Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Asrama perempuan itu lebih ramai dari yang Yun Qi bayangkan. Lorong lantai tiga dipenuhi suara koper diseret, tawa yang belum akrab tapi dipaksakan, dan pintu-pintu kamar yang terbuka setengah. Bau campuran pewangi pakaian, makanan instan, dan debu bangunan lama menyambut begitu ia melangkah masuk.
Yun Qi berhenti sebentar di depan pintu kamar 317. Tangannya terangkat, ragu, lalu mengetuk pelan. “Masuk aja, nggak dikunci!” Suara dari dalam terdengar cerah, terlalu berenergi untuk jam sepagi ini. Yun Qi mendorong pintu, dan pandangannya langsung tertumbuk pada dua ranjang susun, meja belajar yang berdempetan, dan seorang gadis yang sedang duduk di lantai sambil menyusun buku.
“Oh!” Gadis itu menoleh cepat. Rambutnya diikat asal, kaus putihnya sedikit kebesaran. “Lo pasti Yun Qi, ya?” Yun Qi mengangguk. “Iya.”
“Gue An Na.” Gadis itu berdiri, mengelap tangannya ke celana pendek. “Yang satu lagi belum dateng. Katanya sore.” An Na berbicara cepat, tapi tidak menyebalkan. Nada bicaranya santai, tanpa jarak. Yun Qi menarik koper kecilnya masuk. “aku … ranjangku yang mana?”
“Bebas. Gue ambil atas.” An Na menunjuk ranjang bawah. “Lo keliatan nggak suka manjat.” Yun Qi hampir tersenyum. “Kelihatan?”
“Iya. Aura lo tuh… kalem. Anak bawah banget.” Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa Yun Qi merasa sedikit hangat. Ia meletakkan tas di ranjang bawah, duduk perlahan. Kasurnya agak keras, berderit pelan saat ia bergerak. “Lo dari luar kota?” tanya An Na sambil naik ke ranjang atas. “Iya.”
“Sendiri?”
“Iya.” An Na berhenti bergerak sejenak, lalu mencondongkan tubuh dari atas. “Keren.” Yun Qi mendongak. “Kenapa semua orang bilang gitu?” An Na tertawa kecil. “Karena nggak semua orang berani.”
Yun Qi tidak membalas. Ia tahu itu bukan soal berani. Ini soal terbiasa tidak punya siapa-siapa. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. “Permisi—eh, udah ada orang.” Gadis ketiga masuk dengan koper besar berwarna krem. Rambutnya panjang, dikuncir rendah, wajahnya terlihat lelah tapi ramah. “Hai,” kata Yun Qi spontan.
“Hai.” Gadis itu tersenyum kecil. “Gue Xiao Lan.” An Na melompat turun. “Lengkap! Sekamar resmi!” Kamar itu mendadak terasa lebih sempit dan lebih hidup.
Mereka bertiga membereskan barang bersama. Tidak banyak obrolan berat. Hanya pertanyaan ringan: jurusan apa, asal mana, suka kopi atau teh. Tapi Yun Qi memperhatikan detail kecil cara Xiao Lan melipat pakaian dengan rapi, cara An Na bersiul kecil saat menyusun rak, suara hujan tipis yang mulai turun di luar jendela.
Saat sore tiba, Yun Qi duduk di tepi ranjang, memandangi foto kecil di dompetnya. Foto lama ia dan Hao Yu, berdiri agak berjauhan, sama-sama kaku. Ia masih SMP waktu itu. Ponselnya bergetar.
Hao Yu: Sudah pindah?
Yun Qi membalas dengan cepat.
Yun Qi: Sudah, Ge.
Hao Yu: bagaimana kondisi kamar?
Yun Qi mengetik, berhenti, lalu mengetik lagi.
Yun Qi: terlihat baik. Ada dua teman sekamar. Mereka ramah.
Balasan tidak langsung datang. Ia tahu Hao Yu sedang sibuk atau berpikir terlalu lama. Ketika ponsel kembali menyala, pesannya singkat.
Hao Yu: Jaga diri mu.
Yun Qi memandangi layar beberapa detik lebih lama dari biasanya. Malam pertama di asrama tidak benar-benar tenang.
Lampu lorong menyala terang, suara langkah kaki berlalu-lalang, tawa kecil terdengar dari kamar sebelah. An Na duduk di meja sambil mengoleskan masker wajah, Xiao Lan merebahkan diri sambil men-scroll ponsel.
Yun Qi berbaring telentang, menatap langit-langit. Ia merasa… asing. Bukan karena tempatnya. Tapi karena suara-suara itu. Kehangatan yang tidak ia miliki selama bertahun-tahun. Dulu, apartemen besar selalu sunyi. Sekarang, kamar kecil ini penuh napas manusia lain. “Qi,” suara An Na terdengar lembut, berbeda dari biasanya. “Lo nggak tidur?”
“Belum.”
“Kalau kangen rumah, bilang aja. Gue biasanya pura-pura tidur sambil nangis.” Yun Qi menoleh. An Na tersenyum santai, tapi matanya jujur. “aku nggak kangen rumah,” jawab Yun Qi pelan.
An Na mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. “Ya udah. Selamat datang di dunia capek tapi rame.” Lampu dipadamkan. Dalam gelap, Yun Qi memejamkan mata. Ada rasa aman yang aneh bukan karena tempat ini benar-benar aman, tapi karena ia tidak sendirian. Namun di saat yang sama, bayangan Hao Yu muncul di pikirannya. Cara pria itu selalu memastikan pintu terkunci, lampu menyala, makanannya cukup. Ponselnya bergetar di bawah bantal.
Hao Yu: Kalau ada apa-apa, telepon.
Yun Qi menelan ludah.
Yun Qi: Iya, Ge.
Ia ingin menambahkan sesuatu. Ingin bilang ia baik-baik saja. Ingin bilang ia sedikit takut, tapi juga sedikit senang. Namun akhirnya, ia hanya mengunci ponsel. Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme baru.
Pagi-pagi sekali, An Na selalu ribut mencari kaus kaki. Xiao Lan menyeduh kopi instan dengan takaran yang sama setiap hari. Yun Qi bangun lebih awal dari mereka, merapikan tempat tidur dengan rapi, lalu duduk membaca sebelum kelas.
Mereka sering makan bersama. Bercanda soal dosen yang terlalu cepat bicara, soal mahasiswa tingkat atas yang sok keren. Yun Qi tidak banyak bicara, tapi ia mendengarkan. Dan entah sejak kapan, mereka tidak lagi menganggapnya aneh.
Suatu sore, saat Yun Qi pulang sendirian dari perpustakaan, hujan turun tiba-tiba. Ia berlari kecil ke halte, basah kuyup. Mobil hitam itu muncul lagi. Tidak dekat. Tidak mencolok. Tapi ada. Yun Qi berhenti, menatapnya sekilas. Mobil itu berhenti beberapa meter jauhnya. Tidak ada yang turun. Tidak ada klakson.
Ia tahu siapa yang menyuruh. Ia menghela napas, lalu naik ke bus yang datang. Dari balik kaca, ia melihat mobil itu berbalik arah, menghilang di tikungan. Malamnya, Yun Qi menelpon Hao Yu. Panggilan tersambung setelah dering ketiga.
“Kenapa?” suara Hao Yu rendah, lelah.
“Ge…,” Yun Qi ragu. “Anda menyuruh seseorang mengawasi saya lagi?” Hening sejenak di seberang.
“Ya.” Tidak ada penyangkalan. Tidak ada alasan panjang. Yun Qi menggenggam ponsel lebih erat. “Saya aman.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu…”
“Kau tetap harus dijaga.” Nada itu tenang, tapi tidak memberi ruang untuk debat. Yun Qi menutup mata. Ada perasaan campur aduk kesal, lega, dan sesuatu yang tidak ingin ia beri nama. “Baik,” akhirnya ia berkata pelan. Panggilan ditutup.
Yun Qi duduk lama di tepi ranjang. Di sekelilingnya, An Na dan Xiao Lan tertawa sambil menonton video di satu ponsel. Dua dunia. Satu yang hangat dan berisik. Satu yang sunyi tapi melindungi.
Dan Yun Qi berdiri di tengahnya belum tahu dunia mana yang akan benar-benar menjadi miliknya.