Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Keesokan harinya, Clara membuka matanya perlahan. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya matahari yang menyusup masuk melalui celah tirai jendela. Sinar hangat itu menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit menyipit.
Ia menatap sekeliling. Kamar itu luas, rapi, dan mewah, terlalu mewah untuk ukuran dirinya.
Bantalnya lembut, sprei putihnya wangi, dan langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung elegan.
“Ini… bukan kamarku,” gumamnya pelan sambil mengerutkan kening. Ia duduk di tepi kasur dan menatap bingung ke sekeliling. “Rumah siapa ini? Bukankah tadi malam aku bersama Andrian?”
Tiba-tiba, suara air mengalir terdengar dari arah kamar mandi. Clara menoleh cepat.
Matanya menatap pintu kaca buram yang menutupi kamar mandi itu, dan ia langsung menelan ludah.
“Siapa yang mandi di situ? Jangan-jangan... Andrian?” bisiknya panik.
Detik berikutnya, pintu kamar mandi terbuka, dan keluarlah Andrian—rambutnya masih basah, tubuhnya hanya terbalut handuk di pinggang. Tetesan air mengalir turun dari dadanya yang bidang hingga ke perutnya yang berotot.
Clara membeku di tempat. Matanya melebar seperti kucing kaget.
“Hah…” gumamnya, sebelum buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa kau tidak mengenakan baju?!”
Andrian yang sedang mengeringkan rambutnya menoleh santai. “Ini kamarku. Lagi pula, kalau mandi, mana mungkin aku pakai baju?”
Clara mendengus kesal tapi pipinya memerah. “Cepat pakai bajumu sana! Aku mau ke kamar mandi!”
Ia bergegas turun dari kasur, tapi langkahnya malah tersandung selimut yang menjuntai di lantai.
“Eh—waaahhh!”
Dalam sekejap, tubuhnya oleng ke depan. Ia berusaha menahan diri agar tidak jatuh, namun tangan kirinya tanpa sengaja mencengkeram sesuatu—dan sialnya, sesuatu itu adalah ujung handuk Andrian.
Bruk!
Handuk itu terlepas. Clara jatuh tersungkur ke karpet, sementara Andrian terdiam dengan ekspresi antara kaget dan tidak percaya.
“Sakit sekali…” ucap Clara pelan sambil meringis, mencoba bangkit dari lantai. Ia baru menyadari sesuatu yang terasa di genggamannya. Saat menunduk, matanya langsung membulat sebesar piring.
“Kenapa… handuk ini ada di tanganku?” suaranya bergetar antara syok dan tidak percaya.
Andrian berdiri di hadapannya—tanpa sehelai benang pun selain tatapan datar tapi tenang. “Apa kau tidak berencana mengembalikan handuk itu padaku?” tanyanya santai, seolah hal itu kejadian biasa.
Clara memejamkan mata cepat-cepat, pipinya langsung merona merah menyala. “Maaf! Aku tidak sengaja!” ujarnya panik, lalu mengulurkan tangan sambil tetap menunduk dan memejamkan mata.
Andrian tersenyum kecil melihat reaksi istrinya. Ia mengambil handuk itu dan kembali melilitkannya di pinggang. “Lain kali hati-hati kalau mau jatuh,” katanya lembut tapi dengan nada menggoda.
Clara, yang wajahnya sudah seperti tomat rebus, buru-buru bangkit dari lantai. “Aku... aku mau ke kamar mandi!” katanya cepat sebelum berlari kecil menuju kamar mandi.
Begitu pintu tertutup, Clara bersandar di baliknya dan menghela napas panjang. “Memalukan sekali… tanganku ini benar-benar gatal,” gumamnya sambil menampar pelan pipinya sendiri, mencoba menghapus rasa malu yang tak kunjung hilang.
Dari luar, suara Andrian terdengar ringan, penuh nada menggoda.
“Clara, pakaianmu sudah aku siapkan di lemari. Mau aku ambilkan?”
Clara refleks menjawab dengan nada tinggi, “Tidak perlu! Aku akan ambil sendiri!”
Andrian terkekeh pelan. “Baiklah."
Clara mengetuk kepalanya sendiri dengan gemas.
Sementara itu, di luar, Andrian hanya tersenyum sambil menggeleng. “Istri yang ceroboh tapi menggemaskan,” gumamnya kecil, sebelum melangkah ke arah lemari.
Beberapa saat kemudian mereka duduk berhadapan di ruang makan, menikmati sarapan pagi. Meja panjang dipenuhi piring kecil berisi selai, roti, dan secangkir susu hangat untuk Clara.
“Apakah ini rumah milikmu?” tanya Clara sambil meneguk seteguk susu, masih menyisakan rasa kikuk pagi tadi.
Andrian mengangguk tenang. “Iya. Ini mansion pribadiku.”
Clara menatap sekeliling lagi dengan mata yang sedikit tak percaya. “Ternyata selama ini dia tinggal di sini… dan tidak mau tinggal di apartemen lebih lama,” batinnya pelan, masih tersisa luka di hatinya dengan hubungan mereka yang telah gagal.
Andrian menaruh sendoknya dan memandang Clara. “Pakaianmu sudah diambil oleh Kane dan disusun di lemari oleh bibi Shu,” katanya singkat.
Clara menelan. “Baiklah… sebentar lagi aku akan pulang. Setelah menemukan tempat tinggal lain, aku akan pindah,” jawabnya, mencoba terdengar biasa sambil meminum lagi susunya.
“Maksudmu pulang ke apartemen? Kau tidak betah di sana dan ingin pindah?” Andrian menatapnya, suaranya datar tapi ingin tahu.
“Bukan begitu,” Clara buru-buru menjelaskan. “Itu apartemen milikmu. Kita kan sudah bercerai, tentu saja aku harus pindah.” Suaranya berhenti di ujung kalimat, ada sedikit getir yang tak bisa ia sembunyikan.
Andrian mengangkat bahu ringan. “Semua pakaianmu ada di lemari kamar atas,” ujarnya.
“Kamar atas?” Clara terkejut.
“Iya. Mulai hari ini kau akan tinggal di sini,” kata Andrian, tanpa nada berlebihan. “Soal penawar itu sedang diracik. Aku akan membawamu menemui tabib itu. Dan ... James Wu dan keluarganya sedang berada di suatu tempat. Apakah kau siap bertemu mereka?”
Hati Clara berdegup lebih kencang. Kata-kata tentang James Wu membawa kembali kenangan lama. “Iya… aku ingin bertemu mereka,” jawabnya mantap, menegakkan punggung. “Aku ingin merebut kembali semua yang milik orangtuaku ... yang dulu mereka ambil dari aku.”