Kelahiran seorang bayi perempuan keluarga Pak Burhan, menjadi malapetaka. Sebuah perjanjian yang dilakukan bersama iblis untuk memiliki anak, harus dibayar oleh nyawa Pak Burhan. Sayangnya, kehadiran sang anak pun tidaklah membawa kebahagiaan. Bu Ratmi, istri Pak Burhan, menolak keras kehadiran putrinya karena wajahnya lebih mirip setan daripada bayi manusia pada umumnya.
Melihat reaksi Bu Ratmi, bidan pun membuang bayi perempuan itu ke TPS. Rupanya bayi perempuan itu diketahui oleh si pemulung yang bernama Pak Risman itu. Lelaki itu membawanya ke rumah dan memperkenalkannya pada sang istri, Bu Inah. Kondisi bayi perempuan yang menyedihkan itu membuat Bu Inah iba, dan ingin menjadikannya sebagai adik untuk putrinya, Atikah. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengurus bayi itu dan menamainya Sukma.
Tak disangka, kehadiran Sukma membawa keberuntungan bagi keluarga Pak Risman. Profesi Pak Risman yang semula pemulung, berubah menjadi tukang kebun. Semakin Sukma dewasa, kekayaan dan kemahsyuran didapatkan Pak Risman dengan mudah. Akan tetapi, seorang ahli supernatural mengatakan bahwa kekayaan Pak Risman hanya tipu daya iblis. Pak Risman harus membayar semua kekayaannya dengan nyawa Sukma saat genap berusia 17 tahun. Jika tidak, maka nyawa Pak Risman yang akan menjadi taruhannya. Akankah Pak Risman merelakan nyawanya untuk Sukma? Atau justru mencari jalan lain agar ia dan Sukma tetap hidup?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Boneka Maurin
Giska menyipitkan mata, memandang ke arah pintu kelas. Tak ada satu pun anak perempuan yang memakai baju putih dan kotor, masuk dari sana. Sekali lagi, ia berpikir bahwa Sukma hanya membual.
"Ah, kamu kebanyakan berkhayal. Nggak ada siapa-siapa, kok, di sana," kata Giska menoleh pada Sukma.
"Tapi aku lihat dia! Tuh, dia lagi ke sini!" tegas Sukma meyakinkan. "Giska, kamu minggir dulu sana! Biarkan dia duduk dulu di kursi kamu."
"Ih, kok, kamu ngusir aku, sih?" sungut Giska kesal.
"Ya udah, kamu minggir dulu. Biarin dia lewat sebentar, nanti aku suruh duduk di pojok bangku kita."
"Tapi nggak ada siapa-siapa, Sukma! Nggak ada orang yang mau ke sini!"
Setelah cukup lama berdebat, Sukma mendorong Giska, lalu mempersilakan teman baru yang dimaksudnya untuk duduk di meja. Giska menggaruk-garuk kepalanya sembari meringis. Sikap aneh Sukma hari ini benar-benar membuatnya tidak mengerti.
Sukma menoleh pada Giska. Senyumnya tampak semringah, seperti tidak sabar memperkenalkan seseorang yang dikenalnya. Sukma menyuruh Giska duduk kembali di kursinya, kemudian melirik pada teman barunya.
"Oya, nama kamu siapa? Aku lupa lagi sama nama kamu," tanya Sukma pada sosok gadis kecil berambut panjang dengan pakaian lusuh yang duduk di mejanya.
Sosok gadis kecil yang hanya bisa dilihat oleh Sukma itu, perlahan menyibakkan rambut panjangnya dari muka. Tampak wajah pucat dengan matanya yang sayu sedang menatap pada Sukma. Bibirnya tersenyum simpul, sebagai sambutan ramahnya pada Sukma hari ini.
"Aku Maurin. Namaku Maurin."
"Oh." Sukma mengangguk.
"Sukma! Kamu lagi ngobrol sama siapa?" tanya Giska penasaran, memperhatikan temannya berbicara sendiri sambil mendongak ke pinggir meja.
Sukma menoleh dan berkata, "Ya ampun! Aku lupa mau kenalin dia ke kamu. Perkenalkan, ini teman baru aku. Ayo, kalian salaman dulu!"
Giska semakin bingung dengan tingkah teman sebangkunya. Ia justru celingak-celinguk mencari seseorang yang dimaksud oleh Sukma. Namun, demi membuat Sukma senang, Giska mengulurkan tangannya ke sudut meja. Tak disangka, gadis kecil berambut pendek itu merasakan hawa dingin menyeruak dari telapak tangannya, seperti ada yang sedang menyalaminya. Seketika Giska bergidik, lalu menjatuhkan tangannya ke meja.
"Hai, Giska! Sudah lama sekali kita nggak ketemu," kata Maurin tersenyum lebar.
"Oh, jadi kalian sudah pada kenal? Bagus, dong, kalau begitu!" decak Sukma terkesima.
Mendengar perkataan Sukma, Giska terperanjat. "A-apa Sukma? Aku sama dia udah kenal? Memangnya dia siapa?"
"Dia Maurin. Katanya, kalian udah lama nggak ketemu," jelas Sukma.
Giska menelan ludah, menatap ke arah sudut meja di dekat Sukma. Terbayang olehnya wajah pucat seorang gadis kecil dengan rambut panjang bergelombang dan bajunya yang putih lusuh, sedang duduk di sana. Ia ingat pada nama itu. Ia juga ingat pada boneka bayi yang dipegangnya. Tubuhnya bergidik ngeri tatkala semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya beberapa tahun lalu, melintas di pikirannya.
Sukma yang menyadari kegelisahan Giska, mulai bertanya, "Giska, kamu kenapa?"
Giska tak bisa menjelaskan apa pun pada Sukma. Bergegaslah ia keluar kelas dan menjerit ketakutan. Semua orang di taman kanak-kanak itu terlihat heran dengan perilaku Giska. Ibunya Giska pun merasa khawatir mendapati putrinya yang berteriak histeris dan cepat-cepat memeluknya.
Sementara itu, Sukma tertegun melihat tingkah Giska. Ia melirik lagi pada Maurin sambil mengerutkan dahi.
"Katanya kalian sudah kenalan, tapi kenapa Giska malah pergi?"
Maurin mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu. Dulu dia sering main sama aku, bahkan aku sering nginep di rumahnya. Tapi, entah kenapa Giska jadi begitu. Padahal aku cuma pengin main aja sama dia dan Susan."
"Siapa Susan?"
Maurin menunjukkan boneka bayi perempuan lusuh di tangannya. "Ini Susan. Boneka kesayangan aku. Aku suka ngasih boneka ini ke anak-anak lain, biar aku punya teman dan nggak kesepian."
"Oh, begitu. Tapi, sekarang kamu nggak kesepian lagi, 'kan?"
Raut wajah Maurin berubah sendu. "Aku masih kesepian. Kamu mau main sama aku, 'kan?"
"Tentu saja aku mau, tapi nanti kalau pulang sekolah."
"Kalau begitu, aku titip Susan, ya. Nanti sepulang sekolah, kita main bareng," kata Maurin menyerahkan boneka dari tangannya.
Dengan senang hati, Sukma menerima boneka bayi perempuan itu. Dilihatnya lamat-lamat boneka bernama Susan itu, lalu tersenyum semringah seperti menerima hadiah baru. "Baiklah, aku akan menjaga baik-baik boneka ini."
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Nanti sepulang sekolah, aku akan main ke rumahmu."
"Memangnya kamu tahu rumahku?"
Maurin mengangguk cepat, lalu pergi keluar kelas. Setelah gadis kecil itu pergi, Giska masuk ke kelas bersama ibunya. Mata Giska tertuju pada pojok meja dekat Sukma. Bayangan Maurin kembali melintas dalam pandangannya. Ia memeluk tubuh ibunya erat-erat, dengan tubuh gemetaran.
"Kamu kenapa, Giska?" tanya ibu Giska.
"I-itu ... Maurin ada di sana. Di atas mejanya Sukma."
"Di sana nggak ada siapa-siapa, Giska. Cuma ada Sukma. Ayo, Ibu temani kamu duduk di sana, ya," bujuk ibunya Giska dengan lembut.
Giska mengangguk pelan, berjalan bersama ibunya duduk di samping Sukma. Ketika Giska sudah cukup tenang, ibunya keluar kelas. Giska melirik pada Sukma, yang sejak tadi memandangi boneka bayi perempuan pemberian Maurin di bawah meja.
"Sukma, kamu lagi pegang apa itu?"
Sukma menoleh, lalu menunjukkan boneka bayi perempuan yang sudah usang. "Ini boneka yang dititipkan Maurin sama aku. Lihat! Lucu, 'kan? Namanya Susan."
Sontak, mata Giska membelalak ketika mendengar nama 'Susan' keluar dari mulut Sukma. Gadis kecil itu merebut boneka usang dari tangan temannya, kemudian melemparnya ke depan kelas. Bibirnya gemetar, napasnya terengah-engah setelah melempar boneka bernama Susan itu.
"Giska, kenapa bonekanya dilempar?" tanya Sukma memelototi Giska.
"Jangan pernah main sama boneka itu!"
"Kenapa? Kalau kamu nggak suka sama boneka itu, nggak usah dilempar!" bentak Sukma bersungut-sungut. "Minggir! Aku mau ambil bonekanya."
Giska yang tak bisa menjelaskan penyebabnya, hanya bisa bergidik tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat Sukma kembali membawa Susan, sekilas Giska melihat boneka itu tersenyum menyeringai ke arahnya. Giska menutup mata rapat-rapat sembari beringsut, mempersilakan Sukma duduk di sebelahnya.
Tak terasa, bel tanda jam pelajaran dimulai pun berbunyi. Tampak Bu Leli datang ke kelas, membawa buku pelajaran. Sebelum pelajaran dimulai, anak-anak dianjurkan untuk berdoa. Seperti biasa, Sukma hanya ikut-ikutan komat-kamit tanpa tahu apa yang diucapkannya. Sementara itu, Giska masih memejamkan mata dan gemetaran.
Melihat tingkah aneh salah satu muridnya, Bu Leli berjalan ke bangku tempat Giska dan Sukma duduk. Ia menepuk pundak Giska, sampai bocah perempuan itu terperanjat.
"Aaaa ...! Ampun! Ampun! Jangan bikin aku sakit lagi, Susan!" teriak Giska histeris.
"Giska, ini Ibu. Buka matamu!"
Perlahan, Giska membuka mata. Saking takutnya, ia langsung memeluk tubuh Bu Leli dan berkata, "Ibu, aku nggak mau duduk sama Sukma. Aku mau pindah, Bu."
jngn " dia raja iblis yg menyamar lgi, atau jngn " lelaki yg dijodohkan dengan x dri kerajaan gaib oleh ayah kandung sukma ya 😆, bisa juga tngn kanan ayah sukma, untuk memata matai sukma.
biarin aja sukma, si giska itu knp2 lgian dibilangin ngeyel.
klo mbah suro bru cocok 😆😆