100% fiktif belaka, tidak ada kaitan dengan siapapun di dunia nyata atau di mana pun!!
"Gue nggak mau tau, kita menikah pokoknya. Lo, suami gue!"
Aria, gadis tengil 20 tahun, asal nyelonong masuk ke kamar hotel setelah mabuk di pesta temannya. Dengan penuh percaya diri, ia menodong pria di dalam kamar untuk menikah dengannya. Masalahnya? Pria itu adalah Jenderal Teddy Wilson, duda tampan 35 tahun yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Yang lebih mengejutkan? Teddy tidak menolak.
Gimana kelanjutan ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : What??!!
...****************...
Hari ini bener-bener sial.
Gue baru pulang kerja, badan gue penuh tanah, keringetan, dan perut gue keroncongan. Gue udah ngebayangin mie instan pake cabai lima biji pas sampe kos, eh malah ada mobil hitam mewah berhenti di depan gang.
Jendelanya turun, dan muncul tuh muka ngeselin.
"Masuk," kata Teddy datar.
"Apaan sih? Gue baru pulang kerja. Laper, capek, lepek, ngantuk!" gerutu gue kesal, menyilatin dia dengan mata.
"Lo bau matahari," komentar Teddy santai, melirik gue dari ujung kepala sampai kaki.
"Namanya juga kerja di ladang! Emang lo pikir pemetik cabai wanginya kayak toko parfum?" tanya gue, melipat tangan di dada.
"Gue nggak mau tunggu lama. Masuk," perintahnya cuek, sama sekali nggak peduli.
"Sekalian lo beliin gue makan, gue laper," pinta gue tanpa malu-malu, sengaja nyodorin tangan ke arah AC mobilnya yang keluar dari jendela, biar hawa dinginnya kena dulu.
Teddy mendesah panjang. "Cepet, kita makan di luar," ucapnya akhirnya, membuka pintu mobil dari dalam.
Gue langsung cengar-cengir menang. Yaudah, mumpung ada yang bayarin makan, kan? Dengan langkah santai, gue masuk ke mobil, sementara Teddy masih natap gue kayak ngebatin, kenapa gue harus nikahin bocah tengil ini?
...****************...
Mobil berhenti di depan mall paling mewah di kota. Gue langsung melotot ke arah Teddy.
"Ngapain ke sini?" tanya gue curiga.
"Beli baju buat lo. Masa mau ketemu keluarga gue pake baju kebun?" ujar Teddy santai setelah mematikan mesin mobil.
"Lo gila ya? Logika dikit, deh. Gue lepek, dekil, bau matahari! Gimana mau masuk ke mall?! Ntar diusir satpam!" protes gue, langsung melipat tangan di dada.
Teddy diam sebentar, kayak mikirin sesuatu. Lalu dia ngelirik gue dari atas sampai bawah dan—SIALAN—muka dia kayak setuju sama omongan gue barusan.
"Tunggu di sini," ucapnya akhirnya, mendesah panjang lalu keluar dari mobil.
"Lah, lo mau ke mana?" tanya gue bingung, masih bengong.
"Beliin lo baju," jawabnya santai.
Gue langsung ketawa ngakak. "Seriusan? Jenderal Teddy Wilson belanja buat gue? Ini pasti kejadian langka," goda gue sambil nyengir.
"Lo pikir gue tahan berdebat sama bocah tengil kayak lo?" balasnya dingin, cuma melirik sekilas.
"Pinter. Jangan maksa gue lakuin hal gak masuk akal lagi," ujar gue puas, masih dengan senyum kemenangan.
Teddy nggak nanggepin, dia langsung jalan masuk ke mall. Gue bersandar di jok mobil, sambil ngakak sendiri. Gila, yang bener aja. Mau ketemu calon mertua malah kagak mandi, kayak gembel bau begini.
Lima belas menit kemudian, Teddy balik dengan beberapa kantong belanjaan. Dia masuk mobil, naruh kantongnya di pangkuan gue, lalu duduk dan nyetir lagi seolah nggak ada yang aneh.
Gue langsung bongkar kantongnya. Ada dress simpel warna navy, sepatu flat, dan—gue ngikik—tisu basah.
"Lo serius nyuruh gue mandi pake tisu basah?" tanya gue sambil cekikikan.
"Gue nggak mau calon istri gue bau matahari pas ketemu keluarga gue," ujar Teddy tanpa ekspresi, tetap fokus nyetir.
"CALON istri? Woy, perjanjian kita masih bisa gue batalin, tau!" seru gue, melirik dia tajam.
Teddy menoleh sedikit, lalu menyeringai licik. "Coba aja."
Gue langsung keinget ancamannya soal video dan mendengus kesal. "Sialan," gerutu gue, mengetukkan jari di paha dengan gondok.
Dengan berat hati, gue mulai ngelap tangan dan muka pake tisu basah, terus buru-buru ganti baju di dalam mobil. Teddy nggak protes, malah tetep fokus nyetir.
Pas gue udah selesai dan liat diri gue di kaca, lumayanlah. Walaupun rambut masih awut-awutan, setidaknya gue nggak keliatan kayak pekerja ladang cabai yang baru dicemplungin ke sawah.
"Jadi, kita mau ke mana sekarang?" tanya gue.
"Rumah bokap nyokap gue," ujar Teddy, melirik sekilas.
"Gila lo. Gue belum siap mental," gerutu gue, langsung manyun.
"Masalah lo," balasnya santai, mengangkat bahu tanpa beban.
Gue meratap dalam hati. Ini bukan cuma pertemuan calon mantu dan mertua biasa. Ini lebih mirip gladi resik menuju eksekusi.
Mobil berhenti di depan rumah gede yang keliatan kayak istana. Gue langsung nelen ludah.
Gue tau si Teddy ini jenderal, tapi gue nggak nyangka rumah keluarganya bakal semewah ini. Pagar tinggi, halaman luas, ada air mancur segala di depan. Gue mendadak merasa kayak bocah kampung yang nyasar.
"Keluar," perintah Teddy, berdiri di depan pintu mobil yang sudah dibukanya.
"Gue gugup, anjir," gumamnya gue pelan, tetap duduk di dalam sambil menghela napas berat.
"Jangan gugup. Anggep aja kita udah lama kenal, udah saling mencintai, udah saling goyang—" ujarnya santai, nyender di pintu mobil.
"DIEM! Jangan bahas goyang-goyang, GUE MALU!" seru gue, langsung mendelik tajam dengan suara naik satu oktaf.
Teddy hanya nyengir kecil, lalu menarik tanganku agar keluar dari mobil. "Ayo, calon istri tengil," ucapnya, masih dengan nada menggoda.
Gue mau nggak mau ngikut, masih kesel sama omongannya tadi. Untungnya, gue punya satu hal buat dibanggain—wajah gue cakep dan kulit gue putih bersih, padahal tiap hari kerja di ladang cabai. Setidaknya gue keliatan pantes buat calon mantu mereka.
Begitu kita masuk, seorang wanita paruh baya yang keliatan elegan langsung berdiri dari sofa, disusul seorang pria tua dengan wajah tegas.
Gue langsung tegang. Ini pasti orang tua Teddy.
"Gini doang?" suara pria itu terdengar datar, tapi tajam.
Gue refleks ngecek diri sendiri. Apanya yang gini doang? Gue cakep, putih, langsing, masih muda! Harusnya mereka bangga punya calon mantu kayak gue!
Teddy malah nyodorin tangan ke punggung gue, nyuruh gue maju. "Ini Aira, calon istri Teddy."
Gue telan ludah, lalu maksa senyum. "Hai, Om, Tante."
Senyum gue bertahan dua detik sebelum si pria tua—alias bokapnya Teddy—ngeluarin satu kalimat yang bikin gue hampir kejang.
"Kamu hamil?"
Gue langsung ngerasa kayak ada petir nyamber di dalam kepala.
"H-hamil?" Gue nyaris keselek ludah sendiri. "Enggak! Saya sehat walafiat, Pak, Bu!"
Nyokapnya Teddy, yang dari tadi diem aja, akhirnya buka suara.
"Jadi kamu menikah dengan Teddy karena cinta?"
Gue nggak siap dapet pertanyaan interview ginian. Jujur, di dalam hati gue udah feling nggak enak. Tapi ya udahlah, hajar aja dulu.
"I-iya, Bu," jawab gue, maksa senyum sebaik mungkin.
Bokapnya Teddy nyipitkan mata. "Padahal kalian baru kenal, ya?"
Gue makin keringetan. Teddy ini kenapa, sih, nggak dari awal ngajarin gue skrip jawaban yang bener? Gue cuma bisa ketawa kecil, nyoba cari alasan, tapi sebelum gue sempet buka mulut, si bokap tiba-tiba ngejatuhin bom atom di ruangan ini.
"Kamu tau nggak kalau Teddy ini duda?"
Gue langsung membeku.
APA?!!!
Gue otomatis noleh ke arah Teddy yang cuman duduk santai, nyeruput teh kayak nggak ada yang salah.
"Dia baru cerai beberapa bulan lalu," ujar bokapnya, melanjutkan pembicaraan.
"Dan kamu tau kenapa pernikahannya gagal?" timpal nyokapnya, menatap gue tajam.
Jantung gue makin kencang. "K-kenapa, Bu?" tanya gue, nyaris berbisik.
Nyokapnya Teddy menarik napas panjang, lalu dengan wajah prihatin, dia ngeluarin kalimat yang bikin otak gue langsung nge-hang.
"Karena Teddy impoten."
…
…
.
Next 👉🏻
suka banget bahkan
ayo lanjut lagi.....
biar semakin seru.......