"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanding
“Vin. Oke. Fokus!” seru salah satu teman setimnya sambil menepuk bahu Davin.
Davin hanya mengangguk. Matanya menyala.
Semakin ditantang, semakin besar nyali dan semangatnya.
Beberapa sparing berjalan sengit, namun pada akhirnya tim Davin keluar sebagai pemenang. Sorakan terdengar di sekitar lapangan.
Tapi tidak semua orang senang.
Di tribune paling atas, Rey duduk diam. Matanya sempit, menatap Davin dengan rasa iri yang begitu jelas.
Wajahnya tegang, seolah kemenangan itu menusuk harga dirinya.
“Vin, lo keren sih… tapi jersey lo?” tanya salah satu temannya sambil menunjuk sisa robekan di bagian pinggir.
Davin baru membuka mulut ingin menjelaskan, namun Coach tiba-tiba muncul di samping mereka.
“Soal jersey, nggak usah dibahas. Coach masih ada cadangan. Davin, ambil jersey baru dulu. Habis itu kumpul, kita atur strategi pertandingan inti.”
“Siap, Coach!”
Beberapa anggota tim masih melongo melihat tubuh Davin yang terekspos sebelum tadi ia mengambil jersey baru.
Mereka sering latihan bersama, tapi tidak pernah memperhatikan detailnya sampai kejadian hari ini.
“Coach… padahal dia baru delapan belas,” bisik salah satu pemain. “Tapi badannya udah kayak atlet profesional.”
Coach menghela napas kecil, tapi tersenyum bangga.
“Kalian harus belajar darinya. Dia rajin work out, disiplin, nggak pernah bolos latihan. Makanya hasilnya keliatan. Kalau mau jadi captain, bukan cuma skill yang dilihat tapi komitmen.”
Sementara mereka berbicara, Davin sudah tidak di situ. Ia menuju ruang ganti untuk mengambil jersey baru.
Seorang pemain lain tiba-tiba mengangkat tangan.
“Coach… ngomong-ngomong soal jersey. Kenapa tadi referee nggak nyuruh stop? Padahal jelas banget tim kita dicurangi. Pemain tadi narik jersey Davin sampai robek.”
Beberapa pemain menggumam setuju.
Coach mengecek jam tangannya, lalu menatap mereka satu-satu.
“Refer memang nggak lihat. Posisi tubuh Davin nutup garis pandang. Tapi kalian tenang aja, Coach udah lapor. Nanti saat pertandingan resmi, panitia sudah pasti akan lebih ketat.”
Ia menepuk bahu para pemain.
“Sekarang fokus. Jangan kebawa emosi soal curang-curangan. Kita lawan dengan teknik yang bersih. Paham?”
“Paham, Coach!”
Belum sempat mereka membubarkan diri, Davin kembali datang memakai jersey baru.
“Coach,” ucap Davin singkat, siap kembali mengikuti arahan.
Setelah Davin kembali dengan jersey itu, semua pemain mulai berkumpul melingkar. Coach berdiri di tengah, membawa clipboard, wajahnya tegas seperti biasa.
“Oke tim, pertandingan resmi dimulai lima belas menit lagi,” ucap Coach lantang. “Lawan kita bukan main-main. Mereka agresif, cepat, dan suka main kotor kalau terdesak.”
Beberapa pemain otomatis melirik Davin, mengingat insiden sebelumnya.
Coach melanjutkan, “Tapi ingat, kita main di kandang sendiri. Kita nggak boleh kalah fokus.”
Davin menyilangkan tangan. Fokusnya penuh.
“Raga, kamu jaga perimeter. Jangan kasih mereka ruang narik stepback. Dito, siap screen buat Davin. Dan Davin…” Coach menatapnya langsung.
Davin mengangguk sedikit, menunggu instruksi.
“Kamu tetap jadi penentu ritme. Jangan terprovokasi. Kita menang karena otak, bukan emosi.”
“Siap, Coach.”
Sorakan mulai terdengar dari arah tribune. Siswa-siswi mulai memenuhi bangku penonton. Suasana berubah jadi lebih panas dan riuh.
Raga menelan ludah. “Gila, full seat begini. Pertandingan sekolah berasa final liga.”
“Tenang,” jawab Davin sambil memutar bahunya. “Cuma keramaian.”
Tapi kenyataannya, sorakan semakin kencang ketika nama Davin dipanggil sebagai starter.
Beberapa murid perempuan berseru:
“DAVIIIN! SEMANGAT!”
“ABS-NYA KELIATAN TADI YA AMPUN–”
“YANG NARIK JERSEYNYA TADI SIAPA?! KURANG AJAR BANGET!”
Davin mendengar itu, tapi ia tidak menoleh. Fokusnya hanya pada lapangan.
Wasit—atau dalam basket dikenal sebagai referee—meniup peluit panjang.
“Tim bersiap!”
Davin dan pemain lawan maju ke tengah. Perebutan bola pembuka (jump ball) segera dimulai.
Referee melempar bola ke udara.
Davin melompat tinggi. Tangannya menyambar bola, mendorongnya ke arah Raga.
Sorakan pecah.
Pertandingan resmi dimulai.
---
Tim lawan bergerak cepat dan agresif. Mereka membentuk defense ketat untuk menekan Davin, tetapi Davin lebih cepat.
Ia menggiring bola melintasi garis tengah, melakukan fake ke kanan, lalu step-back kiri. Lawan terpancing.
Davin langsung mengoper ke Dito yang sudah siap di bawah ring.
“Nice pass!” seru Dito sebelum melompat dan memasukkan bola.
Skor pertama.
Penonton heboh.
Namun tim lawan tidak tinggal diam.
Mereka mulai memainkan trik-trik kecil yang tidak selalu terlihat oleh referee:
dorongan bahu halus, senggolan licik, pijakan sepatu.
Hingga satu momen…
Seorang pemain lawan mencoba menghalangi Davin dengan body check ilegal. Terlalu keras. Tapi referee lagi-lagi tidak meniup peluit.
Raga berteriak, “Ref! Itu foul!”
Referee menatap sekilas, tapi mengabaikan.
Davin yang hampir terjatuh hanya menghela napas kasar, lalu kembali fokus.
“Main terus,” katanya singkat.
Ia tidak peduli foul yang tidak dipanggil.
Yang ada di kepalanya hanyalah memenangkan pertandingan.
---
Setelah beberapa menit, tekanan semakin intens. Lawan mulai frustasi karena Davin sulit ditembus. Hingga akhirnya, pemain lawan yang sebelumnya menarik jerseynya mencoba trik licik lain.
Ia sengaja mendorong Davin saat fast break.
Keras.
Cukup membuat penonton berseru marah.
“WOOY! MAIN KOTOR BANGET!”
“REF, BUTA APA?!”
Namun Davin tetap berdiri tegak. Tatapannya dingin, tak tergoyahkan.
Coach berteriak dari pinggir, “DAVIN! TENANG!”
Davin mengangguk kecil.
Ia tidak bicara… tapi jelas, ia mulai memasuki mode beringasnya sebagai captain.
Mode yang membuat lawan ketar-ketir.
---
Begitu permainan memasuki menit-menit paling panas, Davin menunjukkan kelasnya yang sebenarnya.
Dribble-nya rapi, cepat, dan presisi.
Pergerakannya tenang, tapi tajam.
Setiap langkah terlihat terlatih.
Penonton yang awalnya hanya menonton sambil ngobrol, kini mulai memusatkan perhatian penuh pada Davin.
“Woi, itu anak baru yang sifatnya dingin banget, kan?”
“Iya, yang sombong itu…”
“Gila, ternyata jago banget.”
Davin melompat tinggi, melakukan lay up indah. Bola melengkung sempurna masuk ke ring.
Sorakan meledak.
“DAVIIIIIN!!”
“Astagaaa, dia jago banget sumpah!”
“Gue kira dia cuma cowok songong yang susah diajak ngobrol…”
“Liat badannya… pantas aja kuat!”
Beberapa siswa perempuan bahkan saling mendorong pelan, berusaha memperhatikan dengan jelas.
“Itu yang tadi jerseynya robek, kan? Ya Tuhan, gue nyesel banget gak sempat rekam!”
“Ada videonya di grup sebelah!”
“Hah?! Kirim! Kirim cepet!”
Nama Davin langsung ramai di chat grup seluruh angkatan.
Bahkan grup adik kelas mulai heboh.
“Omggg captain baru cakep banget.”
“Baru pindah langsung jadi kapten? Gila.”
“Baru tau dia sesempurna itu.”
“Kenapa sih anak baru bisa sekeren itu?!”
Di tribune atas, beberapa siswi kelas 10 histeris kecil saat Davin menembak tiga angka yang langsung masuk mulus.
“AAA DIA SENYUM!!”
“DIA NGANGGUK AJA CAKEP??!”
“Gue pingsan kalo dia lewat depan gue sumpah.”
Padahal Davin bukan senyum.
Dia cuma… menarik napas.
---
Raga, yang berada di dekatnya, cuma menggeleng sambil tertawa pendek.
“Bro… lu tuh beneran bikin satu sekolah geger hari ini.”
Davin menatapnya dengan wajah datar.
“Gue cuma bertanding.”
“Ya, bertanding… tapi kayak pemain liga,” balas Raga.
Di pinggir lapangan, Coach memperhatikan Davin dengan ekspresi penuh kebanggaan.
Tak cuma karena skill-nya, tapi karena satu hal:
Tidak ada sekolah yang mau menerima murid pindahan kelas 12.
Itu aturan umum.
Kecuali…
murid tersebut punya prestasi atau kemampuan yang istimewa.
Dan Davin adalah bukti hidupnya.
Coach pernah berkata,
“Tidak sembarang orang bisa saya terima di tim. Tapi Davin ini… saya ajukan sendiri ke sekolah. Dia bukan pemain biasa.”
Pindah kelas 12, diterima.
Langsung masuk tim inti.
Dan hanya dua bulan kemudian…
jadi Captain Basket menggantikan Raga.
Tidak heran satu sekolah terkesima.
Saat Davin melakukan dunk keras yang membuat ring bergetar, seluruh tribune berdiri.
Penonton bersorak.
Suara kursi-kursi beradu.
Beberapa bahkan memekik seperti konser idol.
Nama DAVIN menggema.
Anak baru yang dulu dicap sombong, dingin, gak mau berbaur…
kini berubah menjadi topik terpanas di sekolah.
Bahkan beberapa cewek mulai ngomong,
“Kayaknya dia tipe cowok cuek tapi protectif…”
“Aku liat cara dia jaga timnya… ihhh ganteng banget.”
“Gue mau daftar jadi fans club Davin. Ada gak sih?”
Dito sampai tepok jidat melihat tingkah penonton.
“Vin, gue gak ngerti sama lo. Lo dulu dibenci karena judes. Sekarang? Lo trending topik.”
Davin hanya mengusap keringat, suara napasnya masih stabil.
“Gue gak butuh perhatian,” gumamnya.
Tapi ironisnya…
Perhatian datang sendiri.
Tanpa ia minta.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?