SUKMA: Perjanjian Dengan Iblis
Hujan begitu lebat mengguyur Kota Bandung sejak sore tadi. Suasana malam menjadi sangat mencekam, ditambah gelegar petir yang menyambar. Sebagian daerah mengalami mati lampu, rumah-rumah menyalakan lilin sebagai penerangan. Begitu juga dengan rumah mewah Pak Burhan, tak biasanya kediaman pengusaha tekstil itu mengalami mati lampu. Pria paruh baya itu menyuruh kedua pembantunya menyalakan lilin, lalu menaruhnya di beberapa sudut ruangan.
Sementara itu di kamar Pak Burhan, tampak Bu Ratmi yang sedang hamil tua, mengelus-elus perutnya. Wajahnya meringis kesakitan, merasakan mulas. Setelah dua belas tahun menanti, akhirnya tiba juga waktunya mereka memiliki momongan. Hari ini seharusnya mereka menemui bidan, karena memang sudah saatnya si jabang bayi lahir. Namun, cuaca buruk seperti tak mendukung untuk pergi ke bidan. Bu Ratmi terus mengerang, memanggil Pak Burhan yang sedang menerangi beberapa sudut rumahnya. Tak lama kemudian, Pak Burhan datang dengan tergesa-gesa.
"Bu, tenanglah. Bapak ada di sini," ucap Pak Burhan duduk di tepi ranjang, lalu memeluk Bu Ratmi.
"Bapak, Ibu tidak kuat lagi. Sepertinya sekarang harus bertemu dengan bidan. Perut Ibu mulas sekali," keluh Bu Ratmi dengan napas terengah-engah, wajahnya masih menunjukkan rasa sakit tak tertahankan.
"Ibu sabar sebentar, ya. Bapak telepon Bidan Yusi dulu. Mudah-mudahan dia bisa datang ke sini."
"Sebaiknya cepat, Pak."
Tanpa menunggu lama, Pak Burhan merogoh ponsel dari saku celananya. Segera ia menekan tombol power, tapi layar ponselnya tak nyala sama sekali. Ternyata baterainya sudah habis. Pak Burhan merutuk kesal, lalu melempar ponselnya ke kasur.
"Kita harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Ratmi gelisah.
"Kita harus pergi ke bidan, Bu. Ponsel Bapak mati."
"Astaga."
"Ibu yang kuat, ya. Dua pembantu kita akan membantu Ibu sampai ke mobil."
Bu Ratmi mengangguk pelan. Pak Burhan segera keluar kamar sambil memanggil kedua pembantunya, Minah dan Sari. Akan tetapi, tak ada yang menyahut sama sekali. Merasa tak sabar, Pak Burhan mencari kedua pembantunya ke ruangan lain sambil membawa lilin.
Disusurinya setiap sudut rumah, mulai dari ruang tamu sampai dapur. Tetap saja mereka berdua tidak ketemu. Beberapa menit setelah mencari ke ruang keluarga, Pak Burhan mendengar suara tawa melengking dari lantai dua. Diarahkannya lilin ke tangga, hingga mencapai tempat suara itu berasal. Dari pagar pembatas lantai dua, tampak seorang perempuan berambut panjang memakai daster putih sedang mengayun-ayunkan kakinya.
"Minah? Kamu ngapain duduk di sana?" tanya Pak Burhan berteriak.
Perempuan itu hanya membalas dengan tawa yang tak kalah mengerikan dari sebelumnya. Ia melayang dari pagar itu, kemudian turun mendekati Pak Burhan.
Menyadari ada yang tidak beres, Pak Burhan berlari menuju kamar. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan menyeruak hingga membuat bulu kuduknya meremang. Sementara itu, perempuan di belakangnya terus melayang mengejarnya. Dari balik rambutnya yang panjang dan gimbal, matanya menatap tajam pada Pak Burhan.
Sesampainya di depan kamar, Pak Burhan buru-buru membuka pintu. Secepatnya ia membanting dan mengunci pintu ketika sudah masuk kamar. Matanya tetap menatap waspada, kakinya yang melemas pun mundur perlahan. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya yang berpeluh.
"Ada apa, Pak?" tanya Bu Ratmi, masih memegangi perutnya sambil meringis.
Pak Burhan buru-buru menghampiri istrinya. "Sssst ... di luar ... d-di luar," bisiknya berusaha menjelaskan.
"Ada apa, Pak?"
Belum kunjung Pak Burhan menjelaskan, suara tawa seorang perempuan kembali terdengar jelas. Bu Ratmi yang ketakutan, segera memeluk tubuh suaminya. Jantungnya berdebar hebat, bulu kuduknya meremang. Matanya membelalak, seolah-olah mewaspadai akan kedatangan perempuan pemilik tawa melengking itu.
"P-Pak ... itu siapa?"
"Sst ... jangan banyak bicara. Kita tunggu sampai lampu menyala semua, terus kita keluar menemui bidan."
"Tapi, Pak, Ibu udah nggak kuat lagi."
"Sabarlah, Bu. Kalau nggak, kita tunggu sampai dia pergi."
Di tengah ketakutan mereka, terdengar suara pintu digedor. Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin mengeratkan pelukan. Napas mereka kian memburu tatkala suara cekikikan perempuan itu kian mendekat.
"Araya di jero?" tanya perempuan berdaster putih itu dengan suara mendengung.
Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin bergidik ngeri. Suara gelegar petir dari luar mengejutkan mereka. Tak lama kemudian, geraman hewan buas terdengar dari balik jendela. Pak Burhan yang penasaran segera menoleh ke arah suara itu berasal. Ketika kilat petir menyala, tampak bayangan sosok hitam tinggi besar sedang berdiri di luar jendela. Napas lelaki paruh baya itu semakin memburu.
"Pak, Ibu sudah tidak kuat lagi," keluh Bu Ratmi dengan napas tersengal.
Keadaan semakin mencekam. Pak Burhan semakin mengeratkan pelukannya pada Bu Ratmi, agar tetap kuat menahan mulas hingga lampu menyala kembali. Sementara itu, dua pembantu yang dipanggil Pak Burhan sejak tadi, rupanya berada di kamar. Keduanya pingsan setelah mendapati banyak sekali makhluk berwajah mengerikan berkeliaran di dalam rumah.
Kelahiran si jabang bayi seperti disambut meriah oleh banyak dedemit. Suara demi suara aneh terdengar semakin riuh di luar kamar Pak Burhan. Untuk situasi seperti ini, Pak Burhan mengingat-ingat kembali nasihat dari dukun langganannya. Katanya, dedemit akan mudah ditaklukan dengan sebuah mantra. Segera Pak Burhan mengingat mantra pemberian si dukun, lalu mulai merapalkannya.
Beberapa detik berselang, suasana rumah kembali sunyi. Gedoran di pintu tak terdengar lagi. Pak Burhan yakin makhluk-makhluk itu sudah pergi. Sekuat tenaga ia menggendong istrinya, lalu membuka pintu kamar. Bibirnya tak berhenti merapal mantra, hingga sampai di garasi.
Tanpa banyak berpikir, Pak Burhan memasukkan istrinya ke dalam mobil, lalu membuka garasi. Secepatnya ia lajukan mobil itu, kemudian menyuruh satpam membuka gerbang. Hujan masih deras mengguyur kota, dikhawatirkan jalanan yang licin membuat roda kendaraan selip. Akan tetapi, Pak Burhan yang sudah terlanjur panik membuatnya berkendara seperti pembalap. Bu Ratmi tak berhenti mengerang kesakitan, sambil mengelus-elus perut buncitnya.
"Pak, kapan kita akan sampai?" tanya Bu Ratmi dengan suara melemah.
"Sebentar lagi, Bu. Ibu yang sabar."
"Tapi Ibu tidak kuat lagi, Pak."
Ketika mantra tak lagi dirapalkan Pak Burhan, sosok makhluk mengerikan itu datang kembali. Salah satu di antaranya makhluk berbadan tinggi besar dan berbulu. Ia melompat ke atap mobil dan menggedor-gedornya hingga penyok. Pak Burhan dan Bu Ratmi semakin panik. Sesekali mereka mengintip kaca spion, guna menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Dari belakang mobil, tampak kepulan asap hitam bersama makhluk-makhluk gaib penghuni rumahnya, berlari mengejar mobil.
Merasa ketakutan, Pak Burhan melajukan mobilnya lebih cepat. Namun, ketika hendak memasuki jalan raya, tiba-tiba ada sosok perempuan sedang menyeberang di depan mobil mereka. Pak Burhan pun kalap dan banting setir. Mobilnya menabrak sebuah pohon di pinggir jalan, hingga kaca depannya pecah. Pak Burhan tak sadarkan diri, dahinya mengeluarkan banyak sekali darah. Pun dengan Bu Ratmi yang sejak tadi mengerang kesakitan, seketika pingsan dan air ketubannya pecah.
...****************...
Hujan perlahan surut, lampu-lampu rumah penduduk mulai menyala satu per satu. Mak Asih yang merupakan pemilik rumah di dekat tempat kecelakaan Pak Burhan, buru-buru mendekati suara dentuman berasal. Ketika keluar gerbang, wanita tua itu menjerit memandang sebuah mobil penyok yang telah menabrak pohon. Secepatnya ia berlari meminta pertolongan warga sekitar.
Satu per satu warga kompleks berdatangan. Mereka segera mengeluarkan Pak Burhan dan Bu Ratmi dari mobil. Pak Ramlan, yang kebetulan melintas mengendarai mobil, dengan senang hati akan membawa Pak Burhan dan Bu Ratmi ke rumah sakit terdekat. Bersama dengan Mak Asih, mereka pun pergi meninggalkan tempat kecelakaan.
Selama di perjalanan, gangguan dari makhluk gaib belum berhenti. Pak Ramlan yang merupakan pemuka agama di kompleks, tak berhenti membaca Ayat Kursi. Begitu pula Mak Asih, terus berusaha menghafal surat-surat pendek sambil menyingkirkan rasa takutnya. Kendati demikian, atap mobil Pak Ramlan masih digedor-gedor oleh makhluk tak kasat mata hingga penyok. Mak Asih bergidik ngeri menyaksikan hal aneh yang terjadi saat ini.
"Pak Ustaz, bagaimana ini? Saya takut kalau diganggu makhluk halus," kata Mak Asih dengan suara gemetar.
"Terus saja membaca surat-surat pendeknya, Mak. Percayalah, Allah akan selalu melindungi hamba-Nya. Kekuatan Allah lebih besar dari jin. Tetaplah berserah diri dan tenang," bujuk Pak Ramlan seraya fokus ke jalanan, lalu kembali membaca ayat-ayat Al-Qur'an.
Mak Asih melanjutkan bacaan surat-surat pendeknya. Upayanya cukup membuahkan hasil kali ini. Suara geraman dan cekikikan dari atap mobil mulai berkurang. Begitu pula dengan gedoran keras yang suaranya hilang begitu saja. Mak Asih bersyukur semuanya membaik bersamaan dengan rasa berserah diri pada kekuatan Tuhan yang lebih besar.
Setibanya di rumah sakit, Pak Burhan dibawa ke ICU. Sementara itu, Bu Ratmi yang mulai siuman, dibawa ke ruang bedah. Tenaganya terkuras habis karena ketakutan hebat dan kecelakaan, sehingga tidak mampu melakukan persalinan secara normal. Untuk urusan administrasi, Pak Ramlan telah menanganinya dengan baik. Dengan ikhlas ia membayar biaya perawatan Pak Burhan dan Bu Ratmi, berharap nyawa keduanya dapat segera diselamatkan.
"Pak Ustaz, sebaiknya saya menunggu Bu Ratmi. Kasihan dia, tidak ada keluarga yang menunggu persalinannya," kata Mak Asih bernada cemas.
"Baiklah. Kalau begitu saya lihat keadaan Pak Burhan di ICU. Kita berdoa saja, semoga semuanya baik-baik saja."
"Aamiin."
Maka berjalanlah mereka ke arah yang berbeda. Mak Asih meminta petunjuk suster untuk mencapai ruang bedah, sementara Pak Ramlan mencari ruang ICU sendiri. Doa-doa mereka panjatkan selama menyusuri koridor, berharap kondisi pasangan suami istri yang sudah menikah dua belas tahun itu membaik.
Sesampainya di depan ruang bedah, Mak Asih berusaha untuk menemui Bu Ratmi. Akan tetapi, ketika hendak membuka pintu, seorang suster mencegahnya. Mak Asih yang khawatir sekaligus penasaran dengan kondisi tetangganya, terus berupaya agar bisa masuk ruang bedah.
"Saya mohon, Suster. Izinkan saya untuk masuk menemui Ratmi," pinta Mak Asih dengan wajah memelas.
"Maaf, Nek. Untuk saat ini pasien belum bisa ditemui. Anda tunggu saja di sini."
"Tapi, Suster, bagaimana kalau dia kenapa-kenapa?"
"Percayalah, Nek. Kami akan menanganinya semaksimal mungkin. Sebaiknya Nenek tunggu di sini, nanti kami kabari jika kondisinya sudah membaik. Doakan saja, semoga Bu Ratmi dan anaknya selamat."
Mak Asih terduduk di kursi, sambil meremas kedua tangannya. Kecemasan belum kunjung surut dari benaknya. Sesekali ia menatap ke arah pintu, laku berdoa mengharapkan keselamatan Bu Ratmi beserta anaknya.
Sementara itu, Pak Ramlan menemukan ruang ICU. Dari balik jendela ruangan, ia memandangi satu orang dokter bersama dua suster laki-laki sedang memeriksa Pak Burhan. Kondisinya sangat kritis, sehingga dokter menggunakan alat pacu jantung supaya pasiennya membaik.
Merasa miris melihat kondisi Pak Burhan, Pak Ramlan tak berhenti memanjatkan doa pada Yang Kuasa. Akan tetapi, takdir berkata lain. Nyawa Pak Burhan tak tertolong lagi. Dokter dan kedua suster menggeleng lemah seraya mengusap muka. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah mereka sehingga membuat Pak Ramlan khawatir.
Ketika dokter keluar dari ICU, Pak Ramlan menghampirinya. Ia tampak tak sabar ingin mengetahui kondisi Pak Burhan.
"Dokter! Dokter!" seru Pak Ramlan.
Dokter itu menoleh dan bertanya, "Iya, Pak. Ada apa?"
"Pak, kalau boleh tahu, bagaimana kondisi Pak Burhan? Apa dia masih bisa disembuhkan?" tanya Pak Ramlan cemas.
Dokter itu tertunduk lesu, kemudian menghela napas berat. Saat menatap Pak Ramlan, matanya seolah menyiratkan kekecewaan mendalam atas kegagalan usahanya menyelamatkan pasien.
"Katakan, Dok! Apa nyawa Pak Burhan masih bisa diselamatkan?" tanya Pak Ramlan dengan sedikit mendesak.
"Sangat disayangkan, Pak. Nyawa beliau tak tertolong lagi. Beliau sudah tiada," jelas dokter itu menatap lesu.
Tersentak batin Pak Ramlan mengetahui kabar buruk itu. "Tidak mungkin, Dok! Apakah Dokter tidak bisa berusaha lebih keras lagi untuk menyelamatkan dia?"
"Apa daya kami, Pak? Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi rupanya Tuhan sudah berkehendak lain. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, kami hanya bisa berusaha."
Pak Ramlan menghela napas panjang.
"Sebaiknya Bapak doakan saja beliau supaya tenang di alam sana. Saya pamit dulu," kata dokter itu, lalu melenggang menyusuri koridor.
Sepeninggal dokter, Pak Burhan tertunduk lesu. Tatapan matanya kosong, kakinya melemas hingga membuatnya bersimpuh di depan ruang ICU. Hatinya begitu terpukul, apalagi mengingat Bu Ratmi yang akan melahirkan anak pertamanya. Pikirannya mengawang, membayangkan jika kabar buruk itu sampai ke telinga istri Pak Burhan. Pak Ramlan hanya bisa terisak-isak, sambil sesekali menatap pintu ruang ICU.
Tak lama kemudian, suster dari dalam mendorong ranjang Pak Burhan keluar ruangan. Pak Ramlan bangkit, lalu mengikuti suster yang membawa jenazah tetangganya. Sambil sesenggukan, pemuka agama itu berusaha menghentikan mereka.
"Tunggu dulu! Saya ingin melihat jenazah untuk terakhir kalinya," pinta Pak Ramlan.
"Maaf, Pak. Beliau harus segera dibawa ke kamar jenazah supaya cepat diurus," kata salah satu suster menjelaskan.
"Sebentar saja. Saya mohon," kata Pak Ramlan dengan wajah memelas.
Untuk sesaat, kedua suster itu saling tatap. Mereka kembali memandang Pak Ramlan, lalu berkata, "Baiklah. Sebentar saja, ya, Pak."
Pak Ramlan mengangguk cepat, tak sabar ingin melihat wajah tetangganya untuk terakhir kali. Seorang suster membuka selimut dari kepala jenazah secara perlahan. Tampak wajah pucat Pak Burhan, hidung dan dahinya masih mengeluarkan darah. Air mata Pak Ramlan kembali tumpah, tak mampu menahan kesedihan yang mengganjal dalam dadanya.
"Baiklah, sekarang kalian boleh pergi."
Kedua suster mendorong kembali ranjang menuju kamar jenazah. Pak Ramlan berusaha menyingkirkan kesedihannya sesaat, demi mengetahui kondisi Bu Ratmi yang sama-sama sedang berada di antara hidup dan mati. Secepatnya ia berlari menyusuri koridor. Hatinya tak sabar ingin mengetahui kondisi Bu Ratmi.
Sesampainya di ruang bedah, Pak Ramlan tak menemukan Mak Asih. Ketika seorang perawat melintas, Pak Ramlan menghentikannya sebentar.
"Suster, apakah Anda tahu di mana Bu Ratmi sekarang?"
Perawat itu mengangguk, lalu mengantar Pak Ramlan ke tempat Bu Ratmi berada. Pak Ramlan terus menguatkan diri, menyingkirkan kesedihannya atas kematian Pak Burhan. Sambil berdoa, ia berusaha tetap tenang menghadapi kenyataan yang akan dilihatnya nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Mampir Kak salam kenal,baru baca di Bab Awal sudah tegang dan nyesek,setelah sekian lama belum punya keturunan Pak Burhan malah meninggak dunia,mngkn karena perjanjian dengan Dukun,karena dia baca nya Mantra bukan doa pas diganggu😌
2024-04-03
0
Aksay Asyila
menegang sekali apalagi pas ada yang suara cekikikan dan yang gedor pintu sambil ngomong "araya kitu" horor banget 😬😬👻👻👻👻
2024-01-15
0
Yuyun Yuningsih
kan karena baru uo setelah bertaun tahun, akhirnya baca lagi awal bab nya biar konek
2023-08-22
0