Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anomali Logika dan Kotak Susu Stroberi
Pelukan itu mungkin berlangsung selama dua menit, atau mungkin dua jam. Di lorong belakang sekolah yang gelap, lembap, dan tersembunyi dari keriuhan pesta penutupan, waktu seakan kehilangan maknanya. Hanya ada suara napas Marika yang tersendat-sendat, basah oleh air mata, dan detak jantung Ren yang berpacu tidak karuan di balik seragam gakuran-nya yang berdebu.
Ren tidak bergerak. Dia membiarkan dirinya menjadi jangkar bagi gadis yang sedang hancur itu. Dia bisa merasakan betapa rapuhnya tubuh Marika yang gemetar hebat, kontras sekali dengan citra besi yang selalu ia tampilkan di depan semua orang.
Namun, seperti halnya semua anomali dalam sistem, realita akhirnya merayap masuk kembali.
Isak tangis Marika perlahan mereda, menyisakan sedu-sedan kecil yang terdengar menyakitkan di telinga Ren. Tubuhnya yang tadi lemas pasrah dalam dekapan Ren, kini mulai menegang. Kesadaran menghantamnya seperti truk yang melaju kencang.
Dia, Tsukishima Marika. Ketua OSIS yang dikenal berhati dingin, berlogika tajam, dan selalu sempurna. Dia baru saja meraung menangis seperti anak kecil di dada Sato Renjiro—seorang "aset" logistik, bawahan, dan cowok yang selama ini dia labeli sebagai pemalas yang tidak efisien.
Ren merasakan perubahan itu. Otot-otot bahu Marika mengeras di bawah tangannya. Jemari Marika yang tadi mencengkeram kain seragam Ren dengan putus asa perlahan melepaskan diri, meninggalkan bekas kusut yang dalam di kain itu.
Dengan satu gerakan sentak yang kasar dan tiba-tiba, Marika mendorong dada Ren.
"Cukup!"
Marika mundur tergopoh-gopoh, menyeret kakinya di lantai beton sampai punggungnya menabrak dinding koridor dengan bunyi buk pelan. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam, membiarkan rambut hitam panjangnya yang kini berantakan menutupi wajahnya seperti tirai pelindung. Napasnya memburu, bukan karena lelah berlari, tapi karena panik yang luar biasa.
Ren tetap duduk di lantai, tidak berusaha berdiri. Dia membiarkan jarak itu tercipta. Instingnya mengatakan ini adalah momen kritis; satu gerakan salah, satu kata yang salah, dan Marika akan lari selamanya dari hidupnya.
"Tsukishima-san..." panggil Ren lembut, mencoba menjangkau lewat suara.
"Jangan bicara," desis Marika. Suaranya serak, parau, dan bergetar hebat. Dia mengangkat tangan kanannya, telapaknya menghadap Ren, sebuah isyarat berhenti yang mutlak. "Jangan... jangan berani-berani memberikan komentar. Jangan analisis situasi ini."
Marika mengusap wajahnya dengan kasar menggunakan lengan seragam blazer-nya, mencoba menghapus jejak air mata dan ingus yang memalukan. Itu adalah pemandangan yang sangat tidak anggun, sangat jauh dari citra "Putri Sempurna" yang selalu dia tampilkan di podium sekolah. Tapi bagi Ren, itu adalah hal paling jujur yang pernah ia lihat.
Melihat Marika yang kesulitan membersihkan wajahnya, Ren merogoh saku celananya. Dia menemukan sapu tangan kain berwarna biru tua. Agak kusut karena seharian di saku dan dipakai mengelap keringat saat mengangkat panggung, tapi setidaknya bersih.
Dia mengulurkan sapu tangan itu ke arah Marika, tanpa berdiri.
"Pakai ini," kata Ren pelan. "Lengan seragammu kotor nanti. Itu kan wol, susah dicuci kalau kena noda."
Marika menatap sapu tangan itu seolah Ren baru saja menyodorkan granat aktif yang siap meledak. Dia ragu-ragu. Egonya berteriak untuk menolaknya, untuk menampar tangan Ren, lalu lari dari sana dan berpura-pura ini tidak pernah terjadi. Tapi hidungnya meler dan matanya perih. Logikanya—sisa-sisa logika yang masih ada—tahu bahwa Ren benar. Menggunakan lengan baju hanya akan memperburuk penampilannya.
Dengan gerakan menyambar yang cepat dan agresif, dia mengambil sapu tangan itu dari tangan Ren.
"Aku akan mencucinya. Dan mensterilkannya," gumam Marika, membenamkan wajahnya ke kain itu. Suaranya teredam, tapi nada defensifnya jelas terdengar. "Ini pinjaman. Bukan hadiah. Aset harus dikembalikan."
"Nggak perlu dikembalikan juga nggak apa-apa," kata Ren santai, mencoba mencairkan suasana.
"Harus dikembalikan! Hutang budi itu tidak efisien dalam hubungan kerja!"
Hening lagi. Suara musik dari panggung utama di kejauhan sudah berhenti total. Lampu-lampu lampion festival mulai dimatikan satu per satu, menyisakan kegelapan malam yang pekat. Festival budaya legendaris mereka sudah resmi berakhir.
Marika akhirnya menurunkan sapu tangan itu dari wajahnya. Matanya bengkak parah, hidungnya merah, dan pipinya masih basah. Dia terlihat berantakan.
"Sato-kun," panggil Marika. Dia tidak menatap mata Ren. Dia menatap ujung sepatu kets Ren yang kotor oleh debu lapangan.
"Ya?"
"Kejadian ini..." Dia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering dan sakit. "Kejadian ini tidak logis. Ini adalah akibat dari akumulasi kelelahan ekstrem, dehidrasi, dan tekanan mental pasca-acara. Ini adalah anomali. Sebuah glitch dalam sistem."
Ren mengangguk perlahan, menahan senyum agar tidak terlihat mengejek. Dia mengerti bahasa Marika. "Paham. Anomali sistem. Server down karena overheat."
"Ini tidak akan terulang," lanjut Marika, suaranya mulai mendapatkan kembali sedikit ketegasannya, meski masih terdengar rapuh di ujung-ujungnya. "Dan yang paling penting... kejadian ini tidak pernah terjadi. Tidak ada catatan dalam risalah rapat OSIS. Tidak ada saksi mata. Data ini dihapus permanen dari memori. Mengerti?"
Dia akhirnya mendongak, menatap Ren dengan tatapan memohon yang disamarkan sebagai ancaman ketua kelas. Matanya yang bengkak menyiratkan ketakutan: Tolong jangan ceritakan pada siapa pun betapa lemahnya aku.
Ren berdiri, membersihkan debu di celana gakuran-nya. Dia menatap Marika lurus di mata, memberikan tatapan paling meyakinkan dan hangat yang dia bisa.
"Mengerti, Ketua," kata Ren lembut. "Malam ini gelap sekali. Listrik padam. Aku tidak melihat apa-apa selain kucing lewat. Rahasia aman."
Bahu Marika merosot lega, seolah beban satu ton baru saja diangkat. "Bagus. Jawaban yang dapat diterima."
Dia merapikan rok dan rambutnya sebisanya, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "Sekarang... kita pulang. Maksudku... masing-masing. Sendiri-sendiri. Rute terpisah untuk efisiensi."
"Tentu," kata Ren, melirik jam tangannya. "Tapi... ini sudah jam 9 lewat. Gerbang belakang pasti sudah dikunci Pak Satpam. Kita harus lewat gerbang depan."
"Hmph. Merepotkan."
Mereka berjalan bersisian menuju gerbang depan, menyusuri koridor sekolah yang kini gelap gulita dan sunyi. Jarak di antara mereka kembali ke "jarak aman satu jengkal". Tidak ada tangan yang bersentuhan. Tidak ada obrolan basa-basi tentang cuaca atau festival.
Tapi keheningan itu berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Itu bukan keheningan dingin yang canggung dan bermusuhan seperti saat mereka pertama kali bertemu. Itu adalah keheningan yang padat. Keheningan dari dua orang yang baru saja berbagi rahasia besar yang mengikat mereka lebih kuat daripada janji apa pun.
Di gerbang sekolah, di bawah sorot lampu jalan yang dikerubungi laron, Marika berhenti. Dia tidak berbalik menghadap Ren. Dia memunggungi Ren, menatap jalanan aspal yang sepi menuju stasiun.
"Sato-kun."
"Ya?"
Tangannya meremas sapu tangan Ren yang kini ada di genggamannya erat-erat.
"Terima kasih," bisiknya. Suaranya begitu pelan hingga hampir hilang terbawa angin malam musim gugur. "Karena... sudah kembali. Karena tidak... mendengarkanku tadi saat aku mengusirmu."
Sebelum Ren sempat menjawab atau bahkan memproses kalimat itu sepenuhnya, Marika sudah berjalan cepat—hampir berlari kecil—menuju arah stasiun. Kuncir kudanya berayun di belakang punggungnya, dan di bawah cahaya lampu jalan, Ren bisa melihat telinganya merah padam.
Ren berdiri terpaku di bawah gerbang sekolah. Angin malam terasa dingin, menusuk kulitnya yang baru sembuh dari demam, tapi dadanya terasa hangat luar biasa. Dia tersenyum tipis.
"Sama-sama, Marika," bisiknya pada punggung yang menjauh itu.
Hari Senin tiba dengan membawa atmosfer "mabuk pasca-festival".
Seluruh sekolah terasa lesu dan abu-abu. Spanduk-spanduk warna-warni yang kemarin menghiasi gerbang sudah dicopot, menyisakan dinding beton yang polos dan membosankan. Sampah-sampah sisa tusuk sate dan gelas plastik sudah bersih tak bersisa. Sekolah kembali menjadi tempat belajar, bukan tempat berpesta. Realita akademis kembali menyerang.
Ren berjalan masuk ke kelas 2-B dengan perasaan was-was yang luar biasa. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana dia harus bersikap? Bagaimana Marika akan bersikap? Apakah kejadian semalam mengubah status mereka? Atau apakah Marika akan melakukan reset total dan menganggap mereka kembali jadi orang asing?
Saat dia melangkah masuk, Marika sudah ada di sana.
Dia duduk di bangku barisan depan, membaca buku pelajaran Sejarah Dunia. Posturnya tegak sempurna. Seragamnya rapi tanpa cela, seolah tidak pernah kusut. Wajahnya kembali sedingin es, alisnya berkerut serius membaca teks tentang Revolusi Prancis.
Robot Tsukishima Marika sudah kembali beroperasi penuh. Reboot sistem berhasil. Tidak ada jejak gadis yang menangis semalam.
Ren merasakan sedikit kekecewaan di dadanya. Apa semalam itu cuma mimpi demamku? batinnya.
Ren berjalan menuju bangkunya di belakang. Jalurnya mengharuskannya melewati meja Marika. Saat langkah Ren mendekat, dia menahan napas, menunggu reaksi sekecil apa pun.
Marika tidak menoleh. Dia tidak menyapa. Dia bahkan tidak berkedip.
Tapi, tepat saat pinggang Ren melewati tepi mejanya...
Tuk.
Jari telunjuk Marika mengetuk permukaan meja kayunya satu kali. Suara yang sangat pelan, tapi bagi Ren terdengar sekeras ledakan meriam di telinganya.
Itu saja. Tidak ada lirikan. Tidak ada kata-kata.
Ren mengerjap bingung, lalu melanjutkan langkahnya ke bangkunya sendiri di pojok belakang. Dia menarik kursinya dan duduk, pikirannya berkecamuk. Apa maksud ketukan itu? Kode morse? Ancaman?
Lalu matanya melebar saat melihat ke mejanya sendiri.
Di atas mejanya yang penuh coretan pulpen dan bekas penghapus, tergeletak sebuah kotak susu stroberi kecil.
Kotak itu dingin, masih ada butiran embun segar di permukaannya, menandakan baru saja dibeli dari mesin pendingin. Dan di bawahnya terselip secarik kertas kecil—potongan sticky note kuning neon yang sangat mencolok.
Ren mengambil kertas itu dengan tangan sedikit gemetar. Dia mengenali tulisan tangan di sana. Rapi, tegas, bersudut tajam, dan sangat familiar. Tulisan tangan sang Ketua OSIS.
Kompensasi untuk sapu tangan yang disita (proses sterilisasi sedang berlangsung, jangan tanya kapan selesai). Kandungan gula tinggi diperlukan untuk memulihkan energi pasca-demam agar kinerja otak kembali optimal untuk laporan evaluasi. Habiskan. Jangan protes. (Jangan bilang siapa-siapa).
Ren membaca pesan itu dua kali. Tiga kali. Setiap kata seolah memiliki suaranya sendiri di kepalanya.
Sudut bibirnya berkedut, lalu melebar menjadi senyum yang tak bisa ditahan. Kompensasi. Kinerja otak. Bahkan saat memberi hadiah—tanda terima kasih yang manis—dia masih bersembunyi di balik alasan logistik dan efisiensi medis.
Ren mendongak, menatap punggung Marika di depan kelas. Gadis itu masih menatap bukunya dengan intensitas yang mencurigakan—dia belum membalik halaman itu sejak lima menit yang lalu. Dan di sela-sela rambut hitamnya yang terikat rapi, Ren bisa melihat ujung telinga Marika berwarna merah padam, semerah stroberi di gambar kotak susu itu.
Ren menahan tawa agar tidak meledak di kelas yang sunyi. Dia menusukkan sedotan ke kotak susu itu.
Sluurp.
Rasanya manis. Sangat manis dan artifisial. Tapi bagi Ren, di pagi yang membosankan itu, itu adalah minuman paling enak di dunia. Jauh lebih enak dari cream soda melon.
Pelajaran dimulai seperti biasa. Tanaka-sensei masuk dengan wajah lelah dan mulai mengoceh tentang evaluasi festival.
"Festival sukses," katanya datar. "Kepala sekolah senang. Tapi itu artinya kerjaan saya nambah. Laporan evaluasi harus dikumpulkan besok pagi. Tsukishima, Sato. Kalian penanggung jawab utama. Kerjakan sepulang sekolah."
"Baik, Sensei," jawab Marika tegas, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
"Baik," jawab Ren, menatap punggung Marika sambil tersenyum.
Misi hari ini sudah jelas. Dan untuk pertama kalinya, Ren tidak merasa malas. Dia justru tidak sabar menunggu bel pulang sekolah berbunyi.