NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17_Dia hanya menepi

Suasana ruangan semakin ramai seiring malam berjalan. Tawa bersahutan, gelas-gelas beradu pelan, dan musik latar mengalun lembut tanpa benar-benar mengundang siapa pun untuk berdansa. Lauren masih berdiri di sisi Arga, lengannya tetap terlingkar di lengannya—sebuah posisi yang terasa aman, sekaligus menyesakkan.

Lalu seseorang mendekat.

Langkahnya ringan, penuh percaya diri. Aroma parfum yang samar—namun terlalu familiar—menyentuh indera penciuman Lauren lebih dulu, bahkan sebelum ia sempat menoleh.

Bahunya menegang tanpa ia sadari.

Arga juga merasakannya.

Lauren bisa melihat perubahan itu dengan jelas: bahu Arga sedikit mengeras, rahangnya menegang, dan napasnya menjadi lebih pendek. Gerakan kecil yang mungkin tak terlihat orang lain—namun terlalu jelas bagi seorang istri yang telah bertahun-tahun mempelajari diamnya suaminya.

Ini dia, pikir Lauren.

Wanita itu berdiri tepat di hadapan mereka.

Cantik. Terawat. Tinggi dengan postur yang tegas. Gaun hitam yang dikenakannya melekat sempurna, tidak berusaha mencuri perhatian—namun justru mendapatkannya dengan mudah. Rambutnya disanggul rapi, riasannya berkelas. Bibirnya dipoles warna merah lembut.

Warna yang sama.

Warna yang pernah Lauren lihat di kemeja Arga.

Untuk sepersekian detik, dunia di sekitar Lauren seperti mengecil.

Ia mengenal wanita ini.

Bukan karena mereka pernah berbincang.

Bukan karena pernah bekerja bersama.

Melainkan karena parfum itu.

Dan lipstik itu.

“Halo, Arga,” sapa wanita itu dengan senyum hangat yang terlatih. “Akhirnya datang juga.”

Arga menarik napas, lalu membalas senyum—sedikit terlambat. “Halo.”

Pandangan wanita itu lalu beralih ke Lauren. Matanya menelusuri Lauren dari ujung rambut hingga gaun biru tua yang dikenakannya. Ada jeda singkat—cukup lama untuk menyadari keberadaan satu sama lain.

“Oh,” katanya kemudian, tersenyum lebih lebar. “Kamu pasti Lauren.”

Lauren tersenyum.

Senyum sopan.

Senyum yang sudah ia latih bertahun-tahun.

“Iya,” jawab Lauren lembut. “Dan kamu…?”

Wanita itu mengulurkan tangan. “Nadira.”

Lauren menjabatnya. Telapak tangan Nadira hangat, genggamannya mantap. Tidak ragu. Tidak canggung.

“Aku menggantikan posisimu,” lanjut Nadira ringan, seolah itu sekadar fakta biasa. “Ketua perancang.”

Kata-kata itu jatuh tepat sasaran.

Lauren mengangguk pelan. “Aku dengar.”

“Oh?” Nadira tampak terkejut kecil. “Kupikir kamu sudah benar-benar menjauh dari dunia ini.”

Lauren tersenyum lagi. “Aku hanya menjauh dari kantor. Bukan dari diriku sendiri.”

Ada kilatan halus di mata Nadira—sesuatu yang cepat disembunyikan. Ia menoleh pada Arga. “Istrimu luar biasa.”

Arga mengangguk cepat. “Dia memang begitu.”

Lauren melirik Arga sekilas. Senyum di wajahnya tetap terpasang, namun dadanya terasa berdenyut pelan—bukan karena marah, melainkan karena kenyataan yang kini berdiri tepat di depannya.

Inilah wanita itu.

Wanita yang tertawa bersama Arga.

Wanita yang parfumnya menempel di kemeja suaminya.

Wanita yang lipstiknya meninggalkan jejak tanpa izin.

Dan kini, wanita yang berdiri di tempat yang dulu pernah menjadi milik Lauren—baik di kantor… maupun mungkin di hidup Arga.

“Aku senang akhirnya bertemu langsung,” kata Nadira ramah. “Nama kamu masih sering disebut, lho. Banyak yang bilang standarnya berubah sejak kamu pergi.”

Lauren menahan napas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. “Aku harap perubahan itu ke arah yang baik.”

“Tentu,” jawab Nadira cepat. “Aku belajar banyak dari sistem yang kamu bangun.”

Arga menoleh ke arah jam tangannya. “Kami harus menyapa yang lain.”

“Tentu,” kata Nadira sambil tersenyum. “Sampai nanti, Lauren.”

“Sampai nanti,” balas Lauren.

Mereka melangkah menjauh.

Begitu jarak tercipta, Lauren melepaskan lengannya dari Arga dengan gerakan halus, seolah hanya ingin merapikan gaunnya. Ia tetap tersenyum, menyapa orang-orang lain yang datang—namun pikirannya tertinggal beberapa langkah di belakang.

Arga meliriknya. “Kamu tidak apa-apa?”

Lauren menoleh, tersenyum. “Aku baik-baik saja.”

Kebohongan kecil.

Yang terasa jauh lebih besar dari sebelumnya.

Di balik senyum dan lampu-lampu gemerlap, Lauren akhirnya yakin pada satu hal:

Ia tidak salah mencium parfum itu.

Ia tidak salah melihat lipstik itu.

Dan malam ini, ia tidak lagi bertanya-tanya apakah Arga telah berpaling—

melainkan sejak kapan.

Lauren masih berdiri di sisi ruangan, memegang gelas minum yang isinya hampir tak tersentuh. Senyum di wajahnya tetap terpasang, meski pikirannya belum sepenuhnya kembali dari pertemuan barusan. Lampu-lampu kristal di atas kepala memantulkan cahaya lembut, membuat ruangan tampak hangat—namun dada Lauren terasa dingin.

“Lauren?”

Suara itu membuatnya menoleh.

Seorang pria paruh baya berdiri di hadapannya, mengenakan setelan abu-abu gelap dengan dasi sederhana. Rambutnya kini lebih banyak berwarna perak, namun sorot matanya tetap sama—tajam, penuh perhatian, dan hangat dengan caranya sendiri.

Lauren tersenyum spontan. Kali ini, lebih tulus.

“Pak Surya.”

Pria itu tertawa kecil. “Kamu masih mengingatku.”

“Bagaimana mungkin aku lupa?” jawab Lauren lembut. “Anda yang dulu paling sering memaksa saya pulang tepat waktu.”

Pak Surya tersenyum lebar. “Dan kamu yang paling sering mengabaikannya.”

Mereka tertawa kecil—tawa ringan yang terasa akrab, seperti kembali ke masa lalu yang tidak sepenuhnya menyakitkan.

“Selamat,” kata Lauren kemudian, matanya menatap pin kecil di jas Pak Surya. “Saya dengar Anda sekarang direktur.”

Pak Surya mengangguk. “Sudah dua tahun. Dunia berubah cepat, ya.”

“Tidak secepat yang saya kira,” balas Lauren pelan.

Pak Surya menatap Lauren lebih saksama, seolah menilai sesuatu yang tak tertulis. “Kamu terlihat… tetap Lauren yang dulu.”

Lauren tersenyum samar. “Dengan kehidupan yang berbeda.”

“Namun kemampuanmu tidak berubah,” kata Pak Surya mantap. “Kami masih membicarakanmu di rapat-rapat besar. Desainmu, pendekatanmu, cara berpikirmu.”

Lauren terdiam sejenak.

“Aku ingin jujur,” lanjut Pak Surya, merendahkan suaranya. “Kami butuh orang sepertimu kembali.”

Lauren menatap gelas di tangannya. Jari-jarinya mengencang sejenak, lalu mengendur.

“Saya berterima kasih,” katanya hati-hati. “Sungguh. Tapi untuk saat ini… saya tidak bisa.”

Pak Surya mengangguk, seolah sudah menduga jawaban itu. “Karena keluarga?”

Lauren tersenyum tipis. “Karena diri saya sendiri.”

Jawaban itu membuat Pak Surya terdiam beberapa detik.

“Kamu selalu tahu apa yang kamu inginkan,” katanya akhirnya. “Itu tidak berubah.”

Lauren menghela napas pelan. “Saya hanya tahu apa yang belum siap saya ambil.”

Pak Surya menatapnya penuh arti. “Kalau begitu, izinkan saya mengatakan satu hal.”

Lauren mengangguk.

“Pintu itu tidak pernah tertutup untukmu,” kata Pak Surya tegas. “Bukan sekarang. Bukan nanti. Kapan pun kamu ingin kembali—bahkan jika itu bertahun-tahun dari sekarang—perusahaan ini selalu punya tempat untuk Lauren Hermasyah.”

Kata-kata itu menembus pertahanan Lauren dengan cara yang tak ia sangka.

Matanya sedikit berkaca, namun ia segera tersenyum, menahan emosi yang nyaris tumpah.

“Terima kasih, Pak,” katanya tulus. “Itu sangat berarti.”

Pak Surya menepuk bahunya pelan—sentuhan yang penuh hormat. “Jangan ragu pada nilai dirimu hanya karena kamu memilih jalan yang berbeda.”

Lauren mengangguk. “Saya akan mengingatnya.”

Saat Pak Surya melangkah pergi, Lauren berdiri diam sejenak. Di sekelilingnya, acara tetap berjalan—musik, tawa, percakapan ringan. Namun di dalam dirinya, sesuatu telah bergerak.

Ia menoleh ke arah Arga, yang sedang berbincang dengan rekan kerjanya di sisi lain ruangan. Dari jarak itu, Lauren menatap suaminya dengan perasaan yang kini lebih jernih dari sebelumnya.

Ia diingatkan malam ini—bukan oleh pengkhianatan,

melainkan oleh pengakuan.

Bahwa ia tidak pernah kehilangan nilai dirinya.

Bahwa ia tidak ditinggalkan oleh dunia—ia hanya menepi.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lauren menyadari:

Ia memiliki pilihan.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!