Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUDUHAN YANG MENYAKITKAN
“ASHAAAAAA!”
Teriakan Ratna membelah keheningan rumah, membuat Asha refleks menoleh dari arah dapur. Jantungnya berdegup, kaget oleh nada tinggi ibu mertuanya.
Ratna berdiri di ruang tengah dengan tangan dipinggang, wajah masam seperti sedang menahan kesal sejak subuh.
Asha segera menghampiri. “I-iya, Tante?”
Ratna mendengus. “Tolong beli bahan kue buat tamu arisan saya besok datang. Tepung, gula, santan, semuanya! Jangan sampai ada yang kurang.”
Asha mengangguk pelan. “Tapi, Tante…”
Ratna melipat tangan di dada, menatap Asha dari atas ke bawah. “Hamil bukan berarti waktu kamu manja-manja di rumah." Potongnya cepat. "Adit boleh nyuruh kamu libur bekerja, tapi itu gak berlaku di rumah ini. Jangan dikit-dikit capek, dikit-dikit mual. Jangan manja.” Nada suaranya dingin, menusuk, seolah Asha adalah pembantu baru yang masih harus diajar.
Dari sudut dapur, Bik Yuni yang sedang mengiris bawang buru-buru bersuara, mencoba menolong. "A-Anu... Bu, Biar saya saja, Bu. Kasihan Non—”
“ENGGAK!” Ratna memotong cepat sambil menoleh tajam. “Kamu kalau nggak ada perintah, jangan ikut campur! Kerja lagi sana! Mau saya pecat?!”
Bik Yuni langsung menunduk dalam-dalam. “I-iya, Bu,” Jawabnya lirih, sebelum kembali ke dapur.
Asha menelan ludah. Perih di perutnya masih sesekali datang, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakit itu. “Baik, Tante… aku beli sekarang.”
"Bagus. Satu hal lagi..." Lanjut Ratna, mendekat sambil mengacungkan jari telunjuk ke udara. "Awas aja kalau kamu bilang hal ini pada Adit, kamu gak mau kan... bikin dia khawatir sama kamu?"
Asha hanya mengangguk tanpa suara. Ratna kemudian mendengus dan berbalik tanpa kata lain, meninggalkan dirinya berdiri sendirian di ruang tengah—menahan napas, menahan sedih, dan menahan diri agar air matanya tidak jatuh.
****
Suara itu meluncur lembut, seperti hembusan angin hangat yang menyelinap masuk lewat celah jendela. Nada panggilannya pelan, penuh perhatian, memecah lamunan Lilia yang sejak tadi menatap kosong ke arah buku di pangkuannya.
Gadis kecil itu mengedip pelan. Bulu matanya bergetar, seolah tersentak dari dunia kecil yang sedang ia kunjungi di dalam kepalanya—dunia yang hanya dimengerti anak seusianya. Ia menoleh perlahan.
Di wajahnya tampak sedikit keterkejutan, namun segera luluh oleh keakraban suara itu. Matanya yang bening memantulkan hangatnya panggilan tersebut, membuat pipinya tampak semakin lembut dan polos.
"Mama Intan." Gumam Lilia.
"Mama perhatikan, kamu lagi ngelamun? Lagi mikirin apa, Lilia?" Tanya Intan sambil mengusap helai rambut Lilia.
"Enggak lagi mikirin apa-apa kok, Ma. Lilia cuma lagi inget aja sama Tante Asha."
Intan mengkerutkan dahi. "Tante Asha... istrinya Om Adit itu?"
"Iya, Ma." Angguk Lilia. Lilia, suaranya kecil namun jelas. Jemari mungilnya meremas ujung baju seragam rumahnya, tanda ia merasa nyaman sekaligus sedikit gugup karena ditanya.
"Tante Asha emangnya kenapa, Lilia?"
"Tante Asha itu cantik dan baik hati ya, Ma." Ucapannya mengalir tulus, tanpa keraguan, seperti seorang anak yang hanya mampu berkata apa adanya. Ada kekaguman murni di matanya—kagum pada perhatian lembut, senyum hangat, dan cara Asha selalu mengusap kepalanya setiap kali mereka bertemu.
"Iya," Angguk Intan mengiyakan keluguan anak angkatnya itu. "Terus... cantikan dan baik siapa sama Mama?"
Mata Lilia teralihkan. Ia menatap ke atas, ke langit-lAngit kamarnya yang pucat, seakan jawaban yang sulit itu bisa ia temukan di antara garis-garis cat yang memudar. Kelopak matanya bergerak pelan, berpikir sungguh-sungguh seperti hanya anak polos yang bisa.
Ada jeda. Sunyi kecil yang menggantung.
Bukan karena ia ingin menyakiti siapa pun, bukan pula karena ia ragu—Lilia hanya mencoba jujur. Kepolosannya membuat ia mempertimbangkan pertanyaan itu dengan sepenuh hati. Jari-jarinya memainkan ujung selimut, tubuhnya sedikit bergerak gelisah, tanda ia takut jawabannya akan salah di telinga seseorang yang ia sayangi. "Kalau cantik dan baik, dua-duanya cantik dan baik kok. Mama Intan sama Tante Asha malaikat aku. Tapi..."
Intan memicingkan sebelah alisnya. "Tapi...?"
"Tapi aku kangen sama Tante Asha, Ma. Apalagi sekarang Tante Asha lagi ada dede bayi di perutnya."
Intan membelalakkan bola matanya. "Tante Asha... hamil?"
"Iya, Ma." Angguk Lilia. "Siang tadi, Tante Asha mual-mual gitu, Ma. Terus di bawa ke dokter sama Om Adit. Kata Om Adit, di perutnya Tante Asha ada dede bayi."
Intan membisu. Senyumnya tetap, tapi sorot matanya perlahan mengendur hangat. "Sayang, ini udah malam." Gumamnya sambil menarik selimut ke atas perut Lilia yang berbaring di ranjang. "Ini udah malam. Besok kamu harus sekolah. Istirahat sekarang, ya. Takutnya besok kamu kesiangan, lagi."
Lilia mengangguk menurut. "Iya, Ma. Good night, Mama."
Intan mengecup kening Lilia hangat. "Good night, sayang."
****
Derum mobil masuk ke pekarangan rumah. Mesin dimatikan. Adit beringsut turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah. Matanya mencari seseorang. Asha.
Wanita itu biasanya menyambut kepulangannya, namun tidak malam ini. Langkahnya kemudian berlanjut ke ruang makan. Tidak ada Asha disana. Hanya Ratna dan Maya yang sedang menikmati makan malam mereka.
"Adit, kamu udah pulang." Sambut Ratna sambil melahap makanannya.
"Asha kemana, Ma? Aku gak lihat Asha."
Ratna mengangkat kedua bahunya, antara tak tahu dan enggan peduli. "Di kamarnya, mungkin." Tambahnya.
"Iya." Tambah Maya. "Istri kamu semenjak hamil kan sering males-malesan."
Ucapan itu masih menggantung di udara ketika suara mesin mobil terdengar dari luar. Tak lama, pintu depan berderit terbuka. Adit sontak menoleh ke arah suara.
Asha baru pulang.
Wajah Adit langsung berubah lega bercampur heran. “Sayang… kamu dari mana?”
Asha menahan napas, langkahnya terhenti di ambang pintu. “Mas, aku…”
“Ya ampun! Kamu ternyata lagi keluar rumah dan baru pulang sekarang?” Ratna beranjak sambil melangkah maju, membesarkan matanya dramatis. “Dari mana kamu? Kok nggak izin sama Mama?”
Asha membelalak, bibirnya membuka sedikit tak percaya. “Tante kan—”
“Hey, Asha!” Sergah Ratna, lebih keras, membuat Maya otomatis ikut merapat di sebelahnya. “Kamu itu lagi hamil. Harusnya kamu diem di rumah! Jangan seenaknya keluar belanja-belanja!”
Maya mengangguk, “Iya, Sha. Kamu harus jaga kondisi kandungan kamu. Jangan bikin Adit khawatir.” Katanya dengan nada sok prihatin.
Asha tercekat. “Tante… Mbak… aku kan—”
Ratna mengibaskan tangan tak sabar, seolah tidak ada satu pun alasan dari Asha yang layak didengar. “Istri kamu itu, Dit… harusnya belajar jadi ibu yang bener! Jangan hamil tapi masih keluyuran begitu!”
Adit mengerutkan kening, langkahnya refleks bergerak mendekati Asha, namun Ratna sudah lebih dulu memonopoli suasana dengan nada meninggi dan tuduhan yang beruntun.
Asha berdiri terpaku, matanya berdenyut—antara terkejut, tersinggung, dan bingung harus menempatkan diri di mana. Sementara itu, kedua wanita di depannya memperlakukan dirinya seperti anak kecil yang baru ketahuan nakal, bukan seorang perempuan dewasa yang sedang mengandung.
Dan untuk sesaat, ruang tamu itu terasa sempit, penuh tekanan, seakan udara pun berpihak pada Ratna dan Maya… menyudutkan Asha tanpa memberi ruang untuk membela diri.
****