanan menuju apartemen terasa hampa , tapi Maura mencoba tetap tenang… karena ia hanya melakukan tugas dari Oma, bukan karena ingin bertemu Shaka.

Maura turun dari mobil dengan hati-hati, membawa kotak makanan yang sudah dibungkus rapi. Sopir Oma Margaret membantunya hingga ke lobi apartemen, lalu kembali ke mobil saat Maura naik ke lantai atas seorang diri.

Langkahnya terasa ringan namun degup jantungnya justru berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia belum pernah mengunjungi apartemen Shaka. Biasanya hanya bertemu di mansion, dan itupun singkat dan canggung.

Maura menatap pintu apartemen nomor 1503, mengatur napas, lalu menekan bel.

Ting-tong.

Tak lama kemudian, pintu terbuka.

Shaka muncul dengan kemeja lengan panjang yang masih rapi meski dasinya sudah dilepas. Rambutnya sedikit acak karena habis menyandarkan kepala di sofa. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi mata tajamnya langsung menangkap sosok Maura yang berdiri di ambang pintu.

Maura tersenyum kaku. “Sore... ini ada titipan dari Oma Margaret.” Ia mengangkat kotak makanan yang dibawanya.

Shaka mengernyit kecil, terkejut. “Kamu datang sendiri?”

“Iya... Oma yang minta. Katanya kamu pasti kangen masakam Oma .”

Shaka membuka pintu lebih lebar. “Masuk aja.”

Dengan ragu, Maura melangkah masuk ke dalam apartemen yang rapi dan hangat itu. Aroma kayu dan kopi menyatu dalam udara. Ia meletakkan kotak makanan di meja makan.

“Terima kasih,” ucap Shaka singkat, lalu berjalan mengambil dua gelas dari dapur.

Maura hanya berdiri, menatap sekeliling, sesekali mencuri pandang ke arah Shaka yang kini menuangkan air putih.

“Kamu baru pulang kerja?” tanya Maura akhirnya, memecah keheningan.

“Hmm,” jawab Shaka singkat. “Capek, tapi lumayanlah. Ada yang bawain makanan.” Ia menyodorkan satu gelas ke arah Maura. “Minum dulu.”

“Terima kasih.”

Mereka duduk. Keheningan menyelimuti beberapa detik sebelum Maura kembali bersuara, suaranya pelan.

“Kamu nggak keberatan aku datang?”

Shaka menatapnya sejenak, lalu menggeleng. “Enggak. Selama kamu nggak datang buat urusan yang bikin aku pusing.”

Maura tersenyum kecil. “Tenang, ini murni titipan dari Oma.”

Shaka ikut tersenyum samar. Lalu matanya memperhatikan Maura lebih saksama.

“Kamu... baik-baik saja?”

Maura sempat terdiam. Hatinya terasa hangat. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa berarti.

“Baik,” jawabnya lirih. “Hari ini kampus libur, kami habiskan seharian ini di taman dan masak .Oma cerita banyak tentang kamu.”

Shaka mengangguk pelan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit-langit sebentar, lalu berkata dengan suara yang lebih rendah, “Kapan terakhir kali kamu masak bareng orang tua kamu?”

Pertanyaan itu membuat Maura tercekat sejenak. Senyumnya memudar sedikit.

“Sudah  …..sejak aku pindah ke kota ini. aku jadi kangen rumah ku, di sini aku sendiri .

Shaka mengangguk pelan. Ada beban yang menggantung di matanya, dan Maura bisa merasakannya. Udara terasa berat.

“Aku harus bilang sesuatu,” kata Shaka akhirnya.

Maura menatapnya. 

Shaka melangkah mendekat. “Maura… aku sudah bertunangan.”

Hening sejenak. Tapi Maura tidak terlihat terkejut. Ia hanya menunduk pelan.

“Aku tahu,” katanya lirih.

Shaka berjalan mendekat, suara nafasnya berat. “Maura, aku minta maaf. Aku seharusnya bilang dari awal. Bukan karena kamu nggak penting. Justru karena kamu terlalu berarti, aku takut kehilangan kenyamanan ini…”

Maura menatap Shaka, matanya mulai berkaca-kaca. “ aku cuma bingung Shaka,tentang perlakuanmu kepadaku.dengan seenaknya kamu berkali kali menciumku.padahal kamu sudah punya tunangan .”

Shaka mengepalkan tangannya. “Aku…..Semua ini rumit, bisnis, dan... Thalita. Tapi aku nggak pernah bermaksud mempermainkan kamu.”

Maura tersenyum pahit. “ harusnya kamu tidak memciumku , itu pertama kali buatku.dan kamu tega mengambilnya begitu saja . Padahal kamu sudah punya tunangan “.

Kata-kata itu membuat Shaka terdiam. Tidak ada pembelaan.

Maura menghela nafas panjang. “ tapi sudahlah semua sudah berlalu. Maaf, aku harus pulang. Titip salam untuk Thalita.” Ia berbalik.

“Maura, tunggu...”

Namun sebelum ia benar-benar melangkah, Shaka bergerak cepat—menarik pergelangan tangan Maura dengan lembut tapi penuh tekad. Dalam sekejap, tubuh Maura sudah berada di pelukannya. Dadanya yang hangat, nafasnya yang memburu, dan detak jantungnya yang tak tenang... membuat Maura membeku di tempat.

Shaka mendekapnya erat. Tak ada kata-kata sejenak, hanya keheningan yang dipenuhi dengan denyut perasaan yang tak pernah mereka akui.

Lalu, perlahan, Shaka mengangkat dagu Maura, menatap mata gadis itu dalam-dalam. Mata yang menyimpan luka, harapan, dan... cinta.

Dengan lembut, ia mencium kening Maura. Lalu turun ke pipinya, hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Sebuah ciuman yang tak terburu-buru, namun penuh dengan luapan emosi yang selama ini terpendam. Rasa rindu, rasa bersalah, dan rasa sayang—semuanya bercampur jadi satu.

Maura terkejut, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia larut dalam ciuman itu, dalam pelukan yang membuatnya merasa utuh... dan hancur sekaligus.

Setelah ciuman itu berakhir, Shaka masih tetap mendekap Maura.

“Aku... bodoh,” ucap Shaka pelan, serak. “Aku pikir aku bisa menjalani semuanya seperti  apa yang aku mau . Tapi saat kamu datang... semuanya berubah. Kamu merubah segalanya maura.

Maura menggigit bibir bawahnya, menahan emosi.

“Maura,” Shaka menatapnya penuh harap, “aku jatuh cinta padamu… tanpa sadar, tanpa izin. Tapi aku sungguh mencintaimu sekarang. Bolehkah aku tahu… apa kamu juga merasakan hal yang sama?”

Maura menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Shaka… kamu terlambat. Kamu sudah punya tunangan ?”.

Shaka terdiam, dan berbicara lembut.

“bukan masalah bagiku ,Thalita hanya formalitas . Tapi kamu nyata bagiku maura .... karena aku sudah terlalu jatuh padamu bahkan sebelum kamu sadar.”

Shaka menggeleng pelan, menggenggam tangan Maura erat. “Kamu bukan pelarian, Maura. Kamu ... tempat aku merasa paling hidup. bersamamu aku menjadi diriku sendiri .”

Air mata Maura jatuh satu per satu, tapi bibirnya mengukir senyum kecil. “Kalau begitu… jangan lepasin aku lagi.”

Shaka tersenyum dengan jawaban maura, ia tak menyangka perasannya berbalas.

Maura berdiri gelisah. Jantungnya berdebar tak karuan saat wajah Shaka mendekat dengan tatapan yang tak bisa ditebak—tajam sekaligus penuh gairah. 

Pria tampan itu menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, "Aku nggak bisa berhenti memikirkanmu, Maura... sejak pertama kali kita bertemu." Maura menelan ludah, langkahnya mundur perlahan, tapi Shaka tak memberinya ruang untuk pergi. 

Gerakan Shaka begitu pasti, sementara Maura masih diliputi keraguan. Namun ketika Shaka mencumbu bibirnya dengan rakus, semua pertahanan runtuh. "Ini salah tapi aku tak bisa membohongi perasaanku ,maura " bisik Shaka, sementara jemarinya menggenggam tangan Maura erat. “ Shaka ,bagaimana dengan Thalita ?” “Itu urusanku .” 

Desahan demi desahan bersahutan, membaur dalam ruangan  yang terasa semakin panas. Maura tak bisa menolak, ia terlalu larut dalam atmosfer yang diciptakan Shaka. Getar dalam dada berubah menjadi pasrah...

Maura menunduk, hatinya kacau, tapi tubuhnya tetap diam di sana—duduk di samping Shaka yang kini menatapnya lekat-lekat. Nafas mereka masih belum stabil, seakan satu tarikan pun bisa meruntuhkan kendali yang tersisa.

“Kapan kamu menyadari perasaanmu Shaka ” suara Maura pelan, serak oleh gejolak di dadanya.

Shaka menggeleng perlahan, lalu menggenggam pipi Maura dengan kedua tangannya. “ entah lah ,mungkin pertama kali aku menciummu di halte,Karena sejak saat itu bayangan mu tak bisa lepas dariku. aku  takut kamu menjauh… kamu  yang bikin aku merasa hidup tanpa beban.” 

Maura memejamkan mata. Rasa hangat mengalir saat ibu jari Shaka menyeka lembut air yang tak disadari mengalir di pipinya.

“Aku tahu ini rumit, Maura,” bisik Shaka, suaranya nyaris pecah, “tapi perasaan ini nyata. Aku mencintaimu.”

Maura membuka mata. Tatapan mereka terkunci dalam diam. Dan ketika Shaka kembali mendekat, ia tak lagi menolak. Bibir mereka bertemu—kali ini lebih lembut, lebih dalam, seolah ingin menyampaikan rindu dan luka yang tak pernah sempat diucap.

Pelukan mereka menguat. Shaka menarik tubuh Maura lebih dekat, menelusuri punggungnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya tetap menggenggam pipi Maura. Ciuman mereka semakin dalam, perlahan namun menggema, membangkitkan getar dalam dada keduanya.

Shaka menarik Maura berdiri bersamanya. Masih dalam pelukan, ia membisik, “Aku ingin malam ini cuma tentang kita. Tentang rasa yang kita punya... yang selama ini kita pendam.”

Maura mengangguk perlahan, matanya berembun, tapi hatinya telah memutuskan. Ia tak ingin menyangkal lagi.

shaka mengangkat tubuh mungil maura masuk kedalam kamar . Saat tubuh mereka di atas ranjang, Shaka kembali mencium kening Maura, lembut, lama… seolah ingin mengabadikan segalanya.

Tak ada kata yang keluar setelah itu. Hanya desahan rindu, tarikan nafas yang saling menyatu.

Sentuhan demi sentuhan di berikan Shaka pada maura seakan gak mau maura menjauh dari nya. Lenguhan kecil keluar dari bibir maura.

 Maura tersentak pelan. Tatapannya menerawang ke arah jam dinding di ruang tamu apartemen Shaka. Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit dengan semburat jingga. Wajahnya berubah panik.

“Oma…” bisiknya lirih, lalu bangkit dari pelukan Shaka. “Shaka, aku harus pulang. Oma pasti khawatir. Sopir juga pasti udah lama nunggu di bawah.”

Shaka yang masih duduk memandang Maura dengan sorot lembut, lalu ikut berdiri dan meraih ponselnya. “Tenang… Biar aku yang urus.”

Ia segera menekan nomor sopir Oma Margaret. Tak lama kemudian, dengan nada tenang namun sopan, ia berkata, “Pak, Maura bersama saya. Tak perlu menunggu lagi. Biar saya antar dia pulang nanti, ya. Hati-hati di jalan.”

Setelah menutup panggilan, Shaka menatap Maura lagi, kali ini dengan senyum menenangkan. “Sekarang kamu nggak perlu khawatir. Aku yang antar kamu pulang. Tapi sebelum itu…” Ia meraih jemari Maura dan mengecupnya pelan. “Terima kasih… karena kamu tidak  pergi setelah semua ini.”

Shaka merapikan kembali baju maura yang sempat ia buka.

Maura hanya bisa tersenyum, campuran lega dan bingung dalam dadanya. Ada bagian dalam dirinya yang ingin lari… tapi lebih besar lagi bagian yang ingin bertahan di sisi Shaka, walau hanya sebentar.

Mereka kemudian bersiap kembali ke mansion Darmawan .

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!